Chereads / Secret From the Past (LitRPG) / Chapter 4 - BAB 3: Misi Pertama (1/2)

Chapter 4 - BAB 3: Misi Pertama (1/2)

Beberapa Tyulu sudah terlihat dari kejauhan. Aku menyempatkan diri untuk membalik daging Tyulu yang harumnya mulai tercium wangi. Aku memang sengaja bersantai sembari menunggu Tyulu mendatangiku. Kalau memungkinkan bahkan aku ingin makan daging bakar Tyulu sambil menghabisi mereka. Secara berkala aku menambahkan kayu dan membalik daging Tyulu agar matang merata.

Pas sekali, ketika dagingku sudah matang, Tyulu pertama muncul, diikuti beberapa Tyulu dibelakangnya. Aku memakan satu daging Tyulu dan menyimpan yang lainnya di penyimpananku. Aku berlari ke arah Tyulu. Aku berusaha membuat jarak dengan api unggun yang kubuat untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk terjadi –percikan arang mengenai rumput.

Kuayunkan pedangku sekuat mungkin. Tyulu di hadapanku langsung mati terpenggal. Sambil menutup mata dan memastikan Tyulu yang lain masih jauh, aku kembali memakan dagingku –aku tidak bisa membuka mata karena darah Tyulu membuatku kehilangan nafsu makan. Hal seperti itu berlangsung beberapa kali, sampai terdapat banyak Tyulu yang mengeroyokku.

Agak kesusuahan, aku melepaskan dagingku yang tinggal sedikit ke tanah dan bertarung dengan serius. Aku mengayunkan pedang ke kiri, kanan, depan, belakang, atas dan bawah. Kuayunkan terus sampai nafasku tersengal-sengal.

Aku memanjat pohon tinggi yang berada di ujung padang rumput. Sedari awal aku sudah menyiasati banyaknya Tyulu yang muncul dan seberapa lelah aku menghadapi semuanya. Jadi, sepanjang pertarungan, aku berjalan sedikit demi sedikit ke arah timur hingga mencapai ujung padang rumput. Seperti yang telah kuduga, karena pagar pekarangan Nurda hanya setinggi dadaku, Tyulu tidak memiliki kemampuan untuk memanjat pohon. Aku dapat istirahat dengan nyaman di pohon sambil mengisi perut dengan daging yang tadi kumasak.

Aku keluar dari game. Semuanya harus efektif, jadi aku mengerjakan hal lain terlebih dahulu. Aku menyelesaikan pekerjaan rumah, mandi, makan, minum, dan mengistirahatkan diri sejenak agar kebugaranku tetap terjaga. Sekitar dua jam kemudian, aku kembali ke Laonnda.

Tenaga dan kekuatanku di dalam game sudah pulih kembali. Tyulu yang menungguiku di bawah pohon jumlahnya sudah sekitar lima kali lipat dari saat sebelum kutinggalkan. Aku meloncat dari atas pohon, langsung menerjang banyak Tyulu dengan sekali hempasan pedang. Banyak yang terbunuh dengan satu hempasan itu karena mereka berkerumun di sekitar pohon. Selanjutnya adalah panggungku untuk melakukan pembantaian masal. Butuh waktu yang cukup lama untuk menghabisi semuanya. Namun aku akhirnya berhasil membunuhnya ketika senja mulai mucul.

Aku duduk dengan senang karena bisa membunuh 1500 Tyulu. Masih kurang 2000 Tyulu lagi. Dari atas pohon, aku dapat mengetahui sekumpulan Tyulu yang sedang menuju ke tempatku. Mereka terlihat sangat kecil karena masih berada di jarak pandang yang sangat jauh dariku. Aku kembali keluar dari game. "Ternyata sudah dua jam semenjak aku melakukan pembantaian itu." Kupandangi jam kamarku. Jam berdesain hologram dengan ukuran yang hampir menutupi salah satu dinding kamar. Aku melangkah menuju ke tempat tidur.

Kuraih gawai yang berada di meja kecil di samping bantal. Aku memutuskan untuk belajar dan mengerjakan soal yang kemungkinan akan menjadi tugas di pelajaran besok. Sesekali kulirik jam dinding karena aku tidak sabar kembali ke Laonnda. Rencananya, aku ingin kembali ke Laonnda satu jam setelah keluar. Namun, aku lengah. Aku ketiduran hingga pagi tiba.

Pagiku disambut dengan alunan musik opera yang sudah kuatur pada jam 5 setiap harinya. Pagi ini suaraku sudah sedikit membaik. Tidurku juga sudah cukup, jadi aku yakin besok suaraku sudah pulih sepenuhnya. Suaraku memang tidak membutuhkan waktu lama untuk kembali seperti semula.

