Chereads / Hope! Oh My Angels / Chapter 11 - Bintang 10

Chapter 11 - Bintang 10

Almilan yang mendengar hanya tersenyum, walau bagaimana pun gadis di sampingnya ini memang sangat cantik, bola matanya seketika berubah menjadi coklat saat tubuhnya berubah menjadi manusia. Rambutnya yang juga kecoklatan panjang sebahu sangat menarik perhatian. Meski kulit mereka pun kecoklatan membuatnya iri dalam hati Almilan. Mereka sangat beruntung tidak seperti dia dan keluarganya yang selalu terlihat pucat, lebih menakutkan.

"Dia digigit oleh salah satu vampir." Ujar Cygnus, matanya penuh dengan kesedihan, dia bisa merasakan bagaimana sakit yang dirasakan manusia lemah dan tak berdaya ini.

Saat pertempuran berhenti, suasana hutan menjadi tenang. Burung gagak yang tergeletak di tanah menghilang begitu juga dengan pasukan vampir yang dipimpin Damian.

Mintaka mendekati Misaki, dia berjongkok meraih kaki kanan Misaki menatapnya dengan tajam sambil menahan napasnya.

Pheuton dan ketiga saudara perempuannya menatap Mintaka dengan tajam, mereka semua masih waspada.

Saat Alnitak memperhatikan kawanan serigala itu yang sudah berubah dengan ekspresi tatapan tajam mereka ke Misaki, dia berseru, "Kalian, bukankah kalian sudah tahu kalau kami ini tidak pernah menyakiti manusia, kenapa kalian menatap kami seperti itu, hah?"

Mendengar itu Deneb langsung mengalihkan pandangannya ke Alnitak.

Pheuton yang melihat sikap Deneb meraih tangannya, menahannya untuk tidak tersulut emosi.

Pheuton tahu mereka bukan vampir pemangsa manusia tapi kondisi seperti ini siapa yang tidak akan waspada kalau tiba-tiba mereka haus darah.

Mintaka memicingkan matanya saat dia melihat lutut Misaki berubah menjadi kebiruan. Misaki mengerang tubuhnya terbaring di tanah, dia terus menggeliat menahan panas yang sangat menyakitkan.

"Aaaarrghhh …." Misaki mengerang lagi, suaranya menggema di tengah hutan.

Mintaka menoleh pada Pheuton, "Aku berterima kasih kepada kalian semua karena sudah membantu kami."

"Kami tidak membantumu, kami menjaga wilayah kami sendiri." Dengus Deneb pada Mintaka, tatapannya sangat tidak bersahabat.

Melihat adiknya emosi Orion melangkah mendekatinya, "Deneb, tenanglah!" bisiknya pada adiknya itu.

Pheuton hanya tersenyum saat melihat sikap Deneb, anak ini memang selalu temperamen dan tidak bisa mengendalikan dirinya.

"Tinggalkan dia di sini." Ucap Pheuton.

"Tidak, kami akan membawanya. Percayalah pengobatan di istana kami lebih baik dari siapa pun." Jawab Alnitak, dia merasa kesal pada Deneb.

"Huh, apa kalian ingin memakannya?" seru Deneb sinis.

"Kau …" Alnitak berseru melangkah maju ditahan oleh Almilan.

"Gadis manis, kenapa kau terlihat kesal kepada kami padahal sejak lama kita sudah sering bertemu dan kalian pasti tahu keluarga Zeus tidak pernah melanggar janjinya, bukan?"

Almilan melangkah ke sisi kanan, dia menatap Deneb lalu beralih ke Misaki.

'Kakak, ayo cepat kita bawa dia pergi dari sini, sebelum vampir lainnya datang.'

Mintaka mendengar hantaran suara dari Almilan, dia dalam hatinya mengangguk setuju. Akan merepotkan kalau sampai mereka harus bertarung dengan vampir lain yang menginginkan manusia ini.

'Baiklah … Alnitak mendekatlah.' Seru Mintaka.

Saat mereka tengah berbicara dalam hantaran suara, kawanan itu tidak mengetahui rencana ketiganya.

Pheuton yang juga masih waspada, berdiri dengan kedua tangan masih mengepal. Dia selalu waspada, tubuhnya yang tinggi dan besar memang terlihat sangat menonjol di antara ketiga adik perempuannya.

Ketiganya, Alnitak sudah mendekati berada di sisi kiri Mintaka, sementara Almilan berdiri di sisi kanan Mintaka.

Mintaka dengan tenang berusaha melihat lutut Misaki, mengamatinya dengan cermat lalu dia merentangkan kedua tangannya ke bahu dan kaki Misaki, seperti akan menggendongnya.

Mata Orion yang tajam dapat melihat apa yang sedang dilakukan Mintaka.

Tapi detik berikutnya …

Wush …

Ketiganya langsung menghilang dari hadapan kawanan serigala itu.

"Kalian cepat kembali, ada banyak vampir yang datang dari berbagai arah di hutan ini, mereka mencium darah manusia. Dan aku berjanji tidak akan menyakiti manusia ini."

Mintaka hanya meninggalkan suaranya saat dia membawa kedua adik dan Misaki berteleportasi.

