"Ano … apa yang kalian lakukan padaku?" tanya Veeneta terkejut dengan apa yang dilakukan dua pria yang tak dikenalnya ini.
"Ssstt …" Almilan melakukan gerakan menekan bibirnya dengan ibu jarinya sambil tersenyum kepada Veeneta.
Veeneta dahinya bekerut saat dia melihat apa yang dilakukan pemuda berambut coklat di depannya ini. Dia sangat tinggi Veeneta bahkan harus mendongak lebih untuk dapat melihat wajahnya.
Untung saja kelas bisnis saat itu sepi hanya ada beberapa penumpang yang berjarak agak jauh dari mereka dan penumpang itu sedang tertidur lelap.
Veeneta melirik ke kanan ke kiri hanya mereka bertiga di ruangan itu.
Dalam hati Veeneta ada banyak kursi di kelas bisnis tapi kenapa dua pemuda ini harus berdekatan dengan kursi duduknya.
"Aku rasa mereka sudah pergi." Ucap Alnitak saat dia masih menatap keluar jendela.
Veeneta membuang pandangannya ke jendela mengikuti arah pandangan Alnitak.
"Ano … apa aku bisa kembali ke kursiku sendiri." Ucap Veeneta dengan suaranya yang pelan.
Alnitak yang berdiri di atas Veeneta menurunkan pandangannya dan baru tersadar betapa imut dan kecilnya tubuh gadis ini.
Tapi tetap saja aroma Veeneta membuat Alnitak menjadi merasa haus lagi.
Dia menahannya dengan sekuat tenaga.
"Nitak sebaiknya kamu menyingkir dari sini." Almilan mendorong adiknya ke sisi kanan.
Membuat Alnitak sedikit terhuyung lalu langsung jatuh terduduk di kursi lainnya.
Sebenarnya itu hanya aroma darah manusia biasa tapi entah kenapa Alnitak merasa dia sudah lama sekali tidak mencium aroma darah manusia sejak dia mengkonsumsi minuman yang dibuat oleh Misaki untuk kaum seperti mereka dan menjadi minuman terlaris sepanjang masa saat ini di kalangan vampir.
Alnitak tersenyum sendiri saat kakaknya menatap tajam dan memberinya peringatan dengan mengantar suaranya pada Alnitak.
"Jangan macam-macam, kita sudah berpuasa dengan darah manusia selama berabad-abad. Jangan membuat masalah di sini dan membuat kita susah. Hentikan Alnitak." Almilan menatap adiknya dengan geram.
"OK!" jawab Alnitak juga melotot.
Veeneta yang duduk bergeming tersenyum kecil saat dia memperhatikan dua pemuda di samping dan di depannya yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Saat itu juga Alnitak melihat ekspresi Veeneta, "Kakak, dia mengerti apa yang kita bicarakan."
Almilan sontak menundukkan wajahnya, tapi Veeneta sudah membuang muka dan berpura-pura acuh.
"Aku sebaiknya kembali ke kursiku sendiri." Saat Veeneta hendak bangun.
Tangan Almilan menahannya di depan wajah Veeneta.
"Sebaiknya Nona duduk di sini saja." Ucap Almilan.
Veeneta melihat tangan pucat Almilan tepat di depannya.
'Makluk immortal, aku bisa melihatnya dia tidak meliki nadi sepertiku.'
Gumam Veeneta pada dirinya sendiri.
Melihat Veeneta mencurigainya Almilan langsung menarik tangannya.
"Aku rasa tidak perlu, aku akan kembali ke kursiku semula. Anggap saja aku tidak pernah melihat apa yang kalian lakukan tadi."
Veeneta yang keras kepala membuat Alnitak kesal, dia yang melihat langsung bergerak dan sudah berdiri di depan Veeneta menghalangi gadis itu.
Veeneta menahan napas, dia tahu mereka berdua bukanlah manusia biasa dan gerakan super cepat pemuda di depannya itu.
"Nitak … apa yang kamu lakukan?" kata Almilan pada adiknya.
"Aku hanya ingin memberinya peringatan, kita berusaha menolongnya tapi dia …"
Veeneta yang mendengar hanya meringis lalu dia menjawab, "Maaf, aku tidak pernah meminta kalian untuk membantuku. Sebaiknya kalian berdua abaikan saja aku, anggap saja tidak pernah melihatku atau bahkan aku tidak ada di sini."
"Nona manis ..." ucap Alnitak saat Veeneta sudah menyelinap berjalan melalui bawah lengan tangannya.
Almilan tersenyum melihat sikap keras kepala gadis yang ada di depannya dan Alnitak hanya bisa menggertakkan giginya saat melihat Veeneta kembali duduk dengan menyandarkan kepalanya di kursi dan memejamkan matanya, berpura-pura tidur.
