Suara hiruk pikuk dari mereka memekik telinga, mereka bertepuk tangan dan berteriak kagum usai pertunjukan tersebut. Namun, para pria lah yang lebih heboh disana. Pasalnya cara para sexy dancer itu menggegerkan tubuh diiringi musik berdentam dan remix benar-benar menggoda, namun hanya satu diantara gadis dari para sexy dancer yang memukau dan menarik perhatian para pria.
"Yona!"
Gadis berambut coklat itu menoleh ketika namanya disebut, ia menghampiri manager tempat hiburan malam itu dengan napas terengah-engah.
"Penampilanmu seperti biasa. Menakjubkan!" puji pria berusia 32 tahun itu.
Yona tersenyum. "baguslah! Terima kasih."
"Ini bayaranmu. Baiklah aku pergi dulu, cantik. Ingat! Besok malam datang lagi."
Yona mengangguk dan menatap punggung manager yang menghilang di keramaian. Yona melihat beberapa lembar uang itu, raut wajahnya berubah ceria dari rasa lelah tadi. Banyak yang memujinya, karena tariannya yang bagus. Yona punya impian besar yang belum terwujud, ia ingin menjadi dancer yang terkenal. Tapi apa daya? Yona pasrah hanya bisa melepaskan hobinya di hiburan malam.
Yona mengantongi uangnya, lalu kedua kakinya membeku ketika para pria menatapnya dengan senonoh. Inilah hal yang dibenci, sangat dibencinya! Selalu mendapatkan tatapan senonoh dari para pria, remaja, dewasa bahkan tua sekalipun.
Yona memang sering berkencan dengan para pria tapi bukan berarti ia tidak memiliki harga diri. Yona hanya berkencan dengan pria yang diinginkan, tentu saja salah satunya tampan tidak tua dan gendut. Juga di bawah umur.
Yona menurunkan rok mini yang super ketat itu meski ia tahu itu hanya sia-sia, dengan rambut panjangnya ia menutupi punggung yang terekspos. Dengan wajah terangkat penuh harga diri, ia melanjutkan langkah kakinya. Tiba-tiba beberapa pria menghalangi jalannya, Yona berjalan mundur ke belakang namun tubuhnya tertabrak dan tangan seseorang merangkulnya.
"Halo, baby!" sapa pria tampan yang jauh lebih dewasa dari Yona.
Yona meneguk salivanya ketika mendongak.
Yona merasakan tangan pria itu yang mulai bergerak ke atas dan hendak menyentuh dadanya, dengan cepat Yona mendorong priya ita dan berlari. Terdengar ocehan pria itu namun ia tak memperdulikannya. Itu hal yang biasa, sudah terbiasa. Yona gadis yang cantik, amat cantik, tak heran jika banyak pria yang menggodanya.
Nasibnya tak baik, karena kebutuhan hidup, pendidikan dan nasib saudara-saudaranya yang lain di panti. Yona harus bekerja diusia yang masih muda. Untunglah setiap pertunjukan ia akan memakai topeng atau cadar sebagai atribut pertunjukan jika tidak ia pasti akan jadi bahan cemoohan teman teman satu kelasnya atau jadi bahan hinaan, karena profesinya sebagai wanita penghibur.
***
Berselimut langit gelap ditemani bintang-bintang Rex duduk di luar ruangan, ponselnya sejak tadi dilihat berharap berdering dari seseorang tidak juga datang. Biasanya Rex akan malas jika ada wanita yang mengetahui nomor pribadinya. Berbeda kali ini, nomornya dengan suka rela diberikan pada Biyan. Anak gadis yang belum lama dikenal, itu pun tidak sengaja.
"Apa aku harus menghubunginya duluan? Ah... tidak aku akan terlihat begitu murahan." Rex merasa konyol dengan perasaan yang asing yang telah mengganggunya beberapa hari ini. Rex menghubungi seseorang.
"Halo, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"
Jawaban orang di seberang sana yang Rex telpon. "Aku akan kembali hari ini, persiapkan sekarang. Aku sendiri, Javier tetap di sini menyelesaikan semuanya!"
"Dimengerti, Tuan."
Panggilan berakhir, sesaat Rex menunggu lift terbuka.
Ting!
Lift terbuka ia segera masuk, baru saja masuk ponselnya kembali berdering.
Melihat siapa yang masuk dalam lift Rex urung mengangkat ponselnya, kembali memasukan ke dalam saku.
Ketegangan seketika terjadi Dili juga tengah berada di gedung pencakar langit ini.
Dili terlihat membawa seorang wanita cantik. Meskipun bersebelahan dan keduanya adalah adik tiri yang sah secara hukum, karena ibu Dili menikah dengan ayah Rex. Namun, hubungan keduanya tidak pernah hangat.
