Di pagi hari yang cerah. Terlihat sepasang manusia yang tengah meringkuk di balik selimut. Sambil memeluk satu sama lain dengan erat.
Ken mulai mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia begitu mendengar suara deru nafas yang ketara.
Aroma tubuh ini juga begitu tidak asing untuknya. Ken membelalakkan matanya. Itu pasti Karina.
Perlahan, Ken menjauhkan tangannya dari pinggang ramping itu. Namun, Karina malah mengeratkan pelukannya. Tentu saja hal itu membuat dirinya tidak bisa bergerak.
"Astaga. Bagaimana ini?" batin Ken gundah gulana.
Ken benar-benar bingung. Jika dia bergerak, takutnya istrinya itu akan bangun. Namun, jika tidak bergerak. Mau sampai kapan mereka akan seperti ini. Bagaimanapun, ia adalah pria normal.
Tubuh sang istri begitu erat merekat di tubuhnya. Ken bersusah payah meneguk salivanya tersebut.
Hingga matanya terbelalak sempurna ketika merasakan benda kenyal itu menempel di bibirnya.
"Jika begini terus aku bisa gila!" umpatnya dalam hati.
"Eugh," lenguk Karina.
Karina mengerjap-ngerjapkan matanya. Ken yang tahu bahwa sang istri sudah sadar langsung memejamkan matanya kembali. Pura-pura tertidur.
"Astaga!" pekik Karina kaget.
Ia langsung menjauh dari tubuh Ken. Ia benar-benar terkejut mendapati dirinya bisa tertidur seperti itu. Kenapa dirinya memeluk Ken seerat itu?
Jika orangnya sampai tahu. Karina yakin, Ken akan marah besar.
Karina mencuri pandang ke sosok tampan itu.
"Huh!" Hembusan nafas lega keluar dari mulut mungilnya. Karina sangat senang karena Ken ternyata masih terlelap.
Jadi, dirinya tak perlu khawatir. Dengan hati-hati, Karina turun dari kasur untuk menuju kamar mandi.
Dirinya tak boleh menimbulkan suara sedikitpun. Karina sangat tahu jika pendengaran suaminya itu pasti begitu tajam. Setahunya, seorang tunanetra memiliki pendengaran yang tajam.
Karena dulu, Karina pernah menjadi relawan merawat anak-anak yang kurang beruntung. Karena hal itu, sedikit banyaknya dia tahu.
"Gedebuk."
Karina tersandung kakiknya sendiri. Bohong, jika ia tak merasakan sakit. Ini sangat sakit sekali.
Ken yang mendengar suara itu tentu saja khawatir. Ia pun memutuskan untuk bangun.
"Karina? Kamukah itu?" tanyanya datar.
Ken turun dari ranjangnya dan langsung meraih tongkatnya.
"Karina?" katanya lagi.
Karina masih diam membisu. Hingga akhirnya, Ken malah menubruk dirinya. Ringisan keluar dari mulutnya.
Ken yang sadar langsung bangkit. "Maaf. Kebutaanku itu telah menyakitimu."
Terlihat wajah Ken begitu khawatir. Karina yang melihatnya entah mengapa merasa senang. Ternyata pria menyebalkan di hadapannya itu bisa juga mengkhawatirkan dirinya.
"Ah. Tidak apa Tuan," sahut Karina.
"Kamu tidak apa-apa kan?" tanya Ken memastikan.
"Tidak. Saya tidak apa-apa Tuan."
Ia pun berusaha untuk bangkit. Namun, hasilnya nihil. Kakinya tidak bisa digerakkan.
"Aww," rintihnya.
"Ada apa Karina?"
"Saya tidak bisa berdiri Tuan. Kaki saya sepertinya keseleo," jujurnya.
"Astaga!" balas Ken sedikit panik.
Karina lagi-lagi berusaha untuk bangkit. Namun, tetap saja gagal.
"Ya Tuhan. Bagaimana ini?" batin Karina panik.
Jika kakinya tidak bisa berdiri. Bagaimana ia akan ke kamar mandi coba? Karina melirik jam dinding yang terpampang lebar sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.
Itu artinya, sejam lagi dirinya harus pergi ke kantor. Untuk libur, hal itu tidak mungkin. Mengingat, akan ada rapat penting yang harus dihadirinya kali ini.
Ken masih berdiri tak jauh dari Karina. Ia bingung ingin menawarkan bantuan. Tapi, ia takut jika Karina akan menolak bantuannya itu mentah-mentah.
