Chereads / Secret From the Past (LitRPG) / Chapter 9 - BAB 4: Lelaki Mencurigakan (4/4)

Chapter 9 - BAB 4: Lelaki Mencurigakan (4/4)

Andi hanya bungkam. Dia tidak menjawab apapun. Tapi kemudian, dia mau bercerita padaku. Saat pertama kali melihatku, Andi langsung teringat dengan adiknya, Lyn. Kegigihanku untuk bisa bernyanyi menjadi kesamaan yang juga dimiliki Lyn. Lyn juga tipe orang yang akan melakukan apapun demi bisa bernyanyi, sama sepertiku. Entah kenapa saat Andi berkata seperti itu rasanya seperti bertemu dengan diriku yang lain.

Keluarga Andi selalu melarang Lyn untuk bernyanyi. Lyn tetap berusaha bernyanyi bagaimanapun caranya. Meski kedua orang tua Andi tidak mengatakannya, tapi Andi tau bahwa kedua orang tuanya bangga dengan suara indah yang dimiliki Lyn.

Suatu hari, Lyn tidak pulang ke rumah. "Lyn ke mana, Pak? Bu? Kok dia belum balik?" Andi bertanya dengan panik. Jawaban yang ditunggu Andi juga tidak kunjung datang, jadi dia mencari Lyn ke seluruh tempat yang memungkinkan. Sayangnya, Andi pulang hanya dengan tangisannya yang terus mengalir deras. Dia terduduk di depan pintunya, berharap tiba-tiba sosok Lyn muncul dari jalan di depan rumahnya.

"Lyn ke kota. Dia pengin belajar bernyanyi sama ahlinya." Ibu Andi menenangkan sambil memberikan andi secarik kertas yang berisi pesan tentang kepergian Lyn yang secara tiba-tiba itu.

Saat itu andi tahu bahwa ibunya hanya berbohong. Pun jika benar, pasti secarik kertas itu akan berada di kamar Andi.

Sejak saat itu, sudah empat tahun mereka terpisah. Berkat Laonnda, Andi merasa mendapatkan sedikit harapan untuk menemukan adiknya kembali. Selama ini Andi terus bergantung pada kemungkinan kecil dia dapat menemukan adiknya.

Kukira cerita Andi akan berhenti sampai di sana. Tapi, ternyata Andi pernah berhasil menemukan Lyn. Andi segera memeluknya sambil berkata bahwa ia sangat merindukan Lyn. Namun, tidak disangka-sangka orang yang dikira adiknya itu marah bukan kepalang dan menyuruh Andi pergi.

"Lyn! Ini aku, Ryn! Kakakmu," Andi mengatakannya dengan sangat keras. Tapi, wanita yang bahkan memiliki paras dan suara Lyn itu hanya tersenyum tipis.

"Menjauhlah. Lyn tidak ingin menemui Ryn lagi." Andi menangis ketika menceritakan pertemuan pertama mereka setelah sekian lama.

Ini adalah kali pertamaku melihat seorang lelaki menangis. Rasanya hatiku seperti tersayat-sayat. Apa yang pernah dirasakan Andi... Tunggu... Aku tahu nama asli Andi adalah Ryn. Nama yang bagus.

Andi melanjutkan ceritanya. Setiap hari ia menghabiskan waktu di Laonnda meski tidak melakukan apapun. Ia sudah tidak menjalankan misi dan tidak tau harus apa. Setiap hari dia habiskan dengan duduk di depan panggung Senddi hanya untuk memandangi orang-orang yang ingin memiliki suara seindah Senndi. Tapi semua orang itu tidak memiliki semangat yang besar seperti adiknya. Sudah ratusan kali juga Andi mendengar Senndi kecewa kepada orang-orang itu karena tidak satu pun yang berhasil menjadi murid gurunya.

Sampai suatu ketika dia melihatku menatap kosong dan terpana pada penampilan Senndi. Bahkan kalimat pertama yang kuucapkan juga tentang bernyanyi. Andi melihat itu sebagai sesuatu yang ingin kuraih bagaimanapun caranya.

Dia mengamati tingkah laku dan caraku menjawab yang seperti orang kebingungan sekaligus antusias. "Saat melihatmu, satu hal yang terlintas di pikiranku cuma Lyn. Kalian mirip banget. Aku gak bisa berhenti mengikutimu." Andi mengikutiku dengan rasa penasaran ingin mengetahui bagaimana nyanyianku. Namun, kala itu aku tidak kunjung bernyanyi. Itu adalah ketika pita suaraku sakit dan aku harus mengistirahatkannya dengan tidak berbicara sedikitpun. Namun, hal itulah yang justru membuat Andi terus membuntutiku. Ia menungguku bernyanyi.

Jadi sudah jelas kenapa dia tidak menyapaku dari awal. Dia, pria malang itu hanya ingin mengobati sedikit kerinduan pada adiknya. Keputusanku sudah bulat. Aku akan menjadikannya teman.

