Biyan pulang sendiri setelah tadi Yona mengantar sampai depan gang kecil rumahnya. Dari jarak beberapa meter dari rumah terdengar suara ribu. "Jangan diambil, saya mohon," itu suara ibunya. Biyan langsung berlari.
"Ibu."
Ibu Biyan sedang memohon pada dua orang laki-laki, jas hitam terlihat mereka layaknya depkolektor. Di samping ada Riyu terus menunduk.
Biyan segera berlari. "Ada apa ini?"
"Kau Biyan? Kakakmu punya hutang pada kami di tempat judi, katanya kau sudah kerja? Cepat bayar kalau tidak semua barang di rumah ini kami ambil." Laki-laki itu melihat isi dalam rumah. "Tapi tidak ada yang berharga, jadi kalau kalian tidak bayar terpaksa kakakmu akan kami jual sebagai budak kalau tidak jual organ."
Riya ketakutan melipat tangannya. "Kami akan bayar, Tuan tunggu dulu adikku akan mengambilkan uangnya."
"Jual saja dia!" teriak Biyan.
"Kau!" Riyu meradang melihat Biyan.
"Saya akan membayar, mohon beri kami waktu," pinta Ibunya memelas.
"Ibu," protes Biyan. Riyu datang sama-sama bersimpuh di hadapan dua orang itu bersama ibunya.
Biyna yang melihat meneteskan air mata. "Ibu untuk apa memohon untuk anak yang tidak tahu diuntung itu, dia tidak pantas kau tangisi."
Ibu Biyan tidak peduli ucapan anak gadisnya ia kembali memohon melipat tangan begitupun Riyu. "Mohon berikan kami waktu."
Kedua orang itu berdecak, mengorek kupingnya. "Uang tidak akan datang dengan memohon, aku berikan waktu 1 minggu, kalau kalian tidak bisa melunasi hutang itu. Dia." Orang itu menunjuk Riyu. "Aku akan menjualnya. Minggir!" orang itu menyepak ibu Biyan lantas pergi.
"Kau tidak kasihan pada ibu," Biyan teriak dibarengi air mata lantas maju memukul-mukul kakaknya yang diam saja.
Ibunya melangkah masuk ke dalam, duduk di sofa sederhana diikuti Riyu yang bersimpuh. "Ibu, tolong aku. Aku tidak ingin dijual."
"Kalau begitu mati saja kau!" teriak Biyan dari ambang pintu. "Kita pindah dari sini bu, tinggalkan saja orang tidak berguna itu!" lanjut Biyan lagi menggebu.
Ibu Biyan mengusap tangannya. "ibu akan mencari kerja tambahan." Ia baru saja berdiri.
"Apa? Ibu sudah lelah bekerja di rumah orang kaya itu, sekarang mau mencari pekerjaan lain lagi?"
"Lalu? Kau akan membiarkan kakakmu dijual, dijadikan budak atau organ tubuhnya dijual? Selama ibu masih hidup kalian tetap anakku."
Biyan menangis melihat ibunya yang kembali bersiap meraih tas dengan mengusap jejak air mata selalu tetap tegar.
Biyan menatap kakaknya tajam, tangannya terkepal ingin rasanya meninju wajah tidak tahu diri itu. "Berapa hutangmu?" Biyan tidak ingin tahu tapi melihat ibunya yang hendak mengusahakan Biyan tidak tega.
Riyu menghadap adiknya. "50 juta, belum bersama bunganya."
"Apa?!" teriak Biyan tidak percaya. Sedangkan ibunya yang tadi berdiri, terkulai lemah sampai bersimpuh.
"Ibu."
"Dasar bodoh! Kau kira uang itu sedikit!" Biyan memukul-mukul pundak Riyu. "Dari mana uang sebanyak itu?" Biyan berteriak sambil menangis juga merangkul ibunya.
Ibu Biyan sudah tidak bisa berkata semua tulangnya terasa lemas mendengar hutang yang begitu banyak, sedangkan untuk makan saja susah.
Riyu hanya menunduk tidak berani berkata lagi, hanya berharap mereka bisa menemukan solusi tanpa harus menjual ginjalnya.
***
Sudah beberapa hari yang lalu ayahnya terus mengundang untuk datang tapi selalu Rex tolak, kali ini Rex kembali menginjakan kaki di rumah ini. Rumah yang telah ditinggalkan sejak lama karena sejarah kelam di dalamnya, hingga ibu kandungnya tiada. Sejak saat itu Rex memilih hidup menyendiri mengejar karirnya.
