Gerombolan serigala itu berputar-putar mengitari tepi pantai
Salah satunya berkata, "Aku harap mereka tidak akan melukai pemuda itu, kita datang terlambat menolongnya."
"Aku rasa para penghisap darah itu tidak akan membunuhnya, bukankah mereka berjanji tidak akan membuat kesalahan yang sama." Kata yang lainnya, serigala yang berwarna lebih coklat bulunya, mata merahnya menatap ke langit.
"Aku tidak yakin, meski mereka selalu mengatakan kalau mereka tidak akan pernah membunuh manusia lagi, lalu kenapa mereka membawanya pergi."
"Apa kamu ingin mengejarnya?"
"Bagaimana mungkin, apa kamu tidak melihatnya mereka berteleportasi saat mereka mendengar kedatangan kita."
Buk!
Serigala yang memimpin itu menendang pantat salah satu serigala yang lebih kecil.
"AUW!"
Serigala bertubuh kecil berbalik menatapnya.
"Kenapa kamu menendang bokongku." Protesnya, dia masih kecil dan lagi pula dia juga yang tubuhnya berukuran paling kecil di antara keempat gerombolan itu.
"Gara-gara kamu mereka melarikan diri."
"Aku?" katanya dengan kakinya yang dia garuk-garuk ke pasir.
"Cygnus, apa kamu bisa, tidak terus mengaum." Ucap Pheuton kepada gadis kecil itu.
Cygnus mengerjapkan matanya lalu dia berkata, "Bagaimana mungkin serigala tidak mengaum."
"Hei, maksudnya saat kita sedang berburu kamu jangan melakukan hal seperti itu lagi." Seru Orion. Dia mengibaskan ekornya.
Pheuton hanya bisa tersenyum melihat ketiga adik perempuannya.
Menjadi saudara laki-laki satu-satunya membuat Pheuton harus menjaga mereka dan mengawasinya.
"Kakak Pheuton sekarang bagaimana?" tanya Deneb, adik pertamanya.
"Sebaiknya kita pulang saja, hari ini cukup sampai di sini. Aku khawatir vampir lainnya segera muncul ke sini."
"Apa, ada vampir lagi?" ucap Orion, adik keduanya.
Cygnus bukannya mendengarkan dia berlarian ke sana ke mari mengepakkan ekornya berkali-kali.
"Hei, Cygnus apa yang kamu lakukan?" teriak Deneb saat dia menoleh adiknya itu sudah pergi menjauh, dia malah bermain di pantai.
"Ah, aku rasa dia perlu banyak dibimbing Kak." Keluh Orion, saat mereka melihat adik bungsu mereka tidak paham dengan situasinya.
"Sebentar lagi kelompok vampir lainnya sampai ke sini." Ucap Pheuton kepada kedua adiknya.
"Apa?" seru keduanya.
"Iya, mereka mencium bau darah dari laut. Kalian tidak tahu sebelum peperangan terjadi mereka mencari seseorang lalu mereka mengejarnya sampai ke sini dan sebagian mayat korban peperangang juga hanyut terbawa ke sini, mereka yang masih sekarat ada di sana." Pheuton memandang lautan yang gelap. Kedua adiknya mengikuti pandangan kakaknya.
Mereka hanya melihat kegelapan di lautan dan juga suara ombak.
"Sebaiknya kita cepat pergi karena mereka vampir liar yang tidak tahu diri." ucap Pheuton, dia memalingkan wajahnya menatap kedua adik perempuannya.
Mendengar itu keduanya saling berpandangan.
"Hei, Cygnus cepat kembali, kita akan pulang." Teriak Orion.
Cygnus yang mendengar langsung berbalik.
Dia berlari cepat mendekati saudaranya.
Saat yang bersamaan ada begitu banyak sosok bermata merah dan tatapan mereka tajam, mereka haus darah. Semuanya dengan gerakan secepat cahaya sudah berada di tengah hutan hampir sampai di tempat mereka.
Pheuton yang bisa merasakan bau mereka dengan cepat memerintahkan ketiga adiknya.
"Semuanya cepat lari." Ujar Pheuton.
Saat itu juga keempat kakak beradik itu langsung bergegas meninggalkan lokasi.
Pheuton selalu ingat pesan ayahnya, agar mereka tidak berurusan dengan vampir liar yang tidak memiliki kasta. Mereka sangat sulit dikendalikan. Dan keluarga mereka juga tidak ingin berhubungan dengan para vampir itu.
Sebagian mereka datang dari pegunungan di Eropa.
Pheuton berlari membawa ketiga adiknya menjauh dari bibir pantai, suara burung gagak bisa dia dengar dengan jelas.
