Jam dinding kelas menunjukkan pukul 10 pagi. Kelas riuh sebab tak ada guru yang menjaga. Hanya ada tugas di depan sana. Papan tulis memberi informasi alasan mengapa kelasnya kosong sejak satu jam yang lalu.
Seperempat putaran lagi, bel sakral tanda waktu untuk merileksasikan saraf-saraf otak akan berbunyi. Sebenarnya, Nata bisa saja keluar dan meninggalkan kelas saat ini juga --toh juga jam kosong. Akan tetapi, Nata malas. Kantin sekolah akan sepi, semua lorong sekolah juga akan sepi. Bukan apa-apa, mengingat ia adalah anak baru di tempat ini. Jika sudah ada suara sumbang dari penjaga kantin tentang anak baru yang bandel, bisa-bisa ia mendapat kurangan point di hari keduanya ini.
"Kamu ga keluar? Colut yuk!" ajak Dila menepuk sisi bahu Nata. Gadis itu hanya menggeleng ringan. Diliriknya sekilas jam dinding yang hanya menggeser sedikit posisi jarum panjangnya. Bosan, tentu saja. Jarum jam tak bisa diajak berkompromi kalau dalam keadaan dan situasi begini.
"Bentar lagi juga istirahat elah." Temannya mengerutu. Tak salah jika sikap anak baru begini. Nanti kalau udah sebulan berlalu, yakin deh pasti berubah. Eh, dua minggu deh, dua minggu. Berani taruhan?
Nata diam, senyum manis datang dengan kepalanya yang menggeleng tegas. Ia menolak ajakan Dila dengan penuh kesopanan.
"Ya udah aku cabut dulu, ya? Kalau bosen dateng ke kantin aja. Makan sama aku," katanya dengan nada santai. Dila kini berlalu. Meninggalkan Nata dan suasana kelas yang terasa begitu ramai. Hanya sisa beberapa anak di dalam kelas. Yang rajin mengerjakan tugas yang diberikan guru piket. Yang kukuh dengan ponsel dan game online-nya. Yang sibuk mengejar harapan dalam tidur pulasnya. --dan Nata, yang bosan dalam diamnya.
Gadis itu kembali membenamkan wajahnya. Ia menunduk, memainkan pensil yang ada di sisi meja. Semuanya menikmati jam ini, kecuali dirinya. Entah mengapa Nata terganggu dengan hatinya sendiri.
"Cabut yuk, Ta?" Satu suara kembali mengajaknya untuk beranjak. Nata menoleh sedikit mendongak. Ia melirik name tage yang tertempel di dada kanannya --Arum P.-- Siapa dia? Oh teman. Sesekali dua kali sebelum ini mata mereka sempat bertemu dalam satu titik yang sama. Kiranya, ia adalah gadis baik yang pendiam. Tak cerewet dan ceria seperti Dila.
"Enggak, ah. Nanti aja. Kamu duluan aja," jawab Nata. Ia tersenyum kaku. Sedang yang ia lontari jawaban hanya diam dan mengangguk ringan kemudian berlalu meninggalkan gadis yang kukuh ditempatnya itu.
Sepersekian detik berlalu. Bosan dalam diam untuk menunggu bel yang nantinya mengijinkan dirinya untuk menjelajahi isi sekolah. Bukan, paling-paling kalau engga transit di kantin bareng Dila dan Arum tadi, Nata akan menyumbat telinganya dan duduk di taman belakang sekolah.
"Lanata? Oh, Nata?!" Nata menoleh. Suara cempreng baru saja menyebut namanya sumbang. Seperti seseorang yang sedang ragu, sebab nama Nata disebut oleh seorang remaja tampan yang cukup populer. Semua juga tahu, siapa yang sedang berdiri di ambang pintu sekarang ini.
"Ta, dicari!" Ia Menoleh pada Nata.
Nata mendongak, dengan sigap gadis itu beranjak. Siapa yang mencarinya? Guru BK? Lagi? Ah bosan. Bukankah ia sudah memilih kelas seni untuk pengembangan bakat. Lalu? Kelas apa lagi yang akan menyita waktunya untuk bermesraan dengan kebun kecilnya di atap rumah?
