Bandara Naha – 2019
Okinawa – Mulai Paruh Pertama Bulan Mei.
Veeneta Shu merapatkan jaket merah yang menutupi hampir seluruh tubuhnya yang kecil. Keluar dari taksi yang dia tumpangi dari kediamannya sampai ke Bandara Naha, Veeneta bergegas mengeluarkan koper miliknya dari bagasi taksi lalu menariknya dengan susah payah.
Hujan baru saja turun, beruntung Veeneta tepat waktu, saat dia memasuki area bandara hujan turun sangat deras.
Veeneta berbalik saat suara hujan begitu deras, menatap ke atas langit yang gelap. Air hujan yang turun dengan beraturan terlihat sangat indah diterpa lampu yang menyorotnya.
Veeneta tersenyum menghela napas panjang, hujan turun di bulan Mei, ini adalah awal mula hidup Veeneta setelah akhirnya dia bisa kembali ke Tokyo setelah sekian lama bersembunyi.
Veeneta memejamkan kedua matanya, menarik napas dalam. Tubuhnya yang kecil mengenakan jaket warna merah yang mencolok di tengah pintu masuk bandara membuat beberapa orang yang lewat menatapnya sejenak lalu mereka menggelengkan kepala.
Bagaimana tidak, tubuh Veeneta hampir tidak terlihat sama sekali, mungkin orang yang melihatnya mengira dia seperti orang-orangan sawah yang sengaja dipakaikan pakaian besar.
Kepalanya tertutup hoodie dari baju lapisan di bagian dalam tubuhnya, lalu separuh wajahnya juga tertutup rambutnya yang tidak beraturan.
Setelah lama berdiri menghirup aroma hujan dan menikmati percikan hujan yang mengedar di udara Veeneta tersenyum senang.
Lalu dia berbalik bergegas menuju masuk ke lebih dalam area bandara, tangannya yang kecil menarik koper yang besar.
"Aku harus cepat sebelum penumpang lain datang," kata Veeneta pada dirinya sendiri.
Dua jam sebelum keberangkatan adalah waktu yang terlalu cepat tapi Veeneta lebih suka datang lebih awal, karena dia tidak suka berkerumun atau mengantri dengan banyak orang.
Suara tarikan roda koper milik Veeneta menjadi perhatian, bukan tanpa alasan, Veeneta menariknya dengan malas sehingga itu menimbulkan suara yang cukup membuat orang memandang ke arahnya.
"Lebih baik kalau kamu pergi sendiri, itu tidak akan mengundang perhatian orang banyak." Ucap ayahnya sehari sebelum Veeneta berangkat.
"Kalau kamu pergi bersama banyak pengawal semua orang akan memperhatikanmu dan itu akan membuat kamu kesulitan kedepannya." Kata ayahnya lagi.
Veeneta menuruti semua apa yang dikatakan sang ayah. Bagi Veeneta apapun perintah ayahnya, dia harus mengikutinya.
Bukan, bukan ayahnya sok mengatur tapi …
BUK!
BRAK!
"Kamu kalau jalan hati-hati kenapa sih Nitak, kalau kamu nggak bermalasan dari tadi kita nggak akan ketinggalan pesawat dan semua ini …"
Suara Almilan terdengar sangat keras, Veeneta pasrah saat koper miliknya terlepas dari tangannya dan menggelinding ke arah depan lalu berhenti saat koper menabrak pembatas warna kuning yang tidak jauh dari tempatnya. Koper besar berwarna merah itu berhenti.
Almilan langsung menarik napas saat dia mencium sesuatu yang tidak biasa.
'Manis …' gumam Almilan dalam hati.
Begitu juga dengan Alnitak, mereka berdua saling berpandangan.
"Maaf!" ucap Veeneta, dia berjalan di antara Alnitak dan Almilan yang sedang bertengkar, melewati keduanya Veeneta membetulkan penutup kepalanya berjalan dengan menunduk.
Veeneta bisa melihat ujung sepatu kedua pria itu yang basah terkena air hujan, dan juga suara desahan napas mereka yang tidak biasa.
Veeneta tidak ingin lebih lama berdiri di sana, dia bergegas dengan sedikit berlari mengejar koper miliknya yang sudah lebih dulu sampai ke depan pintu pemeriksaan penumpang.
"Dia …" ucap Alnitak, matanya juga melebar, tangan kanannya menunjuk ke arah Veeneta.
"Dia …" ucap Almilan juga, matanya mengerjap.
"O-oi …" teriak Alnitak pada Veeneta.
Tapi Veeneta tidak memperdulikannya.
Menarik napas bersamaan keduanya …
"Ini tidak mungkin kan?" tanya Alnitak, dia sudah mau mengejar Veeneta tapi ditahan oleh Almilan.
"Apa yang mau kamu lakukan?" tanya Almilan tangannya menahan tangan Alnitak.
"A-aku … ah rasanya … ini … setelah lama kita …" Alnitak menjilati bibirnya sendiri.
"Nitak kendalikan dirimu." Almilan menarik tubuh Alnitak.
"Ada banyak orang di sini dan kita tidak boleh gegabah." Lanjut Almilan pada adiknya.
"Ta-tapi … aku hanya ingin memastikan."
"Jangan! Aku rasa kita hanya berhalusinasi karena terlalu lelah. Kali ini jadwal shooting kamu terlalu padat. Sialan! Seharusnya kita tidak menerima pekerjaan ini, meski aku suka di sini karena dingin tapi …" Almilan menatap adiknya yang masih saja terus memperhatikan Veeneta yang sudah menjauh dari keduanya.
"Apa kamu merasa kalau dia …" Alnitak masih penasaran dengan gadis berjaket merah yang meninggalkan aroma manis kepada mereka berdua.
Almilan menggeleng lalu dia berkata, "Sebaiknya kita cepat membeli tiket penerbangan berikutnya atau kamu mau Kak Mintaka dan Misaki murka karena kita pulang terlambat kali ini. Aku rasa Kak Mintaka kali ini tidak akan memberimu kesempatan lagi untuk mencari alasan."
"Kak …"
"Ayo cepat, kita harus bergegas sampai di Tokyo tepat waktu. Mereka tidak mungkin membuka pestanya tanpa kehadiran kita berdua terutama kamu, sebagai Brand Ambassador produk perusahaan mereka."
Almilan menarik tangan Alnitak lalu tangan lainnya menarik koper milik mereka berdua.
Almilan matanya menelusuri setiap area dia mencari tempat pembelian tiket pesawat sementara Alnitak masih memandang Veeneta yang sudah berdiri di area dalam bandara, kali ini dia menduduki kopernya sendiri karena tidak ada tempat duduk yang kosong.
Dari luar Alnitak bisa melihatnya, dia sangat penasaran dengan gadis kecil itu, aroma tubuhnya sangat manis dan menyenangkan, itu membuat nafsu Alnitak sebagai manusia immortal mencuat setelah sekian lama dia redam.
Berjalan terseret tanpa disadarinya, Alnitak hampir saja menabrak Almilan.
"Apa yang kamu pikirkan, jangan sembarangan berpikir, ayo cepat fokus." Almilan membentaknya kali ini.
Dia sangat kesal sampai ingin sekali menghajar adiknya, kalau bukan karena Alnitak begitu malas dan sering kali ketiduran dan susah sekali dibangunkan, mereka mungkin sudah sampai di Tokyo sekarang.
Mengingat itu mata Almilan mendelik, rahangnya mengeras, dia menarik napas dalam lalu sedikit menunduk di depan loket pembelian tiket.
"Aku ingin pesan dua tiket penerbangan ke Tokyo sekarang juga, apa masih ada?" Tanya Almilan pada salah seorang karyawan penjual tiket yang mengenakan pakaian seksi berwarna cerah.
"Kelas?" tanya si pegawai.
"Bisnis dua orang." jawab Almilan.
Pegawai itu tersenyum lalu menjawab, "Ada, pembayaran cash atau menggunakan kartu?"
"Kartu!" Almilan dengan cepat menyerahkan kartu pembayaran miliknya bersama dengan passport keduanya.
Si pegawai dengan cepat juga menerima lalu dia memproses pemesanan tiket untuk Almilan dan Alnitak.
Dari balik kaca si pegawai berkali-kali melirik ke Alnitak, dia terus tersenyum.
Siapa yang tidak mengenali wajah Alnitak, dia tanpa sadar wajahnya terbuka, terlihat jelas, masker hitam yang menutupi wajahnya kali ini merosot ke bagian dagunya.
Alnitak dengan percaya diri berdiri, lalu mata tajam Almilan melihat si pegawai yang melirik ke Alnitak. Serta merta Almilan berbalik lalu tanganya menarik masker Alnitak dengan cepat.
Alnitak terkejut, dia lalu melotot. Almilan balas melotot juga.
Dengan gerakan mata Almilan memberi tahu Alnitak.
Matanya menyipit saat Alnitak sadar.
"Jangan membuat perhatian, semua orang di sini mengenalmu dengan baik. Kamu ini adalah bintang terkenal, jadi bersikaplah yang normal agar tidak mengundang perhatian." Ucap Almilan dengan suara berbisik pada Alnitak.
Setelah mereka mendapatkan tiketnya, mereka langsung bergegas masuk ke area dalam bandara. Alnitak merapatkan masker di wajahnya lalu membetulkan topi putih di kepalanya berjalan menunduk, dia bersikap tenang seperti apa yang dikatakan Almilan.
Veeneta sudah berada di dalam bandara melewati serangkaian pemeriksaan, dia merasa senang, bahwa dia tidak perlu harus mengantri bersama banyak orang.
Saat dia sudah duduk di tempat duduknya di dalam pesawat, Veeneta merasa lega dan senang. Duduk di sudut dekat jendela, Veeneta berusaha mengambil foto yang gelap dan rintikan hujan jatuh di sayap pesawat yang dapat dia lihat dari tempatnya duduk.
"Beruntung sekali kita masih bisa mendapatkan tiket."
Suara Almilan terdengar sampai ke tempat duduk Veeneta.
Veeneta mengerutkan dahinya, dia sepertinya mengenal aroma ini …
Kelas Bisnis itu hanya terisi beberapa orang.
Setelah Almilan meletakkan tas miliknya ke kabin, pandangannya turun ke bawah dan terkejut melihat sosok berjaket merah duduk di sebelah kursi miliknya.
'Dia …' Almilan bergeming.
"Kak, cepat duduk." Ujar Alnitak.
Dia menggeser tubuh Almilan, dan saat itu juga dia pun terkejut.
"Manis … manis sekali." Ujar Alnitak.
Veeneta yang mendengar dia langsung menoleh ke arah asal suara.
Tanpa disadarinya penutup kepala Veeneta jatuh, kedua pria itu bisa melihat sorot mata Veeneta yang dalam dan … dia … ketakutan.
'Mereka … makhluk yang harus aku hindari kata ayahku.'