Jika di rumah ini semua orang saling bersikap dingin nyaris tidak ada obrolan layknya keluarga. Tapi, ada satu orang yang bisa mengumpulkan mereka semua dalam satu meja makan meskipun tidak saling menyapa. Dialah tuan besar rumah ini. Troy Mackenzie.
"Keluarkan apa yang kau dapat!" Perintah Mackenzie pada satu orang yang menunduk patuh di hadapannya. Ia adalah kaki tangan yang selalu mengawasi semua anggota keluarga, termasuk ibu tiri Rex. Jangan pikir segala kebusukan ataupun kebaikan tidak ia ketahui.
"Baik, Tuan." Isi dari amplop coklat itu dikeluarkan lantas dibariskan rapi di hadapan Mackenzie. Foto-foto semua anggota keluarganya.
Mackenzie membenarkan posisi duduknya, melihat satu demi satu foto. Di sana dengan siapa saja Dili berkencan dengan wanita padahal ia sudah memiliki tunangan yang juga pernah berkencan denga Rex.
Kegiatan ibu titi Rex, tidak ada perubahan yang berarti. Tatapannya bergeser pada foto Rex, satu deheman terdengar di sana. Mackenzie melihat lekat foto putranya bersandar di mobil di depan gerbang sekolah juga foto lainnya bersama gadis yang sama.
"Mm… jelaskan ini padaku!?"
"Tuan muda, seperti biasa mengadakan pesta untuk teman-temannya. Tentu saja mengundang para wanita juga," tarikan halus napas orang itu terdengar.
"Gadis remaja itu menyelundup dalam pesta tuan muda dengan berpura-pura menjadi wanita dewasa, dan hampir tidur bersama jika anda tidak tepat memanggil, lewat telepon saat itu."
Mackenzie ingat saat itu orangnya meminta bantuan untuk menghentikan Rex malam itu tapi Mackenzie belum tahu untuk apa. Hanya mendapatkan laporan jika Rex bersama wanita yang salah. Mackenzie menaikan kaca matanya. "Jadi ini wanita itu?"
"Benar Tuan, dia masih sekolah dan kemungkinan tidak melanjutkan sekolah karena biyaya. Tuan, satu hal lagi yang anda harus ketahui, ibu anak itu bekerja di sini sebagai pelayan."
"Caam… apa?" Mackenzie tertawa pelan namun konyol.
"Aku, hanya memiliki satu putra. Tapi nampaknya seleranya memalukan."
***
Ibu Biyan baru saja selesai mencuci baju, pemilik rumah yang ia sewa datang. "Selamat pagi ibu Biyan," sapanya seraya sedikit menunduk.
"Selamat pagi, pemilik rumah," jawab ibu Biyan sama menunduk sekilas.
Pemilik rumah kembali menjelaskan maksud kedatangannya pagi ini. "Ibu Biyan, aku minta maaf. Tapi saudara kami dari kampung akan segera datang. Dia membutuhkan rumah."
Ibu Biyan mengerti dari pengusiran secara halus ini, sudah selayaknya memang karena menyadari ia sering telat membayar sewa rumah dan dua bulan ini memang belum dibayar, malah sudah menginjak bulan ketiga. Karena hutang Riyu kemarin semua keuangan berantakan.
Ibu Biyan dengan lemah membereskan semua barangnya, harus ke mana belum tahu. Uang pun tidak ada.
Dalam perjalanan ke rumah Rex, ibu Biyan terus berpikir. Sampai hampir saja tertabrak orang. "Maaf, saya tidak melihat jalan." Ibu Biyan menunduk.
"Tidak apa-apa, Bibi. Saya yang salah." Dili membantu membereskan barang yang ibu Biyan bereskan. Dili melihat identitas pekerjaan ibu Biyan di rumahnya. "Anda seperjalanan bersama saya, bagaimana kalau kita datang bersama. Ahh... berbelit-belit, maksud saya, saya antarkan ibu ke rumah itu."
"Tidak perlu." Ibu Biyan sudah menolak namun Dili tetap memapahnya memasuki mobil mewah itu, ibu Biyan sempat terkejut bagaimana pintu mobil itu terbuka ke atas bukan ke samping seperti biasanya.
Ibu Biyan takut sandalnya akan mengotori lantai mobil ini, "injak saja, bu." Senyum Dili melihat wanita paruh baya itu. Mesin mobil mulai hidup terdengar suara gerungannya lantas mobil itu tancap gas.