Jenis vampir Strigia jumlahnya puluhan bahkan ribuan akan segera datang, mereka menghisap darah. Mayat yang mengambang di laut masih segar jadi mereka bisa mengendus aroma darah itu.
Dengan cepat keempat kawanan serigala itu pergi menjauh saat bersamaan pasukan vampir berupa burung gagak datang menyerbu, mereka langsung menghisap beberapa orang yang masih setengah hidup di lautan.
Sangat menyeramkan, semuanya ribuan. Mata merah dan suara burung gagak itu terdengar menakutkan dan memekikkan telinga.
Semua orang yang masih bertahan di tengah laut menjerit histeris saat ribuan burung gagak menyerang mereka satu persatu, menghisap darah manusia tanpa tersisa.
Banyak mayat di tengah laut, mengambang dengan wajah pucat, mata mereka melotot.
Dari jauh Pheuton merinding, dia sangat takut mendengar cerita dari ayahnya tentang vampir jenis tersebut.
Bagaimanapun mereka berempat pasti akan kalah jika bertemu dengan kawanan vampir Strigia berbentuk burung gagak itu yang jumlahnya bisa puluhan ribu saat mereka menyerang secara bersamaan.
Menjauh dari bibir pantai dengan cepat, mereka lari mengarah ke rumah mereka.
…
Sebuah cahaya terang di tengah hutan melesat dengan sangat cepat lalu berhenti pada suatu tempat.
Mereka baru tersadar, "Kakak kenapa kamu membawa kita ke tempat ini?" ucap Almilan.
Mereka mengedarkan pandangan mereka ke seluruh area, merasa aman, Mintaka menjatuhkan tubuh tak berdaya ke tanah.
"Huh! Kamu hanya bisa mengeluh. Kenapa bukan kamu saja yang melakukannya."
Mintaka mendengus kesal kepada adiknya.
"Kak, kenapa kita harus melarikan diri dari srigala itu. Apa Kakak takut pada mereka?"
Mintaka menoleh pada adik bungsunya, "Bukan serigala itu yang aku takutkan. Apa kamu tidak merasakan sesuatu yang datang di sana."
"Apaan?"
Tanya Alnitak penasaran.
"Kamu sungguh tidak diberkahi bahkan hidungmu tidak bisa mencium apa-apa." Mintaka mencibir adik bungsunya itu.
"Kakak?"
Alnitak kesal mendengar kakaknya terus saja menghina kemampuannya.
Sejak awal Alnitak memang tidak memiliki kelebihan apapun seperti kedua kakaknya. Dia hanya bisa bertarung dan kecepatan bertarungnya memang di atas kedua kakaknya tapi dia tidak memiliki kemampuan seperti kedua kakak kembarnya itu.
Mintaka lebih pada penciuman, dia memiliki indra penciuman yang tajam bahkan jauh ribuan mil dia bisa merasakannya.
Almilan lebih pada indra keenam, apa pun yang dia lihat dia bisa memprediksinya dengan tepat.
Lalu, Alnitak, dia menunduk merasa frustasi.
"Sudah jangan membahas itu lagi, sesuatu yang di luar kita jangkau." Almilan melerai keduanya. Di antara mereka Almilan memang sangat bijaksana. Dia tidak suka berdebat dan pikirannya terbuka. Hobinya membaca buku, dia juga lebih pendiam dari ketiganya saat mereka berada di rumah.
"Kakak, sebaiknya kita cepat bawa dia ke istana." Kata Almilan.
Mintaka berdiri menurunkan pandangannya pada sosok tak berdaya yang tergeletak di kakinya itu.
"Aku sangat lelah, kenapa bukan kalian saja yang membawanya. Lihat bajuku kotor kena darah dari tubuh ini." Gerutu Mintaka, dia mengibaskan baju bagian lengan dan juga dadanya, yang ada bekas darahnya. Menahan napas, Mintaka bisa merasakan aroma darah ini sangat … aneh sekali tapi memang begitu segar.
Melihat kakaknya, Alnitak berseru, "Kakak tahan emosimu, bukankah kita sudah lama belajar meditasi untuk tidak tergoda pada darah manusia."
Mintaka melirik, sudut bibirnya bergerak, dia memicingkan matanya.
Tatapan itu membuat Alnitak tersenyum, kakaknya berusaha sebaik mungkin untuk menahan emosinya.
"Kalau kau tidak mau menggendongnya biar aku saja." kata Alnitak selanjutnya.
"Kamu …" Mintaka melotot.
"Apa kamu mau aku mati dibakar oleh ayah karena membiarkanmu melakukan semua ini?"
