Chereads / Hope! Oh My Angels / Chapter 5 - Bintang 4

Chapter 5 - Bintang 4

Sorot mata yang liar tertuju kepada mereka.

"Kami tidak melanggar apapun, kenapa kalian bersikap seperti ini?" kata Mintaka.

"Ini adalah hutan yang bebas, siapa pun bisa melaluinya. Jika kalian bersikap seperti ini bukankah sama saja kalian seperti sedang … hm … seakan kalian sengaja menyerang kami?" kata Mintaka dengan sorot mata tajam menyapu ke semua orang.

Semuanya, saat mereka bertatapan langsung dengan Mintaka, mereka merasa ada sesuatu yang menekan energi mereka.

"Wow, betapa kuatnya putra pertama Zeus ini." Seru si pria berambut kuning.

"Gail, apa kau bisa mengatasi anak itu?" tanya si wanita.

"Meri, kau jangan meremehkanku?"

"Karena aku melihat kekuatan anak itu di luar kemampuan kita sepertinya."

"Apa kau merasa lemah dan takut kepadanya? Bahkan kita bersama dengan ribuan orang sementara mereka bertiga."

"Apa kau belum pernah mendengarnya?"

"Apa?"

"Mereka si tiga biduk kembar adalah vampir yang memiliki masa depan yang bagus, katanya."

"Aku tidak percaya." Jawab Gail, dia merasa kesal.

"Aku percaya dengan pimpinan kita, Gary pasti bisa mengatasinya dan aku juga bisa mengalahkannya, mereka hanya bocah ingusan. Kenapa kau begitu?" Gail melirik Meri.

"Kalian berdua jangan berisik." Seru Gary dengan kesal juga, karena anak di depannya ini sangat teguh dan tidak goyah sama sekali.

Padahal dia sudah berusaha mencoba menekannya.

Gary memikirkan sesuatu saat dia melirik bocah yang ada di belakang keduanya.

Mintaka bisa melihat tatapan tajam Gary, saat itu juga.

'Milan, jaga adikmu dengan baik.' Serunya dengan tanpa bersuara tapi menghantarkan ke pikiran adiknya.

Milan melirik ke Alnitak, lalu dia tersenyum.

'Dia akan baik-baik saja Kak, jangan mengkhawatirkannya. Hanya saja dia memang selalu terlambat menyadari kelebihan dirinya sendiri.'

Alnitak tersenyum saat dia berkata dalam pikirannya.

"Tolong jangan tersinggung, alangkah baiknya kalau masing-masing di antara kita saling kembali pulang dan di antara kita tidak ada urusan."

Mintaka akhirnya bernegosiasi, dia berharap malam ini tidak akan pertarungan. Mintaka selalu memikirkan adik bungsunya.

Di sampingnya, Almilan tersenyum.

Bahkan kakaknya ini belum juga paham dengan apa yang baru saja dia katakana, kalau Alnitak memiliki kekuatan yang luar biasa.

Ah, kenapa kakakku selalu bersikap seperti ini sih! Batin Alnitak, tapi dia tetap tenang dan fokus, serta waspada.

Saat itu juga seorang wanita lainnya, dengan tubuh kecil dan rambutnya yang panjang terbang di depan mereka dengan gerakan elegan.

Dia sudah berdiri di samping pria-si pemimpin-kelompok itu.

Sekilas dia saling berpandangan pada si pemimpinnya lalu menoleh ke arah Mintaka bersaudara, saat dia tertawa, gigi taring bagian depannya terlihat sangat jelas.

Dia memang terlihat lebih cantik dari wanita sebelumnya, kulitnya juga putih, rambut panjang dan kusut berwarna hitam pekat berantakan separuhnya menutupi bagian pipinya.

Bajunya terlihat lusuh di antara yang lain yang berdiri di depan kelompok itu, tapi banyak percikan darah di bajunya yang seharusnya warnanya putih tapi sudah mengusang bahkan terlihat kumel.

Alnitak menelan ludah di tenggorokan, dia merasa jijik, rasanya ingin sekali membuang ludahnya tapi gerakan apa pun yang dia lakukan akan mengakibatkan sesuatu di luar dugaannya jadi dia menahan diri.

Angin sepoi-sepoi menggoyangkan rambut wanita muda itu, dia kira-kira usianya tidak berbeda dengan Mintaka dan kedua adiknya, dua puluh tahunan tapi sayangnya dia sangat liar dan terlihat sangat haus darah.

Sudut bibirnya masih tertinggal sisa darah yang bekas dia makan, entah mangsanya manusia atau hewan tapi Mintaka yakin kalau wanita kecil itu habis memangsa para prajurit yang ada di laut tadi.

Saat itu Mintaka bisa melihatnya, gadis kecil itu mengendus-endus lalu bola matanya menyalak. Gary yang memimpin hanya menyeringai, tapi cuping hidungnya kembang kempis menoleh ke si gadis kecil.