"Ini Aku," sambung satu suara. Mata gadis itu membelalak. Si aneh itu! Siapa namanya? Entah. Ia pergi, lebih tepatnya, Nata menyuruhnya pergi sebelum ia menanyakan nama remaja itu kemarin malam.
--dan hari ini, ia melambai pada Nata. Menyuruh gadis itu untuk datang padanya sekarang.
Selepas Arum pergi, Nata mau tak mau harus berjalan mendekatinya. Entah apa yang ia inginkan. Namun, senyum itu benar-benar nyaman untuk dipandang. Jika saja, dirinya dan remaja jangkung satu ini bertemu dalam satu adegan yang mengenakkan untuk diingat, mungkin Nata akan memanggilnya dengan sebutan teman. Sebelum pergi, gadis itu meraih earphone, ponsel, dan sebuah buku novel yang nantinya akan menemani Nata untuk menghabiskan waktunya di luar kelas.
"Gimana kakinya? Masih sakit?"
Nata hanya melihat dalam diam. Tak percaya sekaligus juga malas menjawab. Seumur-umur ia tak pernah bertemu orang yang model begini. Sok akrab. Sok kenal. Sok dekat.
"Baik." Ia menyahut pada akhirnya. Nada itu malas, sebab ia tak punya semangat untuk meladeni si aneh satu ini. Dirinya membuat sore Nata berantakan.
"Udah kamu obatin, "kan?" Lagi! Sekarang dia bukan hanya menyebalkan untuk Nata, tetapi juga si cerewet yang suka banyak tanya ini itu.
"Udah."
"Oh gitu. Oh ya, kemaren belum kenalan, ya?" --tiba-tiba saja, remaja itu mengulurkan tangannya dengan senyum manis yang tak pernah absen dari atas wajah tampannya itu.
"Alby Aditya." Suaranya sangat lembut. Nata hampir saja tersenyum selepas mendengar itu. "Kamu bisa memanggilmu dengan Alby. Aku ada di kelas seberang."
Nata menautkan alis hitamnya. Siapa juga yang mau tau nama kamu?
"Lanata." Pencitraan. Pura-pura baik. Nata benci ini. Bukankah harusnya ia tinggal pergi saja pria ini? Siapa? Alby. Iya, Alby Aditya.
"Udah makan? Ayo ke kantin," ajaknya tiba-tiba. Diajak makan sama Dila dan Arum aja, Nata ga mau. Apa lagi sama pria aneh ini.
Nata menggeleng ringan sembari tersenyum samar. "Makasih. Lain kali aja," tukasnya dengan nada ringan. Berusaha untuk tersenyum pada laki-laki yang jujur saja, Nata tak berharap bahwa mereka berada dalam satu lingkungan yang sama.
"Terus kamu mau kemana?" tanya Albi kala Nata melangkahkan kakinya. Ia mencegah kepergiannya dengan menarik pergelangan tangan Nata. Mencoba untuk membuat gadis itu kembali fokus padanya. Alby memaksa, sebab pembicaraan mereka belum selesai.
Pertanyaan abadi, yang nanti apapun jawabannya, responnya hanya satu
"Aku juga mau ke sana. Bareng yuk?"
"Emang kamu mau kemana?" tanya Nata balik. Serangan pengangkis --katakan saja begitu.
"Tadinya sih ke kantin. Tapi, karena kamu bawa novel, pasti mau ke perpustakaan, kan? Ya udah sama. Bareng yuk?" Alby melirik ke sisi tentengan tangan kanan Nata. Satu novel tebal dan earphone putih yang tertancap rapi di ponsel putihnya erat dalam genggaman gadis itu.
"Perpustakaan? Silakan." Nata tersenyum picik. "Kamu duluan. Aku gak tahu jalannya."
Alby yang hanya menurut kini mulai berbalik dan berjalan terlebih dulu menyusuri lorong sekolah. Dengan harapan Nata mengekorinya dari belakang.
"Kamu bisa jalan duluan. Perpustakaan tinggal belok di—" Langkah Alby terhenti. Memutar tubuhnya serong untuk memberi jalan gadis bermata bulat di belakangnya. Namun, naas! Ia baru saja dibodohi.
"Ck," decak Alby ringan. Kedua bola matanya baru saja memotret punggung gadis yang menghilang tepat belokan di ujung lorong.
"Tuh kan, ga ngikutin. Dasar cewek."
... Bersamanya ....