Yona menekan tombol lift, untuk terakhir kalinya ia melihat pintu itu dan lift tertutup dalam tatapan yang terbingkai kacamata hitam. Seharusnya ia bertanya nama, setidaknya untuk dikenang. Jika pernah menghabiskan malam bersama lelaki dan Yona menyukai seperti seseorang yang telah mengambil hal yang berharga tapi kemudian pergi meninggalkan Yona dalam tangisan.
***
Javier terusik dengan panggilan ponselnya, kondisi kamar masih berantakan. Kemeja hitam yang Yona kenakan tergeletak di lantai sedangkan celana pendek Javier ada di ruang sofa. Ponsel terus berdering, tangan Javier terus menggapai mencari sumber suara. Bisa dipastikan jika bukan Rex berarti sekretarisnya tentunya atas perintah Rex juga.
"Halo."
Tanpa melihat layar ponsel Javier meletakan ponsel di telinganya.
"Aku tunggu di kantor, setengah jam lagi!" ujar Rex.
"Kau sudah menyetujui cutiku kemarin, aku sedang bersama wanita."
"Temani aku datang ke pertemuan keluarga."
Jika sudah itu Javier sangat mengerti Rex tidak ingin terlalu lama, dan Javier akan melaporkan berpura-pura jika ada pekerjaan mendesak.
Ponsel mati Javier perlahan membuka matanya, melihat samping ranjang. Tidak ada wanita, Javier bangun melihat sekeliling. Javier menyunggingkan senyumnya, apa pergulatan panas semalam hanya mimpi.
Javier segera bangun menuju kamar mandi melakukan ritual pembersihan diri, setelah itu bergegas masuk dalam mobilnya. Baru saja masuk kakinya menginjak kain di bawah gas mobil, Javier meraihnya.
"Jadi semalam bukan mimpi, Cinderella meninggalkan celana dalam. Apa aku harus mencoba panggul setiap wanita dan yang mana yang pas dengan celana dalam ini.?" Javier tertawa konyol lantas memasukan celana itu dalam saku jasnya.
"Aku lupa menanyakan namanya?" gumam Javier lagi. Konyol memang bagaimana keduanya saling memuaskan dan malah lupa saling memperkenalkan bahkan nama saja tidak keduanya ketahui.
***
Yona berlari untuk mencapai gerbang sekolah, mobilnya masih di klub malam tadi pagi tidak sempat untuk mengambilnya.
"Kau begadang semalaman?" Biyan melihat Yona, kantung matanya membengkak belum lagi sayu tatapan Yona.
"Aku bercinta, sampai pagi."
Uhuk!
Air mineral yang Biyan minum tersembur dari bibirnya. Yona meraih botol mineral itu lantas meminumnya, sedangkan Biyan masih dengan tatapan tidak percaya.
"Tapi aku lupa bertanya siapa namanya." Yona menguap melanjutkan langkah masuk dalam kelas.
Di rumah ibu Biyan baru saja meletakan gelas minum dan obat di hadapan Mackenzie.
"Aku dengar putrimu tinggal di sini?"
"Iya, Tuan." Ibu Biyan sudah merasa takut jika kebaikan putra keduanya tidak sejala dengan pemikiran Mackenzie.
"Saya akan mengusahakan untuk secepatnya pindah."
Mackenzie mempersilahkan untuk duduk. "Aku tidak akan membicarakan itu," suara beratnya has lelaki tua terdengar sekalipun pelan penuh dengan penekanan.
Ibu Biyan duduk mengikuti perintah Mackenzie.
"Putrimu sudah memutuskan universitas mana yang akan dia pilih?" tanya Mackenzie berpura-pura tidak mengetahui jika Biyan tidak memilih satupun di kota ini.
"Dia tidak melanjutkan sekolah, Tauan." Sekalipun getir tapi tidak ada yang bisa ibu Biyan lakukan.
"Apa dia ingin melanjutkan sekolah? Perusahaan memiliki program beasiswa." Mackenzie memberikan selembar kertas, "pikirkan dengan baik, jika kau setuju isi ini. Kau berikan pada kepala pelayan!"
Ibu Biyan ingin menangis namun ditahan. "Terima kasih, Tuan." Ibu Biyan meraih selembar kertas itu layaknya hal yang sangat berharga. Lantas ia membungkuk untuk keluar dari ruangan dan Mackenzie mempersilahkan dengan gerakan tangan.
