Pintu apartemen Regina masih saja sulit dibuka padahal ia sudah mempraktekan bagaimana Riyu kemarin membukanya, akhirnya Regina menyerah ia menghubungi pemilik kamar yang ia sewa untuk membetulkan pintu itu.
"Iya, saya tidak bisa membukanya padahal sudah saya angkat lantas mendorongnya," sejujurnya Regina paling tidak suka rewel jika ia masih bisa mengatasi. Regina akan memilih menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Tapi pintu ini rasanya membuat malu saja setiap kali Riyu baru keluar dari pintu kamarnya mendapati Regina yang mengangkat angkat pintu, itu sangat memalukan.
Regina duduk di lantai menghadap pintu apartemennya saat menunggu bala bantuan datang. Ketika lift berbunyi dan Regina tepat melihat arah lift itu, berharap tukang yang memperbaiki pintunya datang ternyata malah Riyu yang ada di sana. Sosok yang tiba-tiba terus mengganggu Regina langsung bertemu mata, keduanya sama-sama saling melihat.
Karena tidak tahu untuk berekspresi bagaimana, Regina memalingkan wajahnya ke depan. Riyu pilin tidak menyapa. Laki-laki itu langsung membuka kunci. Tapi anehnya laki-laki itu membiarkan pintu apartemennya terbuka.
Regina berharap agar tukang itu segera datang dan memperbaiki pintunya, sehingga ia tidak harus menahan diri untuk mengintip ke tempat Riyu. Kenapa laki-laki itu tidak menutup pintu? Regina bisa dengan mudah mendengar suara-suara yang dibuat Riyu dari dalam apartemennya hingga langkah kaki laki-laki itu. Kemudian sebuah instrumen akustik terdengar.
Regina menyandarkan kepalanya menikmati setiap petikan nada. Regina sering mendengarkan musik saat membaca buku rasanya akan semakin membuat ia masuk dalam novel yang dibaca, dengan segelas coklat hangat.
Regina tidak menyangka jika Riyu akan keluar lagi dengan pakaian berbeda, tapi tetap senada dengan yang sebelumnya. Laki-laki itu mengenakan pakaian serba hitam.
Riyu berjalan tapi tidak mengunci pintu dan Regina seakan menahan napasnya saat Riyu ternyata berjalan ke arahnya dengan satu cangkir yang terlihat uap panas di atasnya.
Regina kembali menahan tarikan napasnya saat Riyu menunduk meletakan gelas tadi di hadapannya, yang berisi coklat hangat terlihat dari warnanya. Laki-laki itu tahu kesukaan Regina.
Setelah meletakan itu Riyu masih tidak mengatakan apa-apa. Regina mendongak, menatap Riyu yang juga menatapnya. Entah ada apa di dalam tatapan itu tapi keduanya terdiam beberapa saat.
"Ini untukku?" tanya Regina.
Riyu kemudian berlutut di depannya. Aroma tubuh laki-laki itu langsung menyerbu masuk indra penciuman Regina. Ia terlena oleh sorot mata tajam yang saat ini menusuknya.
"Pintuku tidak terkunci." Ucap Riyu setelahnya lalu beranjak berdiri dan pergi menuju lift.
Saat dentingan lift menyatakan telah membawa Riyu turun, Regina baru mengambil gelas itu dan merasakan kehangatannya. Menghirup aroma coklat yang menenangkan reflek membuatnya tersenyum. Riyu sengaja tidak mengunci pintunya, yang secara tidak langsung menawarkan Regina untuk menunggu di sana.
***
Biyan dan Yona baru saja datang di bandara tempat mereka akan menghabiskan liburan.
"Sebelah sini!" Semua teman-temannya melambaikan tangan meminta keduanya untuk datang.
Jika tidak Yona yang mengancam Biyan tidak akan datang. Daripada menghabiskan uang untuk liburan lebih baik ia membelanjakan untuk keperluan kuliah nanti. Semua rombongan segera bersiap melakukan penerbangan dengan kelas ekonom, perjalan menggunakan pesawat hanya sekitar 40 menit untuk sampai pada pulau yang dituju.
