Rex baru saja datang ke rumah megah itu, saat melewati halaman belakang Rex melihat pakaian wanita remaja dan juga sepatu anak perempuan. Rex sempat terhenti seingatnya tidak ada anak remaja di rumah ini. Ia acuh, melanjutkan langkahnya menuju dalam rumah. Di depan pintu kepala pelayan sudah menyambutnya dengan hormat seraya menundukkan kepala.
"Selamat datang, Tuan Muda." Sapanya ramah seraya menunduk.
Rex memegang kedua pundak pria tua itu. "Tidak usah terlalu kaku paman," Priya yang Rex panggil paman itu tersenyum. "Kau tidak berencana untuk pensiun?" tanya Rex seraya melangkah masuk.
"Tidak, Tuan Muda. Selama ayah anda masih memerlukan saya." Keduanya masuk dalam ruangan ayah Rex. Mackenzie sudah duduk di kursi roda, usianya hampir sama dengan kepala pelayan itu.
Rex menunduk. "Apa kabar ayah?" sapanya.
"Aku tidak bisa baik-baik saja, kau lihat sendiri aku semakin tua."
"Tapi, Ayah semakin sehat." Rex duduk di kursi depan Mackenzie.
"Bagaimana bisnismu?" Lelaki tua itu meminum ramuan teh dengan rempah alami untuk kesehatan tubuhnya. Aromanya masih sama seperti saat mendiang ibu Rex masih ada.
"Semuanya baik. Tidak ada yang menarik untuk dibahas. Aku permisi Ayah." Rex pamit ke kamarnya diantar kepala pelayan itu. Untuk beberapa hari ini Rex akan menginap atas permintaan kepala pelayan itu karena Mackenzie tengah sakit. Bagaiman pun hanya tingal Mackenzie yang Rex miliki sekalipun ia sangat membenci ibu tirinya.
Rex masuk ke dalam kamarnya, tidak ada yang berubah dari ruangan ini dari terakhir ditinggalkan.
"Tuan Muda, kapan anda mengenalkan seseorang padaku yang tau ini? Selain mendiang nyonya besar, aku juga sangat menunggu hal itu? Bagaimana dengan putri pejabat itu? Kau tidak mengabariku untuk selanjutnya," Kepala pelayan itu yang rajin memperkenalkan Rex pada para wanita tapi selalu Rex tolak tidak pernah ada yang membuatnya tertarik, jika pun ada hanya butuh waktu singkat sebelum Rex meninggalkanya.
"Dia pemarah, aku tidak suka."
Kepala pelayan itu tertawa pelan. "Wanita manapun akan marah, jika tuan muda mengenalkan teman kencan lain padanya."
Rex acuh masih mengamati sekeliling kamar luas itu. "Aku hanya ingin keterbukaan dari hubungan."
Kepala pelana itu hanya menggeleng pelan, beralih pada pelayan wanita yang membawa keranjang lantas mengambil pakaian kotor Rex. "Hati-hati dengan barang, Tuan Muda." Pelayan wanita itu mengangguk.
"Silahkan beristirahat, jika ada keperluan Tuan Muda bisa memanggil saya."
Semuanya keluar meninggalkan Rex di kamarnya. Rex melihat ponsel yang tidak berdering sedikitpun dari wanita itu, Rex duduk di tepian anjang. Sedangkan Biyan sedang mengerjakan tugasnya di halaman belakang rumah. Duduk diantara rumput taman, dimana ia bisa bersembunyi di antara penghuni rumah ini.
***
Malam harinya Biyan baru saja pulang, melihat punggung tegap masuk dalam rumah megah itu lewat pintu utama. "Ibu, apa anak tuan besar ada? Tadi aku melihat laki-laki setinggi ini." Biyan memperlihatkan tinggi Rex kira-kira di atas kepalanya.
"Iya, tadi pagi putra pertama datang. Tuan Besar sakit. Kau harus berhati-hati keadaan rumah mendadak tegang."
"Elis, Elis!" panggilan itu terus terdengar dari ibu tiri Rex.
Elis yang mendengar langsung melihat Biyan. "bawakan ini untuk tuan besar, ini obat yang akan diminum. Jika dia bertanya katakan kau putriku dan aku sedang membantu nyonya besar."
"Elis!" panggilan itu kembali terdengar dengan nyaring. Begitu juga rasa yang Biyan rasakan tidak enak, ibunya dipanggil layaknya pesuruh.
