Pertempuran Laut Kuning …
Port Arthur, 10 Agustus 1904.
Angin laut, ombak dan seseorang berjalan bertelanjang kaki di pasir yang basah.
Ombak yang datang dari waktu ke waktu.
Air laut menyapu kaki seorang pemuda yang hampir di seluruh tubuhnya dipenuhi luka, wajahnya merah, penuh darah segar.
Dari mulutnya keluar seteguk darah, terasa manis di bibirnya yang dia jilati sendiri.
Dia berusaha membawa tubuhnya menjauh dari tepi laut. Berharap ada seseorang yang menemukannya.
Tubuh kecilnya menggigil tersapu angin dan juga hujan lebat.
Siapa sangka nasibnya akan seperti ini, Misaki Himura, usianya bahkan belum genap dua puluh tiga tahun. Sehari lagi tepatnya, besok tanggal sebelas agustus dia berusia dua puluh tiga tahun.
Tapi sayang, nasibnya tidak seperti yang dia harapkan, dia kini sendirian jauh dari ayah dan ibunya bahkan negerinya tercinta.
Dengan sekuat tenaga menahan sakit di seluruh tubuhnya, Misaki terus berjalan menelusuri setapak demi setapak pasir yang basah.
Gelap …
Hitam …
Mata sipitnya tidak bisa dia tahan, betapa melelahkan. Rasanya dia ingin sekali memejamkan matanya tapi dia juga harus segera berlari.
Jangan sampai dia tertangkap, lebih baik dia mati daripada harus menjadi tahanan perang.
Tidak …
Aku tidak harus mati di sini.
Kata Misaki meyakinkan dirinya, dia terus melangkah menyeret kakinya yang sudah sangat perih dia rasakan.
Kapal milik negeri tercintanya hancur berkeping-keping, semua orang mati dan menghilang bahkan mungkin tenggelam di lautan dimakan ikan buas.
Semua orang entah sekarang bagaimana nasibnya.
Saat itu Misaki tidak tahu keadaan di luar, dia hanya melakukan tugasnya sebagai prajurit yang harus memberikan nyawa dan juga tenaganya untuk negara.
Misaki tidak sanggup lagi, kedua kakinya bahkan tidak mau berjalan mengikuti otaknya yang ingin cepat melarikan diri.
"Sial! Kenapa kau tidak mau bergerak." Dia memukul kedua kakinya sendiri, merasa frustasi.
Lalu pada akhirnya …
Dia tumbang!
Tergeletak di tepi laut yang sepi.
Senyap-senyap, Misaki hanya bisa mendengar desiran ombak.
Dengan matanya yang masih terpejam, seragam prajurit kebanggaannya sudah tidak berbentuk lagi.
Dingin menelusup ke seluruh tubuhnya, tapi dia tidak bisa bergerak sama sekali.
"Kalau aku mati terseret ombak, habislah aku di makan hewan laut." Kata Misaki.
"Apa aku harus mati mengenaskan seperti ini?"
Terbaring dengan tubuh lemah dan tertempa air yang awalnya kecil lalu berubah menjadi hentakan yang perlahan menggerakkan tubuhnya.
Misaki tidak bisa berbuat apa-apa, dia pasrah saat air pasang terus menerjang tubuhnya, terombang-ambing.
Rasanya semua persendiannya terputus.
Misaki tidak bisa berbuat apa-apa.
'Okaa-san … maafkan aku!' katanya lirih, air matanya jatuh di sudut matanya yang terpejam.
***
Beberapa jam sebelumnya …
Pertempuran di Pelabuhan Arthur Port, tepat pukul satu pagi – dini hari.
Saat itu pertempuran besar terjadi antara negara yang memiliki kekuasaan penuh, salah satunya Jepang dan Rusia.
Demi mempertahankan pasukannya, Jepang membutuhkan pertahanan laut untuk berperang di daratan Asia. Karena itu pemerintah mengeluarkan mandat kepada seluruh rakyatnya untuk mendaftarkan diri menjadi prajurit. Demi memperkuat pasukan militer angkatan laut yang akan dikirim ke armada Rusia di Port Arthur.
Saat bulan Februari 1904 berita tersebar di seluruh negeri bahwa peperangan telah dimulai, peperangan yang terjadi diawali oleh sebuah serangan torpedo mendadak pada kapal-kapal Rusia di Port Arthur sehingga membuat dua kapal Rusia rusak parah pada akhirnya.
Di kapal induk Jepang.
"O-oi … Misaki-chan, cepat … cepat …" seru seorang prajurit lain di depan Misaki.
Misaki yang membawa tas ransel di punggungnya berlari mengejarnya melewati beberapa prajurit yang juga sangat sibuk.
Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak muda dan remaja yang harus membela negaranya, dikirim ke medan pertempuran yang beresiko, dan berlangsung sepanjang malam bahkan beberapa hari tanpa henti.
Beberapa prajurit muda beramai-ramai membopong sebuah torpedo yang akan mereka lepaskan ke pihak musuh.
Misaki yang baru saja bergabung dengan pasukan angkatan laut kapal induk, meski dia sedikit bingung tapi dia juga cepat belajar melihat situasi dan kondisinya.
Dengan wajah bingung, panik dan juga ketakutan Misaki berlari mengejar seniornya. Mereka berdua adalah prajurit pembaca pesan. Jadi saat pendaftaran Misaki lolos karena bisa dikatakan anak paling pintar di angkatannya dengan hafalan yang luar biasa, bahkan dia juga hafal rumus-rumus matematika dan soal-soal yang tidak bisa dikerjakan oleh semua anak-anak seusianya.
Terbilang anak langkah saat itu Misaki mudah langsung ditunjuk menjadi pembawa pesan.
Semua orang di dalam kapal induk berharap mereka bisa menang menyelesaikan pertempuran ini lalu pulang bertemu dengan sanak famili mereka.
Suara teriakan sahut menyahut di geladak kapal.
Rata-rata para prajurit masih berusia muda.
Kalau bukan terpaksa demi kedua orang tuanya Misaki tidak akan mendaftarkan diri.
Dia satu-satunya anak dari keluarga Himura, ayahnya tidak mampu salah satu kakinya patah, tidak mungkin dia membiarkan ayahnya mati begitu saja.
Awalnya ibunya melarang tapi Misaki tidak akan membiarkan ayahnya menderita di medan perang, maka Misaki berlari menuju pos pendaftaran bersama puluhan remaja seusianya di kampung halamannya, Higashinaruse, Prefektur Akita.
Boom ...
Boom …
Suara ledakan terdengar keras, bersamaan dengan guncangan yang terjadi di geladak kapal.
"Ayo cepat … cepat … pasang lagi torpedonya." Teriak seseorang memberikan semangat.
Misaki dengan tubuh kecilnya berlari, tugasnya adalah memastikan pesan yang disampaikan oleh camp pusat untuk kapal induknya.
Keringat dingin mengalir di punggungnya setiap kali dia mendengar suara dentuman dan kapal induk berguncang dengan dahsyat.
Misaki harus segera sampai ke bagian kapal atas untuk menyampaikan pesannya kepada Komandan Shigure, karena jika tidak, kekalahan pasukannya berada di tangannya.
Berlari mengejar waktu dan kecepatan serangan musuh. Misaki meski jantungnya berdetak kencang, keduanya kakinya yang gemetar, tapi dia tahan dan berusaha fokus melihat ke depan.
Ada tangga, dia menaikinya setelah seniornya.
"O-oi … Misaki-chan … cepat." Kata Akira, pemuda itu usianya tidak jauh dari Misaki, dia meski bertampang dingin tapi selalu melindungi Misaki.
Akira menjulurkan tangannya, membantu Misaki untuk bisa cepat menaiki anak tangga.
TAP
TAP
TAP
Misaki terengah-engah, dahinya peluh. Dia menahan beban berat tas ransel yang berisi radio di punggungnya yang rasanya tidak bisa dikatakan lagi.
Misaki jadi teringat, malam-malam seperti ini saat dia berada di kampungnya, dia selalu menatap langit melihat bintang biduk yang ada di tengah-tengah persawahan di kampung halamannya.
Misaki sedikit menatap ke langit yang cerah dan indah sambil berlari.
"Misaki-chan … cepat …" teriak Akira, saat dia menoleh ke belakang Misaki tertinggal beberapa langkah darinya.
Dia melambaikan tangannya, memberi aba-aba pada Misaki untuk sedikit membungkukkan badan saat mereka ada di atas geladak kapal induk.
Swiiing ….
Duar!
Swiiing …
Duar!
Misaki bergeming saat dia tanpa sengaja melihat ke arah lain, sebuah kapal hancur berkeping-keping. Serangan mematikan dari musuh dengan cepat menghancurkan kapal-kapal pengangkut.
Misaki terhuyung dengan mata melebar, tidak bisa menguasai diri. Ini pertama kalinya dia melihat dan terjun ke medan pertempuran yang sesungguhnya.
Semuanya seperti kembang api, suara tembakan, dan juga meriam.
Saat itu juga …
Duar!
Boom ….
"MISAKI-CHAN …." Teriak Akira dengan kencang.
Tapi terlambat, Misaki tubuhnya terpelanting jauh terbang bersamaan dengan kapal induk yang juga terbelah menjadi dua bagian.