Di dalam pesawat kelas bisnis ada Rex duduk menyilangkan kaki dengan dokumen yang sedang dibaca. Mendengar gadis itu liburan Rex tidak akan diam saja apalagi jika ia akan mengadakan kencan satu malam bisa saja teman-temannya melakukan itu dan Biyan ikut-ikutan seperti tempo hari. Rex seringkali stres mengingat malam itu, bagaimana lekukan tubuh Biyan.
"Bawakan aku air minum dingin!"
Saat pramugari lewat Rex meminta air dingin kemasan.
"Baik, Mr." Wanita cantik itu berlalu lantas kembali dengan satu botol minuman dingin. Rex langsung menenggaknya. Rex melihat wanita itu yang menggodanya dengan kerlingan mata, sayangnya Rex tidak tertarik. "Aku tidak butuh apa-apa lagi," ujarnya dingin.
Dari masing-masing kelas masih terbuka tirai yang memisahkan. Rex masih bisa melihat dari kejauhan Biyan tertawa bersama sahabatnya saat menaikan barang bawaannya lantas melihat nomor kursi untuk duduk. Ini memang gila Rex sampai harus menopang dagunya, betah berlama-lama melihat gadis remaja itu.
Tidak dengan nasib Javier saat ini, umpatan terus terjun bebas pada CEO yang saat ini lebih sibuk mengurus baby dollnya. "Bos tidak punya hati, cutiku hanya sebatas kertas dan tanda tangannya. Sedangkan aku masih saja kerja. Tega sekali, bos. Kau membuat aku mengulang semua jadwal yang sudah disusun rapi untuk satu Minggu ini." Javier masih di depan laptop juga telpon yang siap untuk diangkat untuk menghubungi berbagai kalangan jika jadwal pertemuan diundur Minggu depan, dengan alasan Mr. Rexford sakit.
Sekretaris yang membantu Javier terus tersenyum mendengar gerutuan Javier. Tapi tangannya tetap bekerja dengan wajah sedih.
"Sepertinya kau sangat puas melihatku seperti ini, Ev?" ujarnya membenci senyuman Elvi.
"Bukan hanya dirimu yang terjebak, aku membatalkan makan malam bersama kekasihku dan lembur bersamamu."
"Kau masih bisa punya kekasih, aku? Selama bersama Rex aku hanya kencan satu malam karena tidak ada waktu sama sekali untuk bersama wanita."
Wanita itu kembali tertawa sedangkan Javier membuang wajah jengah.
"Kau ingin aku pesankan coklat, agar lebih bahagia?" Elvi semakin tertawa dengan ejekannya.
***
Biyan sudah duduk, di sampingnya ada laki-laki yang sama seumuran dengannya.
"Hay." Laki-laki itu mengulurkan tanganya.
Biyan tidak mau menerimanya. "Aku anak baik, hanya ingin berkenalan." Tangan Biyan ia tarik lantas bersalaman paksa.
Biyan sedikit menepis tapi masih mencoba ramah. "Biyan."
"Nama yang bagus, cocok dengan dirimu."
Biyan hanya tersenyum, dari kelas bisnis yang hanya terjaga oleh tirai. Rex melihat ada anak laki-laki yang duduk di samping Biyan. Langkah lebar kakinya mendekat pada ruang ekonomi.
"Anda akan kemana Tuan? Pesawat segera take off."
"Aku hanya sebentar." Rex langsung melewati pramugari itu menuju kursi Biyan.
"Aah… anda?" Biyan menunjuk Rex kebingungan.
Tatapan Rex beralih pada anak lelaki itu. "Kau sudah pernah naik pesawat bisnis?"
Anak itu sedikit menggeleng dengan wajah mendongak dan mulut sedikit terbuka. "Belum."
"Kau ingin mencoba? Kita bisa bertukar tempat."
Tidak menunggu lama anak lelaki itu bangun dengan antusias sedangkan Biyan yang melihat keadaan hanya bisa diam. Rex duduk meski besar tubuhnya sudah memenuhi sela kursi.
Anak lelaki itu sudah berlari menuju kelas bisnis. Rex kembali melihat Biyan.
"Apa yang anda lakukan?" tanya Biyan masih dengan ekspresi tidak percaya, ada orang yang menukar kelas bisnis dengan ekonomi di dalam pesawat. Di dalam sana jauh lebih nyaman dan luas dibanding di sini harus berdesakan dengan penumpang lain.