Deneb berlarian ke sana kemari, merasa kesal, dia meninju udara berkali-kali.

Pheuton sudut bibirnya bergerak-gerak, saat bersamaan dia langsung menatap ketiga adiknya dan berkata, "Sebaiknya kita kembali pulang, tidka bagus berlama-lama di sini, kalian dengar perkataannya kan. Kita tidak akan menang melawan ribuan vampir yang menuju ke sini."

"Sialan!" geram Deneb merasa kesal.

"Ayo, Cygnus cepat." Ajak Orion.

Deneb masih enggan tapi Pheuton menarik lengan tangannya.

Kawanan itu dengan cepat berubah menjadi serigala saat mereka berlari sangat kencang di hutan yang gelap.

Apa yang dikatakan Mintaka memang benar, dalam hitungan menit ada banyak vampir dari berbagai penjuru masuk ke hutan, mengendus dan mencari tahu asal aroma darah manusia yang menurut mereka sangat manis sekali.

….

Mintaka dan kedua adik kembarnya dengan cepat mereka sudah tiba di depan pintu gerbang yang tinggi dan kokoh.

Melewati penjagaan di depan pintu gerbang istana Mintaka hanya melambaikan tangannya saat dua penjaga pintu gerbang istana memberi hormat lalu membukakan pintu gerbang untuknya.

"Kakak, apa ayah dan ibu tidak akan memarahi kita karena kita membawanya pulang." Ucap Alnitak, dia sangat khawatir kalau kedua orang tuanya akan memarahinya.

Mintaka alih-alih menjawab dia hanya menggeleng, di punggungnya Misaki mengerang hebat membuat Mintaka merasa terganggu.

"Nitak, jangan khawatir ayah dan ibu kita pasti akan mengerti, percayalah." Kata Almilan memegang bahu adiknya.

Ketiganya berjalan masuk ke istana mereka lebih dalam, kediaman ini sangat luas, bangunan yang megah tinggi hampir semuanya dikelilingi tembok besar.

Sebuah aula utama tepat di depan mereka, ketiganya berjalan dengan elegan saling bersisian. Semua pengawal dan pelayan yang melihat kedatangan mereka langsung memberi hormat.

Salah seorang pelayan wanita berusia lima puluh tahunan berlari ke arah ketiganya saat dia melihat dari kejauhan anak asuhnya sudah kembali pulang setelah lama pergi.

Dengan terburu-buru dia berlari mendekati ketiganya dan suaranya terdengar parau, serak dan juga lemah, "Kalian … ke mana saja."

Alnitak menatap perempuan paruh baya itu, dia lebih dulu maju saat Almilan dan Mintaka berhenti.

"Rosie, jangan khawatirkan kami, lihat kami baik-baik saja, kan?" ucap Alnitak, dia mengerling.

Rosie memukul bahu Alnitak dengan keras lalu tatapannya beralih pada sosok yang ada di punggung Mintaka, matanya memicing.

"Apa yang kalian lakukan pada manusia itu?" tanya Rosie kepada ketiganya.

"Rosie jangan menuduh kami, kami justru sudah menyelamatkannya." Seru Almilan.

"Rosie, bawa aku ke kamar hangat." Ucap Mintaka, dia ekspresinya sangat tenang sekali lalu berjalan melewati Rosie.

Rosie yang masih berdiri termangu disenggol oleh Alnitak, "Rosie, ayo cepat."

"Eh …" Rosie baru tersadar saat bahunya ditabrak oleh Alnitak yang lalu berjalan melewatinya.

Rosie dengan cepat mengikuti mereka bertiga, "Kalian ada-ada saja, bagaimana kalau Tuan tahu dan memarahi kalian."

"Tenanglah, menurut Almilan, manusia ini adalah harapan masa depan kami. Jadi menurutku ayah tidak akan murka kali ini," ucap Alnitak yang kini sudah berjalan bersisian dengan Rosie.

Rosie menatapnya sekilas, lalu menarik napas panjang.

Alnitak menoleh ke Rosie, "Ngomong-ngomong kemana ayah dan ibuku?"

Matanya mengerjap, menatap Rosie.

"Mereka keluar sejak tadi. Kalian beruntung mereka belum kembali." Jawab Rosie.

Berjalan melalui aula utama keempat orang itu terus masuk ke dalam istana lebih dalam. Beberapa pelayan yang ada di sana langsung memberi hormat dengan menundukkan kepala mereka.

Tidak berani mengangkat kepala hanya bisa mencium aroma manis yang mereka tinggalkan.

Saat mereka sudah berada di dalam istana bagian dalam, Rosie membuka sebuah ruangan yang besar, gelap dan hangat.

Mintaka dengan cepat membaringkan Misaki di atas tempat tidur batu, Rosie menyalakan lampu-lampu yang ada di ruangan itu.

"Apa yang kalian lakukan pada manusia itu?"

Terdengar suara menggema di udara saat ketiganya tengah berdiri menatap tubuh yang lemah, terbaring dengan kondisi yang mengenaskan. Misaki terus mengerang menahan panas dan sakit yang sekarang menjalar ke hampir seluruh tubuhnya.

"Ayah!"

Seru ketiganya, mereka diam membeku.