"Iya, saya segera datang." Elis langsung melihat arah pintu di mana ibu tiri Rex ada. "Pergilah cepat! Itu kamarnya!"
Sesaat Biyan mengangguk lantas melihat pintu besar itu, ia melangkah mendekati dengan nampan di tangan. Biyan membuka pelan lantas perlahan masuk dengan mendorong sikunya terlebih dahulu.
Mackenzie tengah duduk di kursi rodanya menatap Biyan yang masuk. Biyan sedikit menunduk. "saya mengantarkan obat, Tuan. Elis sedang melayani Nyonya Besar."
"Terima kasih." Suara berat namun terdengar sangat dalam has lelaki tua. "Apa kau, Biyan?"
Setelah meletakan obat di atas meja di hadapan Mackenzie, Biyan sedikit menunduk. "Iya, Tuan."
"Kau masih sangat muda, masa depanmu masih panjang. Kalau boleh aku tahu apa yang ingin kau lakukan setelah dewasa?"
"Aku hanya ingin kuliah dan lulus dengan baik, setelah itu mencari pekerjaan, bekerja menggantikan ibuku. Itu saja, Tuan."
"Keinginan yang sangat sederhana, kau terlihat tidak memiliki ambisi?"
Biyan tersenyum simpul. "Jika hidup tenang sudah cukup, aku tidak ingin ambisi. Karena untuk kuliah saja aku tidak bisa." Biyan sekilas menunduk. "Saya permisi, Tuan."
"Iya, kau boleh pergi."
Setelah keluar dari ruangan Mackenzie, Biyan merenungi nasib kuliahnya yang bahkan tidak ada dalam pemikiran untuk saat ini. Apakah selamanya ia akan menjadi pelayan pencuci piring kotor atau pelayan kafe.
Biyan kembali ke dapur bersamaan Rex turun dari kamarnya, ia melihat punggung Biyan memasuki dapur. Rex sesaat berhenti melihat punggung yang rasanya dikenal tapi kemudian Rex abaikan.
Rex melihat ponselnya, kesal dengan Biyan yang tidak mengirimnya pesan satupun. Akhirnya Rex menghubungi Biyan.
Biyan masih di dapur melihat nomor itu, Biyan tidak berniat mengangkatnya. Ia hanya ingat nomor belakangnya dan itu pasti dari laki-laki dewasa itu. Berkali-kali bergetar akhirnya Biyan mengangkatnya. "Halo?" sapanya pada Rex.
"Kau tidak mengirim satu pesan pun, selama aku pergi?"
"Aa? apa kewajibanku menghubungimu?" Biyan membuka bibirnya, heran.
Rex kembali hendak bicara namun terhenti mendengar suara orang lain di mana Biyan berada.
"Anda, anak Elis?" suara berat juka familiar itu terdengar oleh Rex sebelum panggilan Biyan putuskan begitu saja.
Rex melihat ponselnya kesal. "kau menutup telponku!?" geram Rex. Tapi kemudian berhenti mengingat ingat suara barusan rasanya tidak asing.
Kepala pelayan tadi memanggil Biyan untuk masuk dalam ruangannya. "Duduk!"
Biyan duduk. "Aku mendengar, kau lulus tahun ini?"
"Iya," jawab Biyan masih dengan keraguan juga kebingungan.
"Kau ingin melanjutkan sekolah? Tuan Mackenzie memiliki beasiswa dan kebetulan dia sudah mengenalmu tadi."
"Aku tidak terlalu pintar, Tuan. Mungkin tidak ada harapan untuk beasiswa."
"Disini kau hanya harus memiliki keinginan? Pikirkan lebih dahulu, bagaimana jika kau tidak kuliah apa yang akan kau dapatkan dari sana."
Sesudah keluar dari ruangan kepala pelayan itu. Jika Biyan menerima beasiswa itu secara otomatis ia dan ibunya memiliki hutang budi terhadap pemilik rumah. Dan Biyan tidak ingin itu, tidak ingin terikat dengan rumah ini.
Biyan membuka pintu, melangkah melewati lorong menuju dapur. Lagi-lahi Rex tidak sengaja melihat punggung wanita muda ia kembali heran. Bersamaan kepala pelayan keluar dari ruangannya.
"Tuan Muda, ada yang anda butuhkan?" tanya lelaki tua itu.
"Aku melihat wanita muda yang terus mondar mandir di rumah ini? Apa sekarang anak dibawah umur bisa bekerja di sini?"
"Tidak, Tuan Muda. Dia putri dari pelayan rumah ini."