Sepulang sekolah, aku kembali ke Laonnda. Kulihat Andi sudah menungguku.
"Nama karakter game-ku d1n4dina. Aku memberitahumu hanya karena kasihan kamu menungguku, loh ya! Bukan berarti aku mau jadi temen game-mu," aku mengatakannya dengan sedikit kecewa pada diriku sendiri. Jelas-jelas aku ingin berkata kalau aku ingin dia menjadi temanku dan ingin kita berhubungan lebih dekat di Laonnda ini. Namun justru yang kuucapkan adalah kata-kata yang menyakitkan bagi Andi.
Andi tertawa dan mengiyakanku. Syukurlah dia tidak marah padaku. "Aku sudah menyelesaikan misi mencari samudra terdalam."
"Kamu tidur, kan?" Kutengok Andi terlihat sangat mengkhawatirkanku. Aku hanya tersenyum sambil mengangkat alisku.
Perjalanan kali ini tidak sekaku pertama kali. Kita banyak bercerita satu sama lain. Aku selalu menggiring pembicaraan ke trik bermain game Laonnda. Rasanya tidak menyenangkan saat dia tiba-tiba menceritakan polah tingkah adiknya. Aku tidak begitu suka membahasnya. Entah apa alasannya, tapi sebisa mungkin aku mengalihkan topik pembicaraan ketika dia kembali menceritakan adiknya.
Ketika sampai di depan pagar rumah Nurda aku menghentikan langkahku. Pandanganku tertuju pada pagar kayu Nurda. Melihat pagar itu mengingatkanku dengan batas yang kuciptakan untuk melupakan masa lalu. Aku memandangi Andi yang kini sudah berjalan di depanku. Dia juga berhenti melangkah setelah menyadari aku tidak kunjung menyusulnya.
"Gak usah takut. Yakin aja kalau kamu pasti berhasil," kata Andi menyemangatiku.
"Tidak. Ini bukan tentang...." Aku tidak melanjutkan perkataanku. Sambil menunduk, aku terus memandangi rerumputan yang agak gersang karena sering terinjak kaki manusia. "Aku... pernah dikecewakan temanku."
Dulu, aku memilih untuk bersekolah pada malam hari. Alasannya hanya karena temanku juga bersekolah di sana. Kami berdua berada di kelas berbeda pada kelas tujuh. Waktu itu hubungan kami masih baik-baik saja. Ketika istirahat kami selalu makan dan bercerita bersama. Sepulang sekolahpun kami habiskan waktu bersama.
Kelas delapan kami tidak satu kelas lagi dan sifat dia mulai berbeda. Kami tidak lagi makan, apalagi pulang bersama. Saat itu aku bodoh sekali mengunjunginya di kelasnya.
Aku mengintip jendela ruangan untuk melihat apakah temanku ada di sana atau tidak. Dia ada di sana. Di sebelah seorang lelaki yang sepertinya teman satu kelas. Kulihat mereka saling bercengkerama. Lelaki itu menggenggam tangan temanku sambil mengelusnya.
Aku hanya berdiam menyaksikan hal itu. Aku yang selama ini terus bersamanya, dengan mudah dia campakkan. Dia memilih lelaki itu yang bahkan tidak selama dia mengenalku. Padahal selama ini aku terus menantikan bersekolah bersamanya. Saat itu, kuputuskan untuk berusaha 'mengambilnya' kembali.
Aku duduk di bangku depan temanku. "Hei..." Aku menyapa tanpa memedulikan keberadaan lelaki itu.
"Siapa?" Lelaki itu bertanya pada temanku.
"Em... Dia temanku, Sylp. Sylp... Dia...."
"Pacarnya." Lelaki itu menimpali sebelum temanku sempat menjawab.
Setelah itu, mereka kembali berbincang tanpa melibatkanku. Bahkan aku hanya seperti benda mati di sana.
Saat pergi dari kelas pun, temanku tidak berkata apa pun. Sejak itu aku tidak bisa mempercayai orang lain lagi. "Mereka pasti memiliki maksud lain," aku menguatkan diriku ketika ada yang berusaha mendekatiku. Aku tidak ingin merasakan sakit itu lagi.
"Terima kasih sudah mempercayaiku, Din," Andi berkata dengan lembut. Kata-katanya membuatku terkejut. Spontan aku berkata, "t-tidak, tuh." Aku berkata bohong lagi. Langkahku untuk benar-benar percaya orang lain masih jauh rupanya.
Nurda menungguku di tanam rumahnya. Ketika kami berdua memasuki halaman rumahnya, ia langsung mempersilakan kami berdua duduk di tempat duduk batu yang ada di halaman rumahnya. Di sana sudah terdapat buah-buahan dan beberapa makanan ringan yang aku yakin pasti buatannya sendiri. Kami berdua memakannya tanpa ragu dan ternyata rasanya sangat menyegarkan.
"Dina telah menyelesaikan misimu, Nurda. Bisakah kamu mulai mengajariku bernyanyi?" Aku mengatakannya dengan sedikit tergagap. Pikiranku tidak karuan menanti jawaban Nurda. Apalagi semua orang gagal dalam misi ini. Aku berusaha menyiapkan mental untuk menerima kegagalanku. Sudah tergambar jelas skenario terburuknya. Namun tetap saja aku tidak merasa siap saat itu terjadi.