"Bintang Biduk … Almilan … Alnitak … Mintaka …" seru Misaki, tubuhnya terhempas melayang.
Dia hanya bisa merasakan tubuhnya melayang, tapi tidak bisa mendengar apa-apa lagi.
Begitu juga dengan Akira.
KRAK!
Di bawah pijakan kaki Akira, badan kapal terbelah menjadi dua.
Musuh berhasil melumpuhkan badan kapal dengan sempurna.
Akira tercengang, lalu ….
"MISAKI-CHAN …" teriaknya untuk yang terakhir kalinya.
Suara jeritan ketakutan dan juga suara meriam menggema di udara.
"Lari … selamatkan diri kalian semua …" seru seseorang, dia berlari ke sudut kapal, berusaha menekan tombol sirine, bahwa kapal dalam keadaan tidak bisa dikendalikan.
Saat itu juga …
Dalam hitungan menit …
Kapal perlahan tenggelam …
Suara jerit tangis dan memohon pertolongan perlahan menghilang.
Di suatu tempat yang jauh …
"Apa kau dengar? Ada seseorang memanggil nama kita." Seru Mintaka.
Ketiga saudara kembar itu tengah bermain dadu.
"Kau hanya berhalusinasi." Jawab Alnitak, tersenyum sinis tanpa melihat saudara kembarnya itu.
"Aku rasa dia benar." Sahut Almilan.
"Aku juga mendengarnya." Lanjutnya.
Ketiganya berhenti bermain, memfokuskan pikiran mereka.
Memejamkan mata lalu …
Dalam hitungan detik ketiganya menghilang …
Wuuuss …
Seperti sambaran petir yang begitu cepat, mereka terbang melintasi benua.
Ketiganya mendarat tepat tak jauh dari tubuh yang tergeletak kaku di sisi badan pantai.
"Bau darah … Hmm … manusia …" kata Mintaka, mata birunya berubah merah menyala penuh gairah.
Dia mengerang, bersemangat menatap tajam santapan yang baginya sangat menggiurkan.
"Mintaka, tunggu! Jangan sembarangan. Tahan emosi dan juga nafsumu." Almilan sudah berdiri cepat di depan Mintaka, saat saudara tertuanya itu terlihat kelaparan dan sangat berhasrat pada tubuh yang tidak bergerak sama sekali itu.
"Minggir! Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langkah ini." Mintaka matanya menyalak tajam pada adik kembarnya.
Mau tidak mau Alnitak ikut menengahi kedua kakaknya.
"Kalian, jangan berkelahi di sini, ini bukan area kita. Bawa dia ke tempat kita."
"Apa?" Mintaka matanya melotot.
"Kau apa-apaan?" lanjutnya, tangannya sudah ingin mengeluarkan sesuatu, tapi ditahan oleh Almilan.
Lalu Almilan berbisik pada kakaknya, "Karena dia memanggil kita, jadi kita harus membawanya."
"Kakak benar. Aku tidak akan membiarkanmu melukai atau memakannya." ucap Alnitak, adik bungsunya itu berdiri di depan Mintaka.
"Apa maksud kalian?" Mintaka bergerak cepat menghindari kepungan kedua adiknya.
Wuss …
Tapi tidak kalah cepat dengan sang kakak, mereka juga cepat menghalangi Mintaka.
Mintaka mendengus, matanya semakin merah.
"Dia akan menjadi penolong kita di masa depan, jangan main-main dengannya." Ucap Almilan.
Mintaka memicingkan matanya, menatap adik keduanya, "Apa maksudmu?" katanya.
"Aku melihat dia di masa depan membawa kita kebahagiaan."
Perlahan Almilan, memegang tangan kakaknya lalu seperti ada cahaya terang yang menyerang Mintaka dengan tiba-tiba.
Dia melihat …
"Hah …" Mintaka buru-buru melepaskan tangannya dari genggaman adiknya.
Matanya kini berbinar-binar …
"Bawa dia pulang segera." Perintah Mintaka pada akhirnya.
Baru saja kedua adiknya hendak membawa tubuh tak bergerak itu tiba-tiba …
Gerombolan serigala mengaum dari kejauhan.
"Sialan! Cepat …" Mintaka dengan cepat menyambar tubuh kaku itu lalu dia dengan cepat juga menarik kedua adiknya ke dalam lingkaran cahaya yang dia buat dengan jari tangannya.
Dalam hitungan detik ketiganya menghilang …
"Errghhh …." Serangan Serigala itu terlambat.
Mereka menghilang seperti debu.
Empat dari kelima gerombolan hewan buas itu mengendus di setiap tempat kejadian.
"Sialan!" seru salah satu dari mereka, meraung.