Dari jarak jauh empat pasang mata menatap mereka berdua dengan sigap, mereka berpikir kalau saja terjadi sesuatu mereka bisa dengan cepat membantu keduanya. Tapi Alpha mereka, —Rigel melarang mereka berjarak lebih dekat pada Veeneta.
"Ano, maafkan aku." Ucap Veeneta, dia terus membungkuk setelah menyadari membuat bahu pemuda yang ada di depannya terbentur dinding kaca.
Untung saja dinding kaca itu tidak pecah.
"Aku baik-baik saja, apa kamu terluka?" jawab Rigel, dia berdiri membenarkan jaketnya.
Rigel tidak bisa menahan aroma manis yang tercium pada hidungnya, aroma gadis ini membuatnya merasa bahwa dia memang pasangannya.
'Apa kamu yakin?' tanya Rigel pada serigala yang ada di dalam tubuhnya.
'Tuan, apa Tuan masih ragu kalau dia bukan orangnya?'
'Aku tidak berpikir seperti itu, hanya saja aku merasa sepertinya aku pernah …'
"Halo, apa kamu baik-baik saja?" Veeneta melambaikan kedua tangannya di depan wajah Rigel yang terlihat linglung tapi lebih tepatnya dia sedang melamun.
"Eh … aku baik-baik saja." Jawab Rigel lalu dia tersenyum.
'Jangan mengabaikannya.' Ucap serigala dalam tubuh Rigel.
'Kau, berhentilah berbicara denganku.' Bentak Rigel mengantar kalimatnya.
Veeneta masih menatap Rigel, dia masih merasa bersalah kepada pemuda yang berdiri di depannya.
"Aku merasa tidak enak hati karena aku, bahumu mungkin terluka." Ucap Veeneta dengan wajah yang cemas.
"Hm, aku rasa bahuku baik-baik saja, lihatlah." Rigel memukul bahu kirinya dengan kuat lalu dia tersenyum.
Dari jauh kawanan Rigel berdiri dengan terkejut melihat Alpha mereka tersenyum bahagia untuk pertama kalinya.
'Apa dia sungguh pasangan Alpha kita?' seseorang menghantar suara kepada yang lainnya.
'Entahlah, tapi aku tidak pernah melihat Tuan seperti itu sebelumnya.' Jawab yang lainnya.
Meski mereka jauh, Rigel bisa mendengar mereka.
'Kalian semua pergilah.' Ucap serigala pada kawanannya.
Setelah itu mereka akhirnya pergi.
Bandara malam itu masih ramai.
Mereka tidak peduli dengan dua orang perempuan dan pria yang sedang berdiri masih saling bertatapan satu sama lain, sama-sama saling mencemaskan.
Veeneta tidak bisa untuk tidak merasa bersalah, dia masih gelisah meski pemuda di depannya ini terus mengatakan baik-baik saja dalam hati Veeneta dengan tatapan wajahnya yang cemas.
Secara alami manusia tidak akan sekuat itu menghantam dinding kaca yang begitu kuat.
Rigel masih terus tersenyum saat Veeneta masih belum juga percaya dengan yang dia lihat baru saja.
"Kalau kamu mengatakan itu baik-baik saja, aku merasa tenang. Kalau begitu terima kasih dan semoga perjalananmu menyenangkan."
Veeneta tahu Rigel bukan warga Jepang, wajahnya terlihat berbeda dengan yang lain.
Saat Veeneta berbalik dia berkata, "Tunggu!"
Veeneta berhenti lalu berbalik, "Ada apa?"
Rigel kini bisa melihat wajah Veeneta dengan jelas, gadis itu tanpa sadar membiarkan hoodie yang menutupi kepalanya terlepas dan rambutnya sedikit ke belakang sehingga wajah Veeneta terkena lampu terang dan dia terlihat sangat cantik.
"A-aku baru saja tiba di Jepang, apa kamu bisa membantuku?" ucap Rigel, dia mendapat alasan agar bisa pergi bersama Veeneta kali ini.
'Apa menurutmu ini akan berhasil?' ucap serigala pada Rigel.
'Hm … semoga saja.'
'Baiklah, mari kita lihat. Tapi kenapa sejak tadi kamu terus tersenyum. Tidak seperti biasanya.'
'Jangan banyak bicara.' Bentak Rigel.
Gigi Rigel bahkan hampir terlihat semua saat dia berusaha memasang senyum sebaik mungkin saat Veeneta berbalik.
"Apa yang bisa aku bantu?" jawab Veeneta.
"Sebentar …" Rigel melangkah ke sisi kanan, dia menarik koper milik Veeneta yang terlempar agak sedikit jauh dari tempatnya berdiri tadi.
"Terima kasih." Ucap Veeneta saat Rigel memberikan koper miliknya.
"Aku tidak tahu harus ke mana untuk sampai ke alamat ini." Rigel memberikan kertas yang dia keluarkan dari saku baju bagian dalam.