Mintakan dan kedua adik kembarnya seketika langsung waspada saat sorot tajam mata liar wanita kecil itu tertuju pada tubuh yang ada di punggung Mintaka.

Gadis kecil itu menyeringai mengelap sudut bibirnya yang basah bekas darah lalu berkata, "Ayah, aku menemukannya." Matanya penuh selidik ke Mintaka, lebih tepatnya sosok yang terkulai tak berdaya di punggung Mintaka.

Gary mengangguk saat mereka saling berpandangan.

"Edine, apa kau bisa melakukannya?" tanya si pemimpin yang ternyata adalah ayahnya.

Semua orang kontan waspada, sementara Edine merangsek maju selangkah dalam posisi siap menerkam.

Mintaka memamerkan gigi-giginya, waspada di depan kedua adiknya, erangan buas menggeram dari kerongkongannya. Sama sekali seperti bukan geraman main-main saat dia bermain bersama kedua adik kembarnya. Meski begitu Mintaka suaranya terdengar menakutkan, bahkan beberapa orang mundur selangkah saat mendengar geramannya, mereka semua terlihat waspada. Bulu kuduk semua orang meremang mulai dari ubun-ubun sampai ke tumit, setiap kali Mintaka menggeram.

"Luar biasa." Seru Gail, dia menoleh ke Meri.

"Apa kubilang, jangan meremehkannya. Bahkan dia bisa menekan semua orang. Sialan! Kenapa semua orang justru ketakutan dan mundur hanya mendengar geraman bocah itu." Meri kesal, mengumpat dengan kencang.

"Meri, tenangkan dirimu." Kata Gary, saat dia menatap Meri dengan tatapan mematikan.

Meri langsung diam seketika.

"Sayang, tenanglah!" ucap Gail.

Meri dan Gail adalah sepasang vampir di kelompok itu.

Mintaka bersikukuh melindungi tubuh yang ada padanya, apapun yang terjadi.

"Kak Taka." Seru Alnitak.

Dia berdiri di belakang kakaknya.

Meski posisinya waspada, Alnitak belum sekalipun berada pada posisi seperti ini, depan belakang hampir semua orang mengelilingi mereka bertiga.

Semua mata orang-orang tertuju kepada mereka bertiga, sangat menakutkan dan liar. Mereka menggeram juga berkali-kali, bergerak ke samping kanan ke kiri, terkadang mundur selangkah lalu maju lagi, dalam keadaan ingin menerkam.

Semuanya terlihat agresif ingin menerkam.

Gary maju melangkah, dia berusaha lagi untuk membujuk Mintaka.

"Anak muda, aku memberimu kesempatan yang bagus untuk terakhir kalinya. Bagaimana kalau kau meninggalkan tubuh itu kepada kami, di sini dan kalian bisa pulang dengan tenang."

Tapi, saat itu justru Edine di belakangnya menggeram dengan buas, bibirnya tertarik ke belakang menampakkan gigi-giginya, Gary mundur selangkah lagi.

"Edine, tahan!" katanya pada putrinya itu yang terlihat sudah tidak sabar.

Mintakan sedari tadi matanya lebih fokus pada Edine, yang juga menatapnya dengan tatapan tak kalah tajam pada Mintaka.

"Ayah, dia sudah …"

"Tahan Edine, sebentar lagi. Kalau dia bersikeras baru kau bisa bertindak sesukamu." Kata Gary.

Edine yang mendengar kalimat terakhir ayahnya tersenyum senang.

"Anak muda apa jawabanmu?" tanya Gary, dia posisinya tetap berdiri di samping putrinya.

Mintakan mencibir, dengan sorotan matanya yang tajam, berwarna biru dan menekan semua orang, dia berkata, "Aku tidak akan meninggalkan tubuh ini di sini bersama kalian." Setelah berkata dia menyeringai.

Edine yang mendengarnya merasa kesal, dia tanpa diduga melangkah maju, tiba-tiba sudah sangat dekat di depan Mintaka. Mencondongkan badan ke depan.

Matanya menatap Mintaka tajam, dia menggeram buas, sangat agresif.

Perlahan Almilan maju juga, dia sudah di depan Edine, Mintaka melirik adik keduanya.

'Jangan jauh-jauh dari Nitak.' Kata Mintaka menghantarkan suaranya ke pikiran Almilan.

'Dia akan baik-baik saja.' Jawab Alnitak menghantarkan suaranya ke pikiran kakaknya.

Alnitak berdiri agak jauh dengan bingung tapi waspada.

Gail dan Meri saling berpandangan saat mereka menyadari dan tatapan mereka sama tertuju pada adik bungsu ketiga kakak beradik kembar di depannya itu.

Lalu keduanya menyeringai bersama.

Gail mengangguk, Meri paham. Mereka dengan kompak melangkah maju lalu berbisik pada Gary, "Fokus pada si rambut merah." Kata Meri.

Gary langsung tatapannya ke arah Alnitak.

Dia bisa melihat bocah itu tatapan matanya tidak fokus seperti kedua saudaranya dan terlihat bingung.