Rasanya ibu Biyan tidak sabar untuk memberikan kabar ini sampai ia menunggu di depan pintu belakang untuk kedatangan Biyan.
Rex yang ada pertemuan di rumah tidak sengaja berpapasan dengan ibu Biyan, sesaat keduanya saling menunduk. Lantas Rex masuk. Ibu Biyan sudah menghubungi Biyan untuk pulang dulu atau tidak usah kerja hari ini. Ia harus mengisi semua dokumen untuk universitas, senyuman terus terpancar dari bibirnya dengan mendekap selebar kertas itu di dada.
Biyan baru saja datang. "Kau lama sekali!?" Ibu Biyan langsung menyeret tangan anak itu masuk dalam kamarnya.
"Kenapa ibu? Apa ada masalah? Kita diusir?"
Biyan dibawa duduk lantas lembaran kertas itu diletakan di hadapannya. "Apa ini?" tanyanya. Lantas Biyan membaca pormulir universitas.
"Presdir memberikan beasiswa untukmu kuliah, cepatlah ini diisi, aku akan menyerahkan kepala pelayan."
"Apa? Kuliah? Aa… aku tidak akan kuliah, Bu."
Ibu Biyan memukul pundaknya.
"Aw… sakit."
"Tahu itu sakit, bagaimana kau akan menahan kesakitan hidup hanya jadi pelayan restoran dan pencuci piring, sekarang ada kesempatan kau nenolaknya seperti orang sombong atas kebaikan orang," geram ibu Biyan.
"Bukan seperti itu, Bu. Biyaya sekolah mungkin geratis tapi untuk praktek dan hal-hal lain?"
"Jangan pikirkan itu, aku akan membantu. Cepat saja isi."
Sesaat Biyan masih menolak tapi melihat wajah ibunya yang penuh harap akhirnya dengan berat hati Biyan mengisinya dengan jurusan dan lainnya.
"Kita jadi berhutang budi pada tuan besar, Bu. Aku tidak ingin hidup di awah bayangan hutang budi."
"Aku tahu, kita bisa membayar suatu saat nanti. Kau wanita harus memiliki ilmu tinggi. Jangan seperti ibu." Ibu Biyan hampi saja menangis dan Biyan paling benci itu.
"Aku bangga menjadi putrimu." Biyan memeluk ibunya.
"Rasa bangga tidak cukup, Bii. Kau harus jadi wanita sukses."
Biyan tidak pernah bermimpi tinggi yang penting ia bisa lulus dengan damai di sekolah saat ini. Pormulir telah diisi, ibu Biyan segera menuju ruangan kepala pelayan tidak sengaja berpapasan dengan ibu tiri Rex lantas melihat selembar kertas yang nampaknya sangat penting.
"Mau kemana kau?"
Ibu Biyan mendnduk memberi hormat. "Saya akan menyerahkan ini pada kepala pelayan. Nyonya."
Ibu tiri Rex menengadahkan tanganya bermaksud meminta kertas itu, ingin tahu apa isinya, semua hal yang terjadi di rumah ini harus atas sepengetahuannya.
Ibu Biyan perlahan mengulurkan kertas itu dengan ragu dan juga berhati-hati. Ibu Biyan menariknya dengan cepat sampai membuat ibu Biyan begitu khawatir takut-takut akan rusak. Ibu tiri Rex membacanya.
"Beasiswa? Putrimu pintar?"
"Tidak seberapa tapi dia selalu masuk dalam sepuluh besar." suaranya pelan dan rendah tidak ingin nyonya besar itu tersinggung.
Sesaat ibu tiri Rex berpikir beasiswa biasanya akan didapatkan jika anak itu benar-benar pintar. "Kau boleh pergi!"
Ibu Biyan mengangguk kembali menerima keretas itu untuk segera diserahkan. Ibu tiri Rex mendatangi ruang kerja Mackenzie. "Kau sudah makan?" Basa basinya sesaat setelah membuka pintu.
"Belum, aku tidak berselera. Kau bisa makan lebih dulu."
Ibu tiri Rex duduk. "Aku dengar kau memberikan beasiswa? Apa anak itu sangat pintar dan bersemangat. Aku percaya kau sangat menyukai anak muda yang cerdas."
"Jadi itu alasanmu datang? Hanya ingin tahu?"
"Ck… jangan seperti itu, aku memang lapar tapi tidak berselera makan di rumah. Bagaiman jika kita keluar?"
"Aku ada pertemuan dengan Rex."
"Oh… putramu akan datang, dia masih saja tidak menerimaku."