Chereads / Secret From the Past (LitRPG) / Chapter 7 - BAB 4: Lelaki Mencurigakan (2/4)

Chapter 7 - BAB 4: Lelaki Mencurigakan (2/4)

Aku menyeret tubuh dengan menjejakkan kaki arah samping, tapi itu tidak terlalu membantuku. Tidak ada tempat yang aman untuk bersembunyi. Mataku mulai berkaca-kaca ketika mereka bersiap menyerang. Kututup rapat-rapat kedua mataku dengan tangan, berharap kematianku kali ini dapat kulalui dengan mudah.

Terdengar suara pedang menebas sesuatu. Tiba-tiba aku merasa berat sekali tubuhku. Aku mencoba mengintip apa yang telah terjadi. Kedua monster tersebut mati dan mayatnya berada tepat di atas tubuhku. Mereka dibunuh oleh orang di belakang monster itu. Ketika kudorong monster menjauhi tubuhku, aku dapat melihat dengan jelas siapa yang menyelamatkanku.

Meski hanya melihatnya sebentar, aku dapat mengetahui siapa dia. Warna rambut dan juga postur tubuhnya sangat sesuai dengan ingatanku. Dia adalah lelaki yang pernah kupergoki membuntutiku di dalam hutan. Kenapa dia ada di sini? Apa selama ini dia terus membuntutiku? Untuk apa? Apa motifnya? Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi pikiranku. Aku semakin mewaspadai dia. Sepertinya dia memiliki tujuan buruk padaku. Mungkin saja dia ingin memanfaatkanku. Aku disibukkan pemikiran negatifku padanya.

"Kamu gak apa-apa?" Dia berkata sambil mengulurkan roti untukku. "Makan, nih. Biar staminamu balik," tambahnya.

"Apa sih maumu?"

"Udah, makan aja dulu. Lagipula kamu gak punya tenaga buat melawanku, kan?"

Kesal sekali karena perkataannya benar. Tapi tetap saja tidak kuterima roti itu. Aku takut didalamnya ada racun atau yang parah ada ramuan agar aku takluk pada perkataannya. Meski terkesan mengada-ada, aku tidak ingin lengah. Aku memilih menolak roti itu dan langsung memakan daging buruan tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Dia tercengang dengan reaksiku. Sepertinya dia tidak menyangka roti pemberiannya akan ditolak mentah-mentah. Apalagi setelah apa yang ia lakukan padaku. Menurutku meskipun dia telah menyelamatkanku tidak menutup kemungkinan bahwa dia ingin memanfaatkanku, bukan? Seperti anak kecil, daripada mengatakan "Aku orang baik. Ayo kuajak ke sana", akan lebih efektif dengan memberinya sesuatu untuk mendapatkan hatinya terlebih dahulu, baru kemudian dapat dimanfaatkan sesuka hati.

Dia langsung duduk di sampingku serta memakan roti yang seharusnya ia berikan padaku. Aku menggeser tubuhku beberapa kali. Aku ingin mengantisipasi jika dia menyerangku tiba-tiba saat aku sedang makan. Sambil makan, aku terus berpikir apa yang dia sembunyikan. Hal buruk apa yang akan dia lakukan padaku. Aku baru di Laonnda, jadi aku tidak ingin barangku dirampas ataupun aku dimanfaatkan.

"Kalau kamu menunggu ucapan terima kasih dariku, kamu tidak akan pernah mendapatkannya. Tolong jangan campuri urusanku lagi," kataku sambil memungut bangkai Kurumka dan Karamkula. Tidak sekalipun aku menengok ke arahnya yang tidak menanggapi perkataanku.

Setelah selesai, aku langsung berjalan kembali ke bibir gua. Sepanjang jalan, dia terus mengikutiku dari belakang tanpa berkata apa pun. Ketika aku berlari, dia juga berlari. Pun ketika aku berhenti, dia juga ikut-ikut berhenti.

Beberapa kali aku menengok ke arahnya, tapi dia bertingkah aneh. Entah itu berpura-pura mengambil batu, menggambar sesuatu di dinding gua, atau merapikan baju. Yang jelas dia juga tidak berani memandang langsung mataku. Sudahlah, mungkin dia seperti itu karena satu-satunya jalan keluar hanya ini, jadi mau tidak mau dia terlihat seperti mengikutiku. Begitu pikirku.

Tapi, ketika sudah sampai di luar Gua Dikacamundra, dia tetap melakukan hal yang sama. Itu mulai menjengkelkan. Aku berlari dengan sekuat tenaga untuk menciptakan jarak dengannya. Sesuai perkiraanku, dia juga berlari mengikutiku. Begitu mudah baginya untuk memperpendek jarak.