Nurda tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia hanya mengangguk-angguk pelan. Entah apa yang dipikirannya. Firasatku berkata jika dia sedang menimbang apakah aku layak untuk dijadikan muridnya atau tidak.
"Selesaikan dulu makannya." Nurda menjawab sambil menuangkan teh beraroma bunga mawar yang terlihat sangat menyegarkan. Perlu beberapa detik untuk mencerna apa yang dia maksud. Aku bahkan masih belum mengetahui apa maksud dari misi tersebut karena aku sangat yakin bahwa itu bukanlah samudra terdalam Laonnda.
Nurda menangkap kegelisahanku. Dia menceritakan kenapa semua orang gagal dalam misi ini. Samudra yang paling dalam yang dimaksud Nurda bukan dilihat dari kedalamannya. Samudra terdalam itu adalah hati manusia. Orang-orang yang memperoleh misi ini harus bisa belajar dengan dirinya sendiri -doppelganger dan memperoleh kedamaian.
Orang-orang yang gagal dari misi ini, kebanyakan mereka menuju ke samudra paling dalam dan bertemu dengan orang yang menurut mereka bijaksana. Padahal bukan. Orang yang mereka temui hanyalah orang yang memberitahukan sisi baik dan keunggulan mereka tanpa belajar apa yang salah dari sikap dan sifat mereka.
Orang-orang setelah pergi dari sana biasanya akan merasa lebih sombong sehingga mereka akan susah berkembang di Laonnda. Beberapa juga yang terkena hasutan dan ketika ke rumah Nurda, suara mereka berubah dari sebelum menerima misi. Mereka membanggakan suara itu dengan menunjukkan kebolehannya dalam bernyanyi sembari bertanya apalagi yang kurang dalam nyanyiannya. Itulah kenapa Nurda belum menerima satupun pemain game untuk dijadikan murid.
Andi menungguku di taman ketika aku mengekor langkah kaki Nurda yang masuk menuju rumahnya. Tidak seperti yang kuduga, rumah Nurda sangat luas. Dulu waktu ke sini, aku hanya ke ruang tamu yang berada di balik pintu. Namun ternyata rumah ini masih memiliki banyak ruangan untuk bermain alat musik dan juga bernyanyi. Ruangan bernyanyi dipenuhi dengan notasi lagu.
Nurda bernyanyi satu bait dan ketika ia bernyanyi, nada yang ia nyanyikan dapat membuat notasi yang ada di dinding bersinar. Notasi di dinding bersinar bergantian sesuai dengan nada yang dimainkan oleh Nurda. Nurdapun meninggalkanku sendirian untuk mencoba bernyanyi dan merasakan setiap nada.
Mulanya aku bernyanyi nada dasar doremi untuk mengetahui apakah nadaku sudah tepat atau belum. Beberapa kali kucoba, namun ternyata tidak pernah tepat. Kadang bisa benar, namun seringkali keliru. Akupun diam sejenak sambil berpikir jika aku mungkin memang tidak piawai dalam bernyanyi sesuai nada yang tepat.
Aku mencoba kembali namun lagi-lagi hanya beberapa nada yang bersinar tepat sesuai nada yang ingin kususarakan. Selebihnya aku berada di notasi yang salah. Aku berlatih agak lama, namun tidak menghasilkan apapun. Ini sulit bagiku yang tidak pernah memperoleh pelajaran mengenai musik sama sekali seumur hidup.
Selama ini aku hanya belajar dari lagu-lagu orang lain dan belajar dari ayahku -ayah tidak pandai bernyanyi. Ayah hanya menegaskan untuk menggunakan suaraku sendiri. Aku menangkapnya sebagai pernyataan untuk tidak membuat-buat suara agar terlihat seperti orang yang diidolakan dan meninggalkan warna asli suara yang dimiliki.
Nurda membuka pintu menghampiriku. Ditangannya terdapat air dengan perasan lemon yang ia sodorkan untukku. Aku segera meminumnya tanpa memberikan ekspresi apapun.
"Tidak apa-apa meskipun belum bisa mendapat nada yang Dina maksud. Semuanya butuh proses yang tidak sebentar, kok. Yakin saja kalau Dina akan menunai hasilnya kelak," Nurda menyemangatiku dengan tulus.
apa aku bisa melakukannya. Itu adalah ke-sekian kalinya aku berpikir pesimis tentang cita-citaku. Nurda memelukku. Spontan aku menangis. Mimpi buruk yang selalu menghantuiku. Hal yang selalu kutakuti tapi tetap kuusahakan. Apa pun yang kulakukan, mimpi itu kembali hadir di setiap malam.
Pada mimpiku, aku sedang bernyanyi di depan umum. Nyanyian dalam mimpiku seperti bunyi sumbang alat musik. Rasanya sangat memekakkan telinga. Semua penonton yang mendengarku langsung lari berhamburan sambil menutup telinga. Teriakan mereka terdengar menggema di ruangan konser. Aku merasa kalau mereka trauma mendengar suaraku.
Apalagi ketika aku menyanyi di depan publik beberapa hari yang lalu. Momen yang kuanggap sebagai kebahagiaan itu, sebenarnya lebih seperti penuh tekanan.