Karina terlihat ragu. Dipandanginya sosok Ken lekat.
"Aku tidak punya pilihan lain. Aku harus meminta bantuannya. Lagipula, dia tidak bisa melihat. Jadi, aku tidak perlu khawatir," gumam Karina dalam hati.
"Ekhm." Karina berdehem pelan.
Ia meyakinkan dirinya sendiri. Menurutnya hal ini tidak salah.
"Tuan, boleh saya meminta bantuan darimu?" kata Karina sopan.
Ken mengangguk kecil. "Apa yang bisa aku bantu?"
Karina menghembuskan nafas kasar. "Tolong, bantu saya ke kamar mandi. Dan bantuin mandi juga." Karina memejamkan matanya karena malu.
Ia sangat yakin, jika Ken pasti akan berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. Biarlah ia dianggap sebagai gadis yang tidak baik.
Ken tercengang dibuatnya. Istrinya itu sedang tidak bercanda kan? Jika bercanda hal itu sama sekali tidak lucu.
"Tuan, saya mohon. Saya harus ke kantor. Tolong saya ya," ujar Karina memohon.
Lumaya lama Ken berpikir. Akhirnya ia pun mengangguk kecil. "Baiklah. Intinya jangan coba macam-macam denganku!" balas Ken memperingatkan.
Karina langsung cengo mendengarnya. Apa tadi katanya? Macam-macam?
Cih! Itu tidak mungkin. Buat apa melakukan hal itu coba? Sama sekali tak ada untungnya baginya. Pikir Karina sedikit kesal.
Ken mulai bergerak. Dia mengulurkan tangannya untuk membantu Karina bediri. Hal itu tentu saja membuat jantungnya berdetak kencang.
Karina juga sama gugupnya dengan Ken.
***
Di lain sisi
Adam mendengus sebal tatkala melihat seorang wanita tengah tertidur pulas. Seolah tak menghiraukan matahari yang mulai naik.
"Ya ampun. Bisa-bisanya dia masih tertidur. Bikin repot saja," katanya kesal setengah mati.
Bagaimana tidak. Setelah Lisa memutuskan untuk tinggal dengannya. Lisa terus saja memerintah dan mengekangnya.
Gadis itu sudah seperti putri raja saja. Yang apa-apa, selalu dilayani. Jika tidak mengingat fakta Lisa yang tengah mengandung. Adam sudah pasti akan menendang gadis itu dari rumahnya.
Dengan langkah kasar. Adam pun berjalan menuju dapur. Perutnya benar-benar begitu keroncongan.
Adam jadi ingat masa lalu. Dulu, Karina yang akan selalu membawakannya sarapan dan makan siang setiap hari hanya untuk dirinya.
Mantan kekasihnya itu begitu baik dan tak pernah menganggap dirinya rendah. Walaupun, Karina adalah CEO di tempatnya bekerja.
Adam benar-benar merasa begitu menyesal. Ia benar-benar bodoh telah kehilangan sosok itu.
"Kamu bodoh Adam!" katanya tertawa kecil.
Adam memukul meja dapur lumayan kuat. Hingga senyum jahat muncul di wajahnya itu.
"Ah iya. Aku masih punya kesempatan untuk mendapatkan Karina kembali. Lagipula, aku sangat yakin jika dirinya terpaksa menikah dengan pria tunanetra sialan itu!"
Jika mengingat sosok Ken pada saat pernikahan waktu itu. Adam begitu yakin, jika Karina tidak mungkin jatuh cinta dengan pria tunanetra. Hal itu tidak mungkin.
Apa sich yang bisa dilakukan oleh pria tidak berguna seperti itu? Berjalan saja harus menggunakan bantuan tongkat. Benar-benar tak bisa dibandingkan dengan dirinya ini.
Senyum terbit di wajah Adam. Ia harus bergegas agar cepat ke kantor. Hari ini, dirinya harus bertemu dengan Karina bagaimanapun caranya.
Ia bersiul-siul kecil sambil mengambil beberapa potong sayur. Ya, kali ini dirinya akan membuat salad sebagai menu sarapannya.
Untuk Lisa. Adam tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan oleh gadis benalu itu. Menyesal Adam sudah menjalin hubungan dengan sosok Lisa.
Hingga, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Adam melihat siapa yang meneleponnya.
"Pucuk dicinta. Ulam pun tiba." Wajahnya begitu sumringah melihat gerangan yang tengah meneleponnya itu.