Aku diam-diam mengambil pisau kecil di penyimpanan dan langsung menghentikan langkah sambil memutar tubuh secepat yang kubisa. Tanganku menggenggam kuat pisau dalam posisi lurus agar melukai dirinya. Gerakan yang tiba-tiba itu cukup untuk membuatnya kaget, tapi tidak cukup untuk melukainya. Dia dengan mudah dapat menghindariku hanya dengan melangkahkan satu kaki ke belakang. Tangannya dengan cekatan melepaskan dua pedang yang dia bawa.

Dia mengangkat tangannya untuk memberikan tanda bahwa dia tidak berniat membunuhku. "Aku Andi." Dia meminta maaf karena telah membuntutiku.

Ternyata dia membuntutiku sejak dia tau kalau aku ingin bertemu dengan orang yang pandai bernyanyi. Beberapa kali juga dia ingin membantuku membunuh monster, tapi dia takut kalau dia mencampuri urusanku terlalu banyak. Beberapa kali dia ingin muncul untuk menyapaku dan berkenalan, namun dia tidak berani melakukannya.

Jika seperti itu, kejadian aku memergokinya sudah menemui titik terang. Tapi tetap saja aku tidak dapat mempercayainya begitu saja. Meski dia tidak terlihat seperti sedang berbohong, tapi aneh sekali melihat seseorang yang tidak berani menyapa orang lain dan malah kabur ketika ketahuan. Apalagi dia dapat menghabisi monster di Gua Dikacamundra dengan mudahnya. Pasti akan sangat mudah baginya untuk memanfaatkanku ketika aku sudah jatuh dalam perangkapnya.

"Aku cuma mau berteman denganmu di sini. Aku pasti dapat bermanfaat bagimu."

"Tidak! Kecuali kalau kamu bisa membuatku mempercayaimu."

"Sampai saat itu tiba, izinkan aku buat terus bersamamu."

"...," aku berpikir sejenak. Menerima atau menolak tawarannya sama-sama memberikan dampak kepadaku. Aku memikirkan kemungkinan terburuknya. Jika kutolak, pasti misi selanjutnya akan sangat sulit untuk kulakukan. Bahkan ada kemungkinan aku akan mati tanpa dibantu Andi. Jika kuterima, aku terus mengkhawatirkan perangkap-perangkap yang disiapkan Andi padaku. Tapi....

"Terserahlah...," aku menjawab dengan acuh. Sepertinya bukan hal yang buruk jika aku bersama Andi. Bahkan aku bisa mengasah kewaspadaanku dan mempelajari kemampuannya diam-diam. Sebisa mungkin aku mengambil jalan agar aku tidak mati, meski aku harus terus berjaga-jaga dengan segala gerak-gerik Andi.

Akupun memberikan dagingku pada Andi dan kita makan bersama. "Aku ingin bersamamu, menjalankan misi bersama-sama dan menjalin persahabatan," Andi berkata dengan penuh keyakinan. Dia terlihat sangat menikmati masakanku.

"Apakah itu kode agar kamu mendapatkan masakanku yang lainnya?"

"Apa? Kamu memasaknya sendiri? Sungguh, ini sangat enak."

"Ehem... Namaku Dina," Aku berdehem. Rasanya agak malu mendapatkan pujian yang tidak terduga seperti itu. Tanpa kusadari aku langsung mengubah arah pembicaraan. Sejujurnya aku senang sekali mendapatkan pujian itu, tetapi entah kenapa aku tidak pernah bisa mengatakannya. "Ayo kita segera ke rumah Nurda." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku.

Sepanjang jalan, tak banyak yang dapat kami bincangkan. Rasanya canggung sekali. Pikiranku dipenuhi dengan topik obrolan apa yang harus aku lontarkan padanya agar perjalanan ini tidak kaku. Namun, lamanya aku berpikir tak kusangka kita sudah berada di depan rumah Nurda.

Aku menoleh ke arah Andi untuk memberi tanda bahwa aku akan menemui Nurda. "Dina sudah menyelesaikan misi darimu, Nurda."

"Dina harus menjalankan satu misi lagi sebelum Nurda dapat memutuskan akan menerima atau menolak Dina." Setelah mendengar jawaban Nurda, aku agak kecewa. Kukira aku sudah dapat belajar menyanyi padanya, tapi ternyata masih harus menyelesaikan satu misi lagi.