Waktu kecil aku juga pernah mengalami hal serupa. Itu adalah ketika aku terus menangis tanpa henti saat ayah meninggal. Tak terasa air mataku mengalir menuju pipi setiap kali mengingat kejadian itu. Aku mengalihkan pikiranku dengan bersiap-siap ke sekolah agar tidak mengingat kejadian menyedihkan itu kembali. Bukannya aku tidak ingin mengingat ayah atau aku tidak menyayangi ayah. Aku sangat menyayangi dan menghormatinya. Hanya saja aku tidak ingin memulai hari dengan hal yang suram.

Tidak ada yang spesial dengan kegiatan sekolahku. Bahkan, setelah bermain Laonnda, aku kehilangan fokusku ketika belajar. Beberapa kali aku melamun gara-gara aku ingin segera pulang untuk menghabisi Tyulu yang sekarang pasti sudah berkerumun semuanya. Jika saat seperti itu tiba, sesaat kemudian aku akan mengembalikan kesadaranku dengan menepuk-nepuk pelan kedua pipiku. Aku menghela nafas panjang ingin segera pulang.

Selama di sekolah, -seperti biasanya- aku tidak melakukan kontak sosial dengan teman satu kelasku. Setiap hari kugunakan waktu istirahatku dengan mengerjakan tugas-tugas, makan, berselancar di dunia maya, atau berpura-pura membaca buku. Tapi kali itu aku benar-benar menggebu-gebu untuk mengerjakan segala sesuatunya di sekolah jadi ketika sampai di rumah aku bisa mendedikasikan hari itu hanya untuk game. Tapi konsekuensinya aku besok tidak boleh lagi melakukannya. Intinya, aku ingin memuaskan diriku seharian agar aku bisa kembali seperti aku yang biasanya esok harinya.

Setelah pulang, aku langsung mengakses Laonnda. "Sepertinya semua monster sudah terkumpul di sini." Aku menghembuskan nafas panjang untuk bersiap. Jumlah Tyulu kali ini dua kali lipat dari kemarin. Strategiku kali ini adalah menyerang dan mundur. Aku menalikan perutku ke pohon. Setelah kencang, aku langsung menerjang ke bawah sambil menebas ke segala arah. Untungnya, mereka langsung mati dalam sekali tebasan. Setelah menebas beberapa kali, aku kembali ke atas pohon. Kumakan satu daging bakar Tyulu, lalu kembali menerjang monster.

Saat ini, hanya kurang dua monster yang belum kuhabisi. Itu pasti Tyulu yang sangat jauh dari padang rumput beserta Tyulu yang kupasangi artefak pemikat yang membutuhkan waktu lama untuk menuju ke tempatku. Aku kembali ke tempat di mana aku membakar daging. Mudah sekali menuju tempat itu. Aku tinggal mengikuti mayat-mayat yang tergeletak sepanjang jalan.

Aku cepat-cepat membakar Tyulu dan mengoleskan bumbu dengan asal-asalan. Mataku terus memandangi ke segala penjuru, khawatir jika Tyulu terakhir datang.

Terdengar suara yang terus menggema. Mula-mula, suara itu seperti detak jantung atau mungkin langkah kaki. Kurang jelas apa itu, tapi suaranya terjeda-jeda seperti sesuatu yang kemungkinan sangat besar itu sedang berjalan perlahan. Setelah beberapa saat, suara yang tadinya berjeda sekarang menjadi beruntun hingga tanah ikut bergetar. Sepertinya monster terakhir ini tidak semudah yang kukira. Aku segera memasukkan daging-daging Tyulu ke dalam penyimpanan. Meski beberapa belum matang, aku tetap memasukkannya agar aman.

Seperti yang kukira, dari kejauhan aku dapat melihat monster besar dan kuat yang siap membunuhku dengan cakar besi tajamnya. Secara penampilan, Tyulu raksasa dengan Tyulu biasa tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya ada di taringnya yang mencuat serta cakar besi tajamnya. Sepertinya itu adalah pemimpin Tyulu di sini. Aku berlari sekuat tenaga ke arah pepohonan. Meski pemimpin Tyulu itu bisa melompat, setidaknya dia akan terhambat dengan rimbunnya pepohonan.

Aku mengamati gerakan Tyulu dengan penuh perhitungan. Meskipun memiliki tubuh yang besar, tapi gerakan pemimpin Tyulu ini sangat cepat. Dia sampai ke tempatku dengan cepat.

Aku berlari menerjang kakinya. Pikiranku adalah aku harus menghambat pergerakannya, entah itu tangan ataupun kaki. Ketika pedang kuayunkan dari atas, Tyulu tersebut langsung mundur satu langkah. Serangan pertamaku berhasil dia hindari. Tyulu langsung menghempaskan tangannya ke arahku setelah pedangku tidak dalam jangkauan serangan. Kejadian itu terjadi dengan cepat.