Mobil itu sesaat berhenti di depan gerbang, saat kamera mengarah pada plat mobilnya lantas terscanner. Pintu gerbang langsung terbuka otomatis. Setelah mobil berhenti dua orang mendekati mobil lantas membukakan pintu ibu Biyan dengan sopan juga pintu Dili.
Pelayan yang membukakan pintu ibu Biyan terkejut lantas wajahnya berubah masam, merendahkan. Ibu Biyan menunduk lantas keluar dari mobil dengan sungkan.
"Tuan Muda, nyonya besar sudah menunggu anda di atas," ujar pelayan itu.
"Mm..."
Ibu Biyan melangkah menuju pintu belakang di mana ia bekerja.
Sampai di rumah Rex, ibu Biyan baru mengetahui jika ia adalah tuan muda, kedua dari keluarga itu. "Maaf, Tuan Muda. Saya tidak tahu anda tuan muda, kalau saya tahu tidak akan sopan dengan duduk di samping anda," ujarnya penuh tundukan kepala.
"Saya yang memaksa anda, ikut. Tidak perlu sungkan." Dili permisis lebih dulu. Ibu Biyan sempat melihat punggung itu dan terbersit untuk mendoakan semoga Biyan memiliki suami baik seperti tuan muda itu.
Selama bekerja ibu Biyan terlihat terus berpikir, kemana harus mencari rumah sewaan saat ia belum memiliki uang? Adakah yang mau ditempati dulu setelah itu baru bayar? Belum lagi rumah lama yang sudah menunggak tiga bulan, rasanya jika pergi begitu saja akan terasa berdosa apa lagi jika tidak berniat membayarnya.
Dili yang tidak sengaja melihat ibu Biyan lagi sesaat langkahnya terhenti. Melihat wanita itu di luar halaman sedang menjemur selimut yang baru saja dicuci, Dili masih memperhatikan.
Alisnya tidak gatal namun Dili garuk tipis sebagai pelampiasan pemikirannya dari rasa selalu ingin ikut campur pada masalah orang lain. Dili mendekati wanita itu. "Boleh aku bertanya?"
Ibu Biyan mundur satu langkah, lantas menunduk. "Silahkan, Tuan Muda."
"Apa anda sedang dalam kesulitan? Aku bukan berniat ikut campur, tapi sepertinya masalahnya sangat mengganggu anda. Jika boleh, aku coba bantu."
"Tidak sulit, Tuan Muda. Hanya masalah rumah yang habis masa sewa dan minta dikosongkan."
"Mm... Anda, belum mendapatkan rumah itu?" tanya Dili.
Dili sangat berbeda dengan Rex, memang keduanya tanpa darah yang sama. Rex dingin pada siapapun terkesan angkuh tidak tersentuh. Sedangkan Dili dari kebalikannya, ia romantis perhatian pada siapa pun tidak segan mengumbar senyumannya atau bercanda dengan siapapun.
"Bagaimana jika di rumah ini dulu?" terlihat dari wajah ibu Biyan yang senang. Namun, kembali diam.
Dili langsung menelpon kepala pelayan. "Kau bisa ke sini! Aku butuh sesuatu di halaman belakang!"
Tidak berapa lama kepala pelayan datang dengan tergesah gesah. "Kenapa, Tuan Muda?" tanyany tidak kalah cepat dari lari tadi.
"Kau bisa mencarikan kamar belakang, untuk nyonya ini. Kau yang urus sampai selesai, aku masih ada urusan." Dili langsung memakai kacamata lantas segera berlalu.
"Tuan Muda, saya bisa." Rasanya percuma saja ibu Biyan berkata, Dili sudah pergi begitu saja. Meninggalkan kecanggungan ia pada kepala pelayan.
"Saya minta maaf, Tuan tidak perlu repot-repot."
"Tuan muda sudah memerintahkan, mari ikut dengan saya. Tapi ingat ini hanya sementara, kalau kau sudah menemukan rumah yang cocok, kau harus segera pergi," ujar kepala pelayan itu. Dibanding Rex semua penghuni rumah lebih respek pada Dili, lelaki itu lebih terlihat bersahabat.
Ruangan itu sepertinya gudang buku yang sudah tidak terpakai, setelah dibersihkan sudah layak huni. Ibu Biyan merasa lega, paling tidak ia dan Biyan tidak harus memikirkan uang sewa untuk beberapa bulan ini.