Pagi ini Alena sedang sarapan, ia sudah mendengar kabar jika Rex pulang tadi malam. Derap langkah kaki semakin mendekat pada ruang makan. Alena tahu siapa yang datang karena Mackenzie dan Dili sudah berangkat pagi tadi.
"Siapa yang bertugas membersihkan kamarku?" tanya Rex.
Dua orang pelayan yang ada di samping Alena bersuara. "Saya, Tuan Muda."
"Bersihkan sekarang!"
"Baik, Tuan Muda."
Alena meletakan gelas minumnya. "Sarapan bersamaku,kita sudah lama tidak bertemu. Apa kabarmu?"
"Kita bukan ibu dan anak, permisi," pamit Rex segera berlalu dari ruang makan itu.
Alena menggerutu. "Sampai kapan dia tidak memandangku, sudah 3 tahun." Ibu Biyan yang ada di samping Alena hanya mendengarkan nyonyanya itu, bukan rahasia lagi jika Rex dan ibu tirinya tidak pernah akur.
"Singkirkan makanan ini! Selera makanku sudah menghilang." Alena meninggalkan ruang makan meninggalkan banyak menu makanan mewah yang tersaji. Ibu Biyan melihat semua lauk itu menelan ludahnya. Biasanya ia akan membawa makanan itu pulang, selain makanan itu memang belum tersentuh juga sangat sayang sekali.
***
"Ada film baru, kita nonton." Obrolan siswa lain saat keluar dari kelas, tawa kebahagiaan anak-anak lain yang melewati Biyan. Ia sendiri pergi ke mana selepas pulang sekolah?
Dapur salah satu restoran. Biyan mengikat celemek plastik pada tubuhnya bersiap untuk mencuci piring. Baru saja bersiap tumpukan piring kotor sudah datang.
Prang!
Suaranya saling bersahutan di dalam bak pencucian, tidak ada bersantai-satai Biyan dikejar waktu jika tidak ingin dimarahi pemilik restoran. Dua tumpukan, tiga tumpukan, piring terus berdatangan menjelang sore nanti. Dari restoran barulah ke kafe sampai pertengahan malam baru Biyan pulang dan paginya harus sekolah. Terus saja seperti itu.
Biyan hampir meneteskan air mata melihat nasibnya sendiri. Biyan kembali tegar menyelesaikan semua pekerjaan. Di ruang ganti baju Biyan melepaskan lelahnya, mempersiapkan pada pekerjaan berikutnya, dari dalam dompet terlihat kartu kredit yang Rex berikan.
Setelah selesai Biyan ke pemilik restoran di sini ia digaji harian jadi jika tidak masuk ya tidak dapat gaji.
"Kau anak gigih, terima kasih untuk hari ini." Pemilik restoran itu memberikan amplop.
Biyan menerimanya. "Terima kasih, Tuan."
"Kabari aku kalau kau tidak bisa hadir."
"Aku akan selalu hadir Tuan." Biyan menunduk meninggalkan ruangan itu.
Biyan berjalan di trotoar.
Bruk!
"Maaf." Ia menabrak seseorang tapi kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan tatapan laki-laki memesona itu.
Biyan menunduk meraih barang yang jatuh setelah selesai Biyan hendak berlalu, namun gelangnya tersangkut pada barang bawaan Dili. "Maaf."
Biyan berusaha melepaskan gelangnya dengan gantungan kecil yang Dili beli. "Maaf," ucapnya lagi.
Dili tersenyum lembut. "Kotak maafku sudah penuh, semuanya maaf dari dirimu. Sulit dilepaskan kau bawa saja!"
"Tidak, Tuan." Biyan masih mencoba melepaskan gantungan dengan gelang rantainya.
Setelah terlepas Biyan membungkuk meninggalkan laki laki itu.
Dili terus melihat punggung mungil yang tidak tertarik melihatnya tadi.
"Apa yang kau lihat, baby? Wanita?" Wanita yang bersama Dili bergelayut pada sikunya.
"Tidak ada yang lebih menggoda, selain dirimu." Dili menjawil dagu wanita pirang itu.
Keduanya berlalu masuk ke dalam mobil setelah membeli beberapa barang.