"Apa kabar, sodara?" sapa Dili duluan.
"Tadi baik, adik tiri," jawab Rex layaknya gunung es menjulang tinggi.
Ting!
Sama sama tidak menyukai pertemuan ini saat bunyi lift. Dili langsung melangkah keluar tanpa menyapa kekasihnya yang memang berbeda lantai. Mendengar kata adik tiri sudah cukup menjengkelkan.
"Hubungi aku!" kata kekasihnya selepas Dili keluar dari lift.
"Mm..." jawab Dili tanpa menoleh.
Lift kembali tertutup. Wanita itu beralih pada Rex. "Lama tak jumpa?" sapanya pada Rex.
"Iya," jawab Rex tanpa melihat wanita itu yang ternyata mantan kencan satu malam. Sayangnya wanita itu malah terobsesi memiliki Rex, sampai saat ini belum bisa melupakan kencan manis itu.
"Bagaimana kabarmu?" tanya wanita itu lagi terlihat jelas binar di bola matanya. Namun, Rex tetap dingin tidak melihat sedikitpun.
"Baik, sama seperti dirimu," jawab Rex.
"Aku? Baik? Tidak. Rasanya masih cukup sulit melupakan cinta satu malam," wanita itu coba mengingatkan malam singkatannya bersama Rex yang bahkan tidak pernah pria itu ingat.
"Aku dengar kau akan menikah?"
"Mm... dengan pria itu? Adik tirimu," jawabnya tenang seakan pernikahan ini adalah caranya melampiaskan obsesi pada Rex.
"Aku merasa hari ini, bukan pria yang aku kencani waktu itu. Apakah bisa aku bertemu dengan pria itu lagi?" lanjut wanita itu masih berharap dari setiap godaanya.
Ting!
"Selamat atas pertunanganmu." Rex melangkah keluar begitu pintu lift terbuka, diiringi pandangan wanita itu melihat lekat punggung Rex.
"Sampai sekarang." Rex diam sesaat mendengar wanita itu kembali berujar.
"Aku masih belum bisa melupakan malam itu, aneh bukan? Kau mungkin sudah menganti wanita lain sebagai teman kencanmu. Sedangkan aku masih terkunci di sana."
Rex berlalu tanpa menjawab wanita itu. Dentingan lift menandakan pintu itu telah tertutup kembali.
Deringan ponsel kembali menghentikan Rex, ia merogoh sakunya. "kau jadi kembali? Kau meninggalkan aku sendiri." Javier di seberang sana tadi pun ia yang menelpon, tapi saat Rex memutuskan panggilan Javier mengerti ada hal penting yang sedang Rex lakukan.
"kau bisa menangani itu sendiri. Pesawatku sudah menunggu. Selesaikan dengan baik! Itu proyek besar, aku ada urusan yang lebih penting!"
Tut!
Panggilan diakhiri Rex. Javier melihat ponsel itu, rasanya masalah di kantor tidak ada yang begitu mendesak? Javier menggendikan bahunya lantas keluar dari kantor.
Rex sudah kesal dari tadi babydoll itu tidak menghubunginya, dengan berat hati ia memanggil Biyan. Di dering pertama ponselnya langsung diangkat. Rex sangat senang, mana ada wanita yang menolak pesonanya?
"Baby," sapa Rex terlampau lembut.
Orang yang berada di seberang sana menutup mulutnya mendengar suara pria berat namun lembut layaknya kapas yang terbang tertiup angin.
"Halo."
Suara itu bukan milik Biyan. Rex menjauhkan ponselnya dari telinga, kembali melihat nama yang tertera. Benar itu boneka bayinya, "bagaimana bisa ponsel itu ada padamu?" suara lembut tadi berubah mengintimidasi.
"Maaf, tadi aku meminjam ponsel Biyan untuk mengirim pesan, aku pikir kau temanku yang menelpon dengan nomor berbeda."
Sial! Ternyata gadi itu belum menyimpan nomornya. "Aku ingin bicara dengan Bab-, Biyan."
"Dia sedang bekerja, katakan saja. Aku akan menyampaikan padanya," ujar gadis itu, teman satu pekerjaan Biyan.
"Aku akan mengatakannya sendiri, katakan padanya aku menelpon dan telepon aku kembali!" panggilan berakhir. Rex kembali melangkah masuk dalam mobilnya.
Biyan datang. "Tadi ada yang menelponmu, katanya telpon dia kembali."
"Mm..." Biyan menerima ponselnya lantas melihat siapa panggilan yang masuk. Melihat nomor itu Biyan urung untuk menelponnya lebih memilih memasukan ponsel dalam sakunya bersiap untuk kembali bekerja.