Meski Veeneta tahu bahwa ada banyak vampir yang memang sudah sejak lama mengincarnya dan juga barusan saat kedua pemuda ini berusaha membantunya tapi Veeneta tidak pernah takut.
Menurut ayahnya mereka tidak akan berani mendekatinya karena mereka memiliki perjanjian sebelumnya.
Yang terpenting Veeneta berpura-pura seolah-olah dia tidak pernah mengetahui keberadaan mereka.
"Aku rasa dia berpura-pura. Dia tahu siapa kita, bukan?" ucap Alnitak pada kakaknya, dia menghantarkan suaranya yang masih berdiri di samping Veeneta dengan kedua tangan disilangkan ke dada lalu menyandarkan tubuhnya di kursi lainnya menatap gadis itu yang sungguh mengacuhkan mereka berdua.
Saat itu juga suara dari pilot memberikan informasi bahwa sebentar lagi mereka akan melakukan pendaratan.
"Nitak duduk, berpura-puralah seperti manusia normal, duduk kembali ke kursimu semula."
Alnitak menuruti ucapan kakaknya dengan masih enggan beranjak tapi akhirnya dia duduk juga.
Di gedung lain di kota Tokyo.
"Misaki, sebaiknya kamu beristirahat saja sekarang. Biar kami yang hadir di acaranya." Ucap Mintaka saat dia melihat betapa Misaki begitu tersiksa menahan sakit.
"Aku baik-baik saja." Jawab Misaki.
"Aku rasa kamu sebaiknya kembali ke rumah untuk sementara waktu." Ucap Rosie.
"Rosie benar." Sahut Mintaka.
"Sudah kubilang, aku baik-baik saja." Misaki duduk di sofa sambil menunduk menekan dada kirinya.
"Apa yang kamu lihat?" tanya Rosie penasaran.
Misaki menggeleng lalu menjawab, "Aku tidak tahu pasti, Alnitak … sepertinya dia sudah tenang kembali. Anak itu memang sialan!" geram Misaki dengan mengepalkan tinjunya.
"Aku rasa kalian berdua sungguh aneh, sebenarnya yang kembar siapa tapi kenapa yang memiliki keterikatan satu sama lain justru kamu dan Alnitak." Ujar Rosie, dia berdiri di samping Mintaka memperhatikan Misaki yang terlihat menyedihkan sebelumnya tapi kini dia sudah kembali normal.
Mata Misaki yang berubah merah sebelumnya sekarang sudah kembali normal, coklat kehitaman.
"Aku rasa … Alnitak bertemu dengan seseorang yang membuatnya dia bereaksi." Ucap Rosi lagi.
"Apa maksudmu?" tanya Misaki mendongakkan kepalanya menatap Rosie.
"Kalian berdua bukankah belum benar-benar abadi sebelum kalian menemukan darah yang sama dengan kalian dan meminumnya untuk membantu kalian menjadi seperti kita." Jelas Rosie.
Mintaka menarik napas panjang.
Misaki menghela napas juga.
Seharusnya kejadian itu tidak terjadi. Batin Mintaka, kalau kejadiannya akan seperti ini seharusnya ayahnya tidak melakukan itu pada Alnitak dan juga Misaki.
"Jangan menyalahkan siapapun. Aku rasa, aku memang sudah ditakdirkan seperti ini kecuali aku bertemu dengan seseorang kan?" kata Misaki.
"Rosie, apa tidak ada jalan lain selain apa yang kamu katakan tadi?" tanya Mintaka.
Rosie menggeleng tegas.
"Kita bahkan sudah melalui banyak tahun dan sampai saat ini belum juga menemukan sosok yang kita maksud. Apa kita harus pergi lagi setiap akhir bulan untuk mencarinya?" lanjut Mintaka.
"Aku rasa tidak perlu. Aku tidak seantusias seperti sebelumnya. Kalau efeknya membuatku seperti tadi lebih baik aku tidak bertemu dengannya." Jawab Misaki.
"Lagi pula formula yang kita punya saat ini bisa membantuku dan juga kalian menjadi manusia normal selama ini."
"Tapi Misaki … dampaknya kalau sampai kalian berdua belum juga berubah sesempurna seperti kita, itu akan berdampak buruk kalau …"
Rosie belum selesai berbicara saat dia mendengar suara dari pintu.
"Nona Rosie, mohon maaf. Semua tamu undangan mencarimu." Seorang pengawal masuk lalu memberi tahu mereka tentang situasinya di luar ruangan.
"Aku akan kembali ke sana." Setelah itu Rosie mengangguk pada Mintaka dibalas juga dengan kedipan mata Mintaka.
Rosie berjalan keluar diikuti si pengawal berjalan di belakangnya.
"Kalau terus hidupku seperti ini, aku lebih baik mati sejak awal." Gumam Misaki.
Mintaka yang mendengar langsung terkejut menatap Misaki yang tertunduk lemah menatap lantai.