Rigel mengulurkan tangannya, Veeneta menatapnya sejenak lalu dia mengangkat wajahnya menatap Rigel.
Dalam hati Veeneta sebenarnya sudah berjanji pada ayahnya untuk tidak berbicara dengan orang asing, tapi pemuda ini sudah menyelamatkannya.
Meski Veeneta tidak tahu siapa yang baru saja berusaha menabraknya, Veeneta yakin pemuda ini dengan sengaja membantunya.
'Ayah, untuk kali ini aku tidak bisa membiarkan dia sendirian. Maafkan aku! Aku hanya ingin membalasnya.'
Veeneta memejamkan matanya, dia menghela napas saat dia membaca alamat yang tertera di kertas itu, dahinya berkerut.
Itu adalah alamat yang sama dengan apartemen yang akan dia tempati.
"Apa kamu tinggal di daerah ini?" tanya Veeneta.
"Hm …" jawab Rigel.
"Baiklah, kebetulan tujuan kita sama." Ucap Veeneta.
"Baguslah!" ucap Rigel tersenyum gembira.
'Wah, kau sungguh beruntung kali ini.' Ucap serigala di dalam tubuh Rigel.
'Diam, jangan menggangguku.' Jawab Rigel, menggeram dalam hatinya.
Veeneta bisa melihat mata pemuda di depannya ini sama sepertinya, hanya saja warnanya lebih hitam dan Veeneta yakin kalau dia manusia biasa.
Jadi tidak ada salahnya kan dia membantunya.
Di atas gedung bertingkat yang megah helipad mendarat dengan mulus.
Sejak tadi Alnitak terus mengerutkan dahinya.
Almilan yang melihat setelah turun dari helipad menegurnya, "Apa yang terjadi?"
Alnitak menoleh lalu dia menyentuh kepalanya, "Entahlah, aku merasa ada sesuatu terjadi pada gadis itu?"
"Jangan terlalu berpikir macam-macam."
Almilan berjalan lebih dulu, memberinya peringatan pada Alnitak, "Cepat jangan sampai kita terlambat aku rasa semua orang sudah cemas menunggu kehadiranmu."
"Baiklah … aku merasa aku butuh pergantian manajer kali ini." Sahut Alnitak, dia menyeringai.
Almilan yang mendengar mendengus dan membalasnya, "Lakukan saja, lagian aku juga sudah muak dengan semua ini. Aku ingin melakukan hal lain tidak bersamamu. Sungguh membosankan selama ini."
Alnitak yang mendengar hanya bisa tersenyum, dia tahu Almilan kakaknya itu tidak akan membiarkan dia dirawat oleh siapa pun.
"Tuan, silakan lewat sini."
Seorang pengawal membawa keduanya masuk ke dalam lift setelah mereka sudah masuk ke dalam gedung.
Saat mereka datang, Mintaka menyambutnya dan berkata, "Ke mana saja kalian? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku sangat khawatir dengan kalian berdua?."
"Ah, Kakak mengkhawatirkan kita?" ucap Alnitak saat dia sudah tiba di dalam ruangan.
Almilan melempar pakaian milik Alnitak yang ada di tempat pakaian.
"Cepat ganti pakaianmu, mereka sudah menunggumu."
Alnitak menangkap pakaian itu dengan cepat lalu dia melesat ke dalam kamar tidur.
Di ruangan itu, mereka bebas melakukan apapun seperti layaknya vampir, karena hanya ada orang-orang mereka dan ruangan itu tidak terpasang CCTV.
"Kalau aku manusia, tentunya aku sudah tepar." Ucap Almilan, dia menyandarkan tubuhnya ke sofa.
Mintaka duduk tidak bergerak.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kalian begitu sangat terlambat sekali." Gerutu Mintaka.
"Kakak tahu sendiri, dia masih setengah manusia jadi masih butuh istirahat tidak seperti kita."
"Kenapa kalian tidak terbang saja."
"Apa Kakak ingin kita mendapat masalah." Ucap Almilan.
"Ingat, kita sudah menanda tangani perjanjian dengan klan ras vampir di sini untuk tidak melakukan sesuatu yang membuat manusia mengetahui keberadaan kita selama ini." Lanjut Almilan, dia menatap kakaknya. Tidak biasanya kakaknya berkata seperti itu.
"Apa yang terjadi?" Almilan balik bertanya, melihat ekspresi Mintaka yang terlihat tidak setenang biasanya.
Mintaka tidak menjawab, dia bangun lalu berjalan ke arah ruangan lebih dalam, "Misaki … Misaki … Misaki-chan …."
Teriak Mintaka membuat semua orang yang ada di sana terkejut dan mereka melesat dengan cepat, sekejap dua pengawal dan Almilan sudah berdiri di samping Mintaka.
"Dia pergi ke mana?" ujar Mintaka terkejut menyapu ruangan kosong itu.
Begitu juga dengan yang lainnya, sama terkejutnya.
Semua orang melihat ke kaca jendela yang terbuka.