"Aku rasa diam-diam sebenarnya kakak sangat menyayangimu, Alnitak." Ucap Almilan, dia menyeringai, dahinya bergerak-gerak.
Mintaka tidak goyah sama sekali, dia menatap kedua adiknya dengan tatapan dingin.
"Kakak …"
Almilan waspada saat dia merasakan sesuatu. Matanya melebar menatap Mintaka, begitu juga kakaknya, hidungnya bergerak-gerak.
"Alnitak ke sini." Teriak Mintaka pada adiknya, dia menarik lengan tangan adiknya lalu dibawa ke belakang tubuhnya.
Dengan cepat pula, Mintaka membawa tubuh itu ke atas punggungnya.
Almilan juga bertindak sama, dia berdiri bersisian dengan Mintaka, Alnitak di belakang mereka.
"Kak, mereka ada tiga sampai lima orang."
"Seberapa jauh?" tanya Mintaka, tatapannya lurus ke depan, mata birunya berwarna terang di kegelapan.
"Ada lagi Kak, mereka …" Almilan terkejut dan panik.
"Bagaimana ini?" katanya lagi, wajahnya panik dan cemas.
"Apa kita tidak bisa pergi?" tanya Alnitak di belakang mereka, berusaha mengintip dari punggung kedua kakaknya.
Keduanya sudah berjanji kepada ayah mereka, apapun yang terjadi mereka harus melindungi Alnitak. Karena dia yang paling lemah di antara ketiganya.
"Kak, apa kita tidak bisa pergi saja?" tanya Alnitak, dia panik dan juga khawatir.
"Ah, kalau saja kita tidak membawa tubuh ini." Gerutu Alnitak.
"Nitak jangan banyak bicara, dia akan membantumu suatu saat nanti." Kata Almilan kepada adiknya.
Dia?
Alnitak menatap tubuh itu, apa mungkin tubuh sekecil ini bisa membantuku?
Batin Alnitak saat pandangannya tidak yakin menatap tubuh kecil yang terkulai lemas itu.
Bagaimana mungkin? Alnitak menyeringai.
Sementara Mintaka sangat waspada.
"Apa mereka mencium bau darah manusia?" tanya Alnitak.
"Pasti. Ish … kenapa tubuh ini sangat lemah, dia belum juga bangun." Gerutu Mintaka, dia menggendong tubuh itu tidak berdaya di punggungnya.
"Kak, benar-benar kita tidak bisa melarikan diri?" tanya Alnitak lagi.
"Hm … sudah terlambat. Baunya mereka … Ah sialan! Mereka kelompok vampir liar dari laut kuning. Apa mereka sudah mengincarnya sejak awal?" seru Mintaka.
Mereka muncul satu demi satu, dari pinggir hutan, masing-masing berjarak satu meter. Pria pertama yang muncul langsung mundur teratur saat melihat ketiga vampir kembar di depannya.
Lalu dia menepi memberi jalan pada seorang pria lainnya untuk maju, lalu ada banyak juga bermunculan.
Ketiga saudara kembar itu membelalakkan matanya saat mereka melihat banyak vampir lain yang mendatangi mereka.
Seorang pria yang berdiri paling depan di antara mereka seolah bersikap ingin memberitahu kepada ketiganya, sikapnya dengan jelas menunjukkan siapa di antara mereka yang menjadi pemimpin. Tubuhnya tegap, matanya merah menyala, rahangnya sangat kuat, dia menggeretakkan lehernya sebelum berbicara.
"Serahkan tubuh itu kepadaku, kalian vampir kecil bisa kembali pulang ke rumah dan bermainlah bersama." Seru si pria jangkung dengan rambut merahnya yang berantakan, matanya yang merah berkilat-kilat saat dia menatap tubuh yang ada di punggung Mintaka.
"Tidak akan aku serahkan." Jawab Mintaka, dia juga tidak ingin kalah, berusaha mengintimidasi mereka dengan tatapan matanya yang tajam dan menakutkan juga. Mata biru Mintaka memang sangat menyilaukan, membuat siapa pun yang melihatnya merasa tertekan.
Eerrrggghh ….
Eerggghh …
Seru semuanya, mereka mencondongkan badan mereka, siap-siap untuk menyerang kalau pemimpin mereka memberikan aba-aba.
"Apa-apaan ini?" seru Almilan.
Tanpa melirik Mintaka berkata dengan suara pelan, "Ada apa?"
"Kenapa mereka semakin banyak Kak? A-aku …"
"Milan, ada apa?" tanya Mintaka pada adiknya.
"Kakak Milan, kenapa?" tanya Alnitak di belakang mereka, dia sangat gemetaran.
Alnitak belum pernah bertarung dengan vampir sejenis mereka.