Moge berdominasi warna hitam merah itu perlahan menepi di lahan parkir yang cukup sepi isinya. Hanya ada beberapa motor yang singgah di sana. Mobil pun bisa dihitung dengan jari tangan. Nata turun perlahan dari atas motor. Tanpa mau melirik pria yang masih sibuk membenarkan posisi motornya dan melepas helm-nya itu. Nata berlalu. Hanya ada satu kata sebelum ia pergi menjauh dari pria itu, "Thanks."
Ia mendorong pintu toko. Sapaan ramah penjaga toko menyambut. Satu kali untuk Nata dan yang kedua kalinya untuk orang yang masih mengekorinya dari belakang. Alby.
"Ngapain sih?" ucapnya malas. Sesekali melirik remaja yang hanya tersenyum kuda untuknya.
"Cari buku," jawabnya dengan yakin.
Nata hanya mengabaikan, memutar bola matanya malas lalu berlalu menyusuri setiap jalan bersekat rak buku besar di sisi kanan dan kirinya.
"Cari novel remaja?"
Nata menautkan kedua alisnya. Melirik sekilas sebelum akhirnya kembali mengabaikan Alby. Langkahnya terhenti tepat di depan rak bertuliskan --Budidaya--
Alby menatapnya aneh, "Mau nanem bunga atau ternak hewan?"
"Ck," Ia berdecak. Menggeser beberapa buku dan mengambil satu buku bersampul putih dengan hiasan ladang lavender ungu di tengahnya.
"Lavender?" Alby tersenyum. Sekarang ia paham, Nata suka Lavender, kan?
Gadis itu kembali berjalan. Kali ini terhenti di depan rak dengan tulisan --Teenfiction-- Sekilas melirik, kemudian membuka ponselnya dan mencari judul buku yang sudah ia simpan didaftar bacanya. Mencocokkan dengan beberapa novel yang menurutnya sama.
"Ketemu!" Nata tersenyum. Melirik Alby yang juga ikut tersenyum untuknya. Bedanya, senyum milik Alby bukanlah senyum bahagia, akan tetapi senyum aneh yang seakan-akan ingin menanyakan satu hal, Ini orang kenapa ya?
"Kamu ga nyari? Katanya mau beli?"
"Aku?" Alby gelagapan saat Nata menyadari bahwa ia datang tanpa tujuan yang jelas. Keinginannya hanya untuk mengekori gadis satu itu. Tak lebih.
"Ini." Alby mengambil novel yang sama dengan Nata. Tersenyum seringai sembari menggoyangkan novel yang ia pegang.
"Katanya ini bagus, banyak yang udah baca juga."
"Temenku baru selesai baca kemarin. Jadi, aku beli aja yang sama."
"Penasaran sih," Lanjutnya menjelaskan. Entah sedang mengoceh macam apa ia itu. Bahkan, ia tak tau, mengapa ia mengambil novel bertuliskan -Lavanta-- Mau ia baca? Entahlah. Seumur-umur yang pernah masuk dalam otak Alby hanya kata berteori dan rumus hitungan dalam buku pelajaran. Bukan kata melankolis dan alur melow drama yang fiksi dalam novel remaja.
"Novelnya baru terbit kemarin. Baru dicetak." Nata menyahut. Ekspresi wajahnya mulai terkesan aneh kala Alby tertangkap basah dengan tipuannya.
"Kalau mau ngibul, yang pinter dikit napa?" Nata tersenyum picik. Dilihatnya jelas Alby yang baru saja memamerkan ekspresi terkejut miliknya. Nata tahu betul bagaimana rasanya ketika seseorang tertangkap basah sedang berbicara bohong untuk beralasan. Bukan hanya malu. tapi juga ingin mati rasanya.
Keduanya berjalan menuju meja kasir. Nata yang meletakkan buku yang ia pilih tersela oleh keberadaan Alby yang tiba-tiba menggeser posisi berdirinya. Alby menaruh satu novel yang sama di atas tumpukan buku Nata. Mengeluarkan dompet coklat miliknya sembari menunggu penjaga kasih menghitung semua total pembayaran.
"156 ribu, kak."
Alby mengangguk. Mengeluarkan beberapa lembar sesuai dengan perkataan si kasir.
"Makasih, kak. Kalau mau sampul sekalian, silakan datang ke meja yang di sana itu." Lagi-lagi Alby hanya tersenyum dan mengangguk ringan.
"Mau disampul dulu, gak?" tanyanya pada Nata.
Nata menggeleng."Kok jadi kamu yang bayar?"
"Ga papa, sekali-kali beliin buat temen." Ia mengusap puncak kepala Nata. Gadis itu hanya terdiam bisu, sedang Alby sudah berlalu berjalan menuju ambang pintu keluar.
"Lain kali, biar aku bayar sendiri aja." Gadis berkuncir kuda itu menyela. Menarik lengan Alby yang baru saja ingin menaiki motor hitamnya.
"Lain kali? Berarti kamu ngajak aku jalan?" Alby terkekeh, wajah gadis yang baru saja terkejut akan ucapannya sendiri itu perlahan memerah.
"Kenapa?"
"Ga papa. Ya udah, aku balik dulu. Makasih bukunya." Belum sempat tubuhnya berbalik, pergelangan tangan Nata sudