Chereads / Hope! Oh My Angels / Chapter 13 - Bintang 12

Chapter 13 - Bintang 12

Mintaka dan Almilan, keduanya memandang Alnitak dengan tatapan meyakinkan adik bungsunya.

"Kamu pasti bisa melakukannya." Ucap Mintaka.

"Hm … aku juga percaya kepadamu." Kata Almilan menepuk pundak adiknya.

"Baiklah! Akan aku lakukan." Jawab Alnitak setelah dia mendapat dukungan dari kedua kakaknya.

"Sekarang juga sebaiknya kamu lakukan sebelum fajar menyingsing." Ucap Rosie.

"Iya, Rosie benar." Zeus menimpali, dia berjalan mengitari meja batu besar dan matanya tajam menyusuri setiap jengkal urat nadi Misaki.

DUAR!

JEDER!

Di luar hujan deras, angin dan petir terdengar sangat keras sampai ke ruangan mereka.

Malam ini seolah menjadi saksi untuk pertama kalinya Alnitak melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya.

Dengan tangan gemetar dan jantungnya yang berdegup kencang Alnitak menatap tubuh Misaki yang terus mengejang dan sesekali menggeliat, tatapan wajah Misaki sangat kesakitan seakan dia meminta semua orang yang ada di sana untuk mengakhiri hidupnya.

"Rosie bawa Almilan dan Mintaka keluar." Perintah Zeus pada Rosies.

"Baik Yang Mulia." Jawab Rosie, dia menatap keduanya.

"Ayah … apa maksudnya?" tanya Mintaka, dia tidak terima dengan perintah ayahnya.

"Tuan Mintakan, ini perintah Raja, kalian berdua harus melaksanakannya. Silakan keluar dari ruangan ini."

"Ayah …" ucap Almilan.

Zeus tetap tenang tidak mengatakan apa pun lalu menganggukkan kepalanya kepada Rosie untuk membawa kedua putranya keluar dari ruangan tersebut.

"Tuan muda … silakan keluar." Ucap Rosie, kali ini dia mengulurkan tangannya memberikan jalan kepada keduanya.

Mintaka dan Almilan tidak bisa berbuat apa-apa, meski keduanya paham, kalau sang ayah pasti khawatir mereka tidak bisa menahan diri tapi tetap saja mereka ingin melihat prosesnya.

Mata Rosie mendelik kepada keduanya, Mintaka pasrah dia berjalan keluar lebih dulu lalu disusul Almilan.

Mata Zeus berkedip saat Rosie mengundurkan diri lalu menutup pintunya dengan rapat.

Di luar ruangan.

"Kalian jaga ruangan ini jangan sampai ada yang masuk siapapun tanpa terkecuali meskipun itu mereka berdua." Ucap Rosie kepada dua penjaga yang berdiri di depan ruangan itu.

"Baik Miss Rosie." Jawab keduanya lalu mereka menyatukan tongkat mereka menghalangi pintu bagi siapa pun.

"Ingat! Apapun yang terjadi di dalam kalian tidak boleh bergerak sedikit pun." Lanjut Rosie lagi.

"Dan kalian berdua, ayo ikut bersamaku." Rosie menatap Mintaka dan Alnitak yang masih berdiri di depan pintu berusaha menguping.

"Rosie …" ucap Mintaka menatap tajam pada perempuan itu.

"Tuan Muda, ini perintah Raja." Ucap Rosie.

"Aku tahu, tapi tidak bisakah kau membiarkan kami tetap di sini." Ucap Almilan.

Rosie menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Tidak bisa."

Mintaka dan Almilan, keduanya mendesah lalu dengan enggan mereka berjalan meninggalkan ruangan.

"Aku tidak tahu kenapa ayah menyuruh kita untuk meninggalkan ruangan ini. Padahal aku juga ingin melihat prosesnya. Bagaimana kalau Alnitak tidak berhasil menguasai dirinya dan bagaimana kalau dia …" sepanjang jalan Almilan terus berbicara, melewati penjaga di sepanjang lorong Rosie akhirnya bersuara keras, "Tuan Muda Almilan, apa kau tidak bisa menahan diri untuk tidak mengoceh."

"Rosie …" seru Almilan mendesah dalam lalu dia berusaha berjalan di sisi kanan Rosie, meraih tangannya.

Mereka berdua berhenti, sementara Mintaka tetap berjalan, bagi Mintaka kalau ayahnya sudah memberinya perintah itu sama saja harga mati dan dia tidak bisa melakukan apa-apa.

Rosie melotot bibirnya datar wajahnya terlihat tidak enak dipandang.

"Tuan Muda bersikaplah yang baik dan patuhi perintah ayahmu." Jelas Rosie pada Almilan.

Almilan akhirnya genggaman tangannya meregang saat pandangan mata Rosie turun dan jatuh tepat pada tangannya yang mencengkram lengan Rosie.

"Kembalilah ke kamar kalian dan beristirahatlah." Kata Rosie.

"Bagaimana mungkin kami bisa beristirahat dengan tenang." Ucap Almilan, dia berjalan meninggalkan Rosie dengan perasaan kecewa dan juga kesal di dalam hatinya.

"Kakak tunggu aku!" teriak Almilan berlari mengejar sang kakak.

Penjaga yang berdiri di sepanjang koridor terkejut, para tuan muda ini sebelumnya tidak pernah berteriak seperti itu.

Rosie hanya bisa mendesah, menggelengkan kepala.

"Mereka sudah mulai tumbuh dewasa dan jiwa pembangkangnya mulai muncul." Menatap nanar punggung kedua tuan muda itu.

Rosie merasa sebelumnya mereka masih anak-anak tapi kenapa sekarang bahkan tinggi mereka melebihi dirinya.

Kembali ke ruangan …

"Ayo Alnitak lakukan, gigit bagian ini dulu lalu setelah kamu menemukannya hisap racunnya dan berhentilah setelah kau merasakan bahwa racun itu sudah mulai menghilang." Zeus memberikan penjelasan pada Alnitak.

Alnitak seluruh badannya gemetar dan tegang, dadanya kembang kempis, ada keringat di dahi dan hidungnya yang mancung. Matanya sedari tadi terus menatap tubuh Misaki.

"Ayah, apa ayah yakin aku bisa melakukannya."

"Hm … ayo lakukan cepat sebelum terlambat. Apa kau ingin dia mati dengan cepat."

Mendengar kalimat terakhir ayahnya, kedua kaki Alnitak bergerak melangkah.

Alnitak berdiri sangat dekat pada meja batu, saat tangannya menyentuh meja batu terasa dingin ke seluruh tubuhnya.

Perlahan Alnitak menyeringai lalu menggeram, aroma darah yang manis tercium sangat nikmat di hidungnya.

Mata merah Alnitak melebar, berbinar-binar dan dia terlihat bersemangat.

Zeus yang memperhatikan Alnitak tersenyum, putra bungsunya ini masih belum sepenuhnya menjadi makhluk immortal. Alnitak masih berproses dan saat dia menghirup aroma darah manusia yang manis, dia sedikit terangsang tapi juga dia bisa menahan diri.

Berbeda dengan kedua kakaknya, kemungkinan mereka tidak akan bisa mengendalikan dirinya.

"Ayo cepat lakukan!" perintah Zeus.

Alnitak hanya menganggu.

"Cari urat nadi di pergelangan tangannya." Zeus memberi perintah.

Alnitak mengikuti intruksi sang ayah, dua memegang tangan kanan Misaki terasa sangat dingin. Mata Misaki menatapnya, mata itu dipenuhi dengan permohonan, permohonan untuk mati daripada dia tersiksa seperti ini.

Alnitak tidak bisa menunggu saat …

"Nitak jangan terburu-buru, rasakan nadi dan jantungnya." Ucap ayahnya.

Alnitak menarik napas panjang lalu dia mendekatkan pergelangan tangan Misaki, setelah dia bisa memastikan Alnitak langsung menggigit dan menghisap darah yang ada di tubuh Misaki.

"AAAAAAAA ….."

Suara jeritan Misaki terdengar sampai keluar ruangan.

Dua penjaga saling berpandangan mendengar suara Misaki tapi mereka teringat pesan Rosie, apa pun yang terjadi di dalam sana mereka harus tetap menjaga pintunya.

Almilan dan Mintaka seketika menoleh mendengar jeritan meleking dan penuh kesakitan itu berbalik bersamaan.

"Kalian hiraukan saja mereka, kembalilah ke kamar kalian." Ucap Rosie kepada keduanya.

Mereka berdua pasrah lalu berbalik dan berjalan kembali menuju ke ruangan lainnya.

Terasa berbeda racun yang ada di tubuh Misaki, Alnitak mendelik beberapa detik.

"Pelan-pelan Nitak, berhenti lalu buang." Kata Zeus.

Dengan patuh Alnitak mengikuti intruksi dan arahan sang ayah.

"Puft!"

Bibir Alnitak dipenuhi darah, dia meludah di sembarang tempat.

Menjilati bibirnya sendiri, rasanya biasa saja dan bahkan ini tidak sangat nikmat sekali.

Dahi Alnitak berkerut beberapa saat, Zeus tersenyum lalu berkata, "Anak pintar, lakukan sekali lagi."

Alnitak menurunkan pandangannya, Misaki mengejang kali ini semakin parah, lehernya terlihat biru dan lalu semuanya, Alnitak panik.

"Ayah … di-dia …" Alnitak menunjuk Misaki.

"Abaikan dia, lakukan sekali lagi dengan benar." Perintah sang ayah.

Alnitak terdiam, dia tidak bisa menahan dirinya merasa kasihan pada Misaki.

"Ayah …" Alnitak menoleh menatap ayahnya.

Zeus menggelengkan kepalanya.

"Lakukan sekali lagi atau kau ingin dia mati."

Mendengar itu Alnitak sekali lagi melakukan apa yang diperintahkan ayahnya seperti sebelumnya.

Kali ini untuk gigitan kedua, dia tidak bisa menahannya lagi.

"AAAAAA …."

Suara jeritan Misaki semakin kencang, menggema sampai ke luar ruangan.

Dua penjaga di depan pintu seketika merinding, apa yang sedang terjadi di dalam?

"Alnitak berhenti!" perintah Zeus.

Misaki menggeliat, ekspresi wajahnya sangat mengenaskan. Wajahnya tidak berwarna, urat di lehernya terlihat jelas, tenggorokan Misaki seperti tercekik.

Semua tubuhnya terasa sakit, seperti ada yang merobek bagian dalam tubuhnya terasa menyakitkan.

'Hahaue, apa aku akan mati hari ini.'

Dalam hati Misaki, dia membayangkan senyuman ibunya saat kepergiannya ke kamp militer saat itu.

Air mata menetes di pipi Misaki.

Zeus memukul bahu Alnitak untuk menyadarkannya.

Alnitak sungguh tidak bisa mengendalikan diri saat di mulutnya ada rasa manis dan nikmat yang luar biasa.

Mendapat pukulan dari sang ayah, Alnitak tersadar, matanya melebar, dia dengan cepat melepaskan gigitan lalu mundur ke belakang beberapa langkah saat dia menyadari Misaki matanya terbuka, lehernya mengejang dan juga seluruh tubuhnya.

"Ayah, apa aku sudah membunuhnya?"

Alnitak ketakutan.

"Menjauhlah! Biar ayah yang menyelesaikannya." Ujar Zeus, dia mengambil alih posisi Alnitak.

Alnitak terlihat ketakutan, sangat ketakutan dan merasa bersalah, dia melangkah mundur dengan gontai.

Dia telah membunuhnya!

Alnitak merasa bersalah, seharusnya dia bisa menghentikannya tadi kenapa dia sangat bodoh sekali membiarkan dirinya menikmati … dia sekali lagi menjilati bibirnya terasa berbeda dan kali ini rasanya, sungguh manis sekali.

Zeus memompa jantung Misaki dengan cepat, lalu dia berkata, "Dia belum mati."

Alnitak merasa lega mendengar perkataan ayahnya.

Yang tadinya kedua kaki Alnitak terasa seperti jeli perlahan kuat kembali, dia berusaha berdiri tegak menopang tubuhnya yang lemas beberapa saat tadi.

Meski belum terlambat ayahnya bisa menolong Misaki dengan cepat dan waktu yang tepat.

Sesaat kemudian mereka berdua mendengar sesuatu.

Degup cepat, detak memburu …

Suara jantung yang berubah.

Keduanya saling berpandangan.

"Ayah!"