"Namaku Dina Rahmawati."

"Andi... Ira-... Wan," Andi menjawab sesenggukan. Aku tidak begitu mendengar jelas namanya. Aku mendekat padanya. Tanganku mengelus-elus punggung Andi untuk membuatnya tenang.

Suasana pantai yang sudah sangat sore itu begitu indah. Matahari tinggal separuh dan cahayanya memerah indah. "Coba lihat, Ndi. Aku yakin kamu pasti bisa memperlihatkan pemandangan ini pada adikmu." Andi yang sedari tadi menutup mukanya sekarang melihat keindahan pantai saat itu.

Cukup lama kita hanya duduk menikmati pemandangan. "Ah, aku minta maaf. Gara-gara ceritaku, aku sampai lupa dengan misimu. Gimana kalau kita cari sekarang?" Andi memecahkan kesunyian petang itu.

Aku merasakan perasaan bersalah yang terbesit padanya. "Baiklah. Tapi kita pakai apa, ya, enaknya?"

"Gimana kalau kapal?"

Aku tidak menyukai pilihan itu. Kapal tidak terlalu menyenangkan untuk bersenang-senang. "Aha! Pakai alat selam saja. Menurutmu bagaimana?" Aku tersenyum puas dengan ideku sendiri. Dengan begitu aku dapat merasakan pengalaman lain di dalam game.

"Boleh. Aku punya dua di penyimpananku. Tapi, kayaknya di sini bukan tempat menarik buat nyelam, deh."

Aku tidak begitu mengerti maksud Andi. Padahal dengan menggunakan alat selam semuanya akan terlihat dengan jelas. Pun pergerakan di dalam air akan lebih mudah, jadi penjelajahan dapat dilakukan dengan lebih menyenangkan. Tapi kenapa dia berkata seperti itu?

Ketika Andi sibuk dengan alat selamnya, aku berangan-angan bagaimana rasanya makan makanan laut hasil tangkapan sendiri. Tanpa memedulikan Andi, aku mencoba memancing ikan dari peralatan yang kudapat saat di Niasta. Limabelas menit berlalu tapi aku tidak mendapatkan satupun ikan. Dari kejauhan Andi tertawa melihatku. Malu sekali rasanya terlihat bodoh di depan orang lain seperti ini.

Aku segera menghampiri Andi seolah semuanya tidak pernah terjadi. Sejak pertama bertemu hingga saat ini aku tidak pernah memperhatikannya dengan seksama. Aku disibukkan oleh pikiranku yang membayangkan hal buruk apa yang ingin dilakukan Andi padaku. Namun kini ketika Andi duduk diam dengan menampilkan senyuman manisnya, aku menyadari sesuatu. Andi ternyata memiliki paras yang lumayan sesuai dengan tipeku.

Kulitnya tidak putih, tapi bersih. Ia tinggi dan berat badannya proporsional. Rambut coklat alaminya juga memukau, pas sekali dengan parasnya. Saat melihat parasnya, semakin lama akan semakin terasa daya tariknya. Jika ini adalah game lain tentu aku akan berpikir bahwa Andi di dunia nyata akan berbeda dengan yang ada di game. Tapi di Laonnda, bentuk tubuh di dunia nyata sama seperti bentuk tubuh di dalam game. Perbedaannya hanya pada make up yang digunakan agar wajah menjadi lebih enak dipandang, tapi struktur tulang, dan bahkan tanda lahir yang berada di tempat tertutup juga tetap ada di dalam game ini. Tapi aku merasa bahwa Andi tidak melakukan make up itu. Dia pasti ingin tampil seperti biasa agar adiknya dapat mengenalinya.

Kurasakan pipiku memerah dan terasa panas. Pandangan Andi juga mulai keheranan melihatku. Akupun mencoba mengalihkan perhatian dengan menggambil daging buruan yang sudah masak dan kuberikan salah satunya pada Andi. Kita berdua makan daging buruan sambil menikmati hamparan bintang di langit dan pantulan malam di air laut.

"Daging buruan bikinanmu enak baget, Din. Enaknya tuh melebihi rasa daging di restoran. Beneran, deh."

Kupalingkan pandanganku untuk menyembunyikan pipiku yang kembali memerah. Rasanya senang sekali. Ucapan Andi terasa tulus dan membuatku berdebar. Degup jantungku begitu cepat seolah sedang menonton adegan menegangkan di film horor. Aku tidak mampu menatap mata Andi.

Aku mempercepat makan dan segera memakai alat selamku. Itu adalah kali pertamaku menggunakannya. Aku agak kesulitan memakai yang seperti tabung gas. Andi membantuku memakaikannya. "A-aku bisa sendiri," aku menolak pertolongannya karena debaran jantungku menjadi sangat terpacu. Andi tidak menghiraukan perkataanku dan terus membantuku.