Karina mengernyit heran memperhatikan sang sahabat yang terus tersenyum seperti orang yang tidak waras. Keduanya tengah berada di sebuah Taman yang kebetulan sepi pengunjung. Mungkin, karena ini masih bisa dibilang pagi. Pasti semua orang tengah sibuk bekerja. Tidak seperti mereka yang malah bersantai di sini.
"In, kamu kenapa sich? Aku ngeri lihatnya lho," ujarnya serius.
Sontak, Indry langsung cemberut karena perkataan Karina barusan. "Ih! Ngeri kenapa sich? Aku baik-baik aja kok. Nggak kerasukaan apapun," sahutnya sebal. Ia seolah tau anggapan Karina seperti apa kepada dirinya.
"Soalnya kamu nggak biasanya seperti itu," jujur Karina.
Ia awalnya begitu terkejut mendapat kunjungan mendadak di jam sibuk-sibuknya oleh sang sahabat. Belum lagi, Indry memaksanya untuk ikut ke sini di tengah pekerjaannya yang lumayan banyak. Ia sangat yakin, jika dirinya adalah seorang pegawai. Mungkin, ia sudah dipecat karena sudah seenaknya seperti saja.
"Aku lagi bahagia banget tau! Bulan depan aku akan menikah," katanya begitu antusias.
"Kamu bahagia?" tanya Karina memastikan. Sang sahabat sedang tidak mengerjainya kan? Indry benar-benar aneh. Tidak biasanya, ia akan semangat seperti itu membahas pernikahannya. Tapi, kenapa sekarang berbeda?
Biasanya, Indry akan memberenggut kesal sambil mengatai sang Papa seenak jidatnya. Sedari dulu, sang sahabat begitu membenci semua hal yang berkaitan dengan dirinya yang dikaitkan dengan pernikahan.
Indry mengangguk semangat. "Iya, bahagia banget malah."
Karina membuka mulutnya lebar. Dirinya benar-benar shock. Benarkah di sampingnya ini adalah Indry sahabatnya? Kenapa rasanya mustahil sekali.
Dipegangnya tangan Indry dengan erat. "Kamu benar Indry sahabatku kan?" tanya Karina memastikan.
Sekarang, gantian Indry yang terlihat shock. "Ada apa denganmu? Ya, jelas aku Indrylah."
"Habisnya kamu aneh banget In."
Kekehan langsung lolos dari mulut Indry. "Haha. Iya-iya. Pasti kamu kaget ya?"
Karina mengangguk membenarkan. Bukan hanya kaget saja tapi lebih ke hampir terkena serangan jantung.
"Begini, baru kali ini aku bertemu dengan pria yang begitu baik, tampan, dan bisa menggetarkan hatiku." Pupil matanya membesar.
"Benarkah?" Karina tersenyum senang. Setelah sekian lama sang sahabat menutup hatinya. Kini, sahabatnya itu sudah mulai membuka hatinya kembali. Ia benar-benar bahagia sekali mendengarnya.
"Iya. Aku juga tidak menyangka bisa seperti itu. Tumben, Papaku benar pilih calon menantu. Biasanya salah mulu tuh."
Karina langsung memeluk erat sang sahabat. "Selamat ya kalau begitu. Kapan-kapan kenalin dong!"
Indry tersenyum dan membalas pelukan sang sahabat. "Iya. Kamu tenang saja. Kita nanti akan double date."
Pelukan keduanya terlepas. Seketika raut wajah Karina menjadi murung. "Tidak! Sepertinya hal itu tidak akan pernah bisa terjadi."
"Kenapa?" tanya Indry keheranan.
Karina menghebuskan nafas kasar. "Kamu tahu sendiri kan suamiku seperti apa. Dia mana mau diajak seperti itu. Pasti katanya hanya buang-buang waktu saja."
"Cih! Suami kamu itu tidak ada romantis-romantis ya," cibir Indry.
Karina mengangguk membenarkan. Apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu memang benar adanya. Ken bukanlah sosok yang romantis. Melainkan sosok yang begitu menyebalkan dan seenaknya saja. Darahnya selalu mendadak mendidih jika berada di samping pria yang sudah berstatus sebagai suaminya tersebut.
"Tapi, dia baik kok." Karina menatap lurus ke depan memperhatikan jalanan yang sepi. Hanya ada beberapa orang yang terlihat berolahraga.
Sekilas, bayangan Ken membantunya ketika ia terjatuh, menjemputnya, membuat Karina tanpa sadar tersenyum. Belum lagi, perihal sapu tangan yang sampai sekarang belum ia kembalikan kepada pemiliknya.
"Iya sich. Setidaknya suami kamu itu tidak seperti si Adam brengsek," kata Indry membenarkan. Ia juga menatap lurus ke depan seperti yang Karina lakukan.
"Ah iya, siapa nama calon suami kamu itu?" Karina kini menatap ke arah Indry.
"Namanya Louis. Bagus bukan?" menoleh ke arah Karina dengan senyum secerah mentari.
"Louis?" ulang Karina.
"Iya. Aku tidak tahu nama lengkapnya. Tapi intinya dia sangat tampan dan baik tentunya. Sebelas dua belaslah sama suamimu," jelasnya.
"Pekerjaannya apa?" tanya Karina yang mendadak kepo. Padahal, dirinya tak pernah seperti ini Biasanya, Indry yang dikenal sebagai orang yang suka kepo. Atau lebih detainya, sahabatnya itu termasuk ratu gossip.
"Aku tidak tahu. Tapi, kata Papa dia bekerja di perusahaan terkenal."
Karina terlihat berikir. "Ini bukan Louis, sahabatnya Tuan Ken kan?" batin Karina bertanya-tanya.
Ia pun langsung menggelengkan kepalanya. "Ah. Tidak mungkin. Hal itu sungguh mustahil," batinnya lagi.
Kedua alis Indry tertaut sempurna. "Ada apa Karina? Kamu mengenal Louis?"
"Ah. Tidak. Hanya, nama calon suamimu itu sama dengan nama sahabat suamiku. Tapi, nama Louis itu kan banyak. Jadi, mungkin hanya namanya saja yang kebetulan mirip," terangnya.
"Oh begitu. Ya sudah kita ke Café yuk cari makan," ajak Indry.
"Kamu belum sarapan tadi?"
Indry tersenyum malu-malu. "Hehe. Udah sich. Malah tadi, porsinya lebih banyak dari biasanya. Tapi, ini aku udah laper lagi."
Karina mengerjap-ngerjapkan matanya lucu. "Ya ampun. Dasar kamu perut karet," ledeknya.
"Awas aja nanti kalau kamu ngeluh perihal badanmu yang naik." Karina menatap tajam Indry.
Yang ditatap hanya bisa terkekeh. "Iya. Mungkin, aku kayak gini efek jatuh cinta yang terus membuat perutku kosong karena energinya diserap sama pangeran tampanku," ujarnya lebay.
"Idih, apa hubungannya coba." Karina geleng-geleng kepala tak habis pikir.
"Udah gih ayo. Aku butuh tenaga untuk terus memikirkan pangeran tampanku."
Indry beranjak dan menarik tangan sang sahabat untuk mengikuti. Karina hanya bisa pasrah saja.
Tak butuh lama, hanya sekitar lima belas menitan. Keduanya sudah berada di sebuah Café yang biasa mereka kunjungi.
Seperti biasa, Café ini tidak pernah sepi. Padahal, hari masih pagi. Baru sekitar jam sepuluh.
Karina dan Indry memutuskan untuk duduk di pojok dekat dengan jendela. Jadi, keduanya bisa melihat kendaraan yang lalu lalang.
"Mau pesen apa?" tanya Indry kepada Karina.
"Aku lemon tea aja."
"Makannya nggak nih?"
Karina menggeleng pelan. "Nggak ah. Aku masih kenyang," jujurnya. Bagaimana tidak kenyang coba. Tadi, ketika sarapan. Ken memaksanya untuk menghabiskan dua porsi nasi goreng. Ya jelas dirinya kekenyangan dong.
Seumur-umur, ia itu biasanya hanya sarapan dengan roti saja. Nasi goreng hanya sesekali saja. Itu pun, hanya beberapa suap.
"Ya udah kalau begitu."
Indry pun mengatakan pesanannya kepada sang pelayan Café yang sudah mengenal mereka.
"Kamu kayak orang yang nggak makan selama dua hari aja. Banyak banget pesen makanannya," kata Karina tak percaya.
"Habisnya, aku laper banget tau."
Karina hanya bisa menghela nafas panjang. Matanya ia arahkan ke arah jendela kaca melihat kendaraan yang lalu lalang.
Hingga, matanya terbelalak sempurna melihat orang yang begitu dikenalnya. "Astaga, kenapa dia bisa ada di sana? Dia tidak akan kemari kan?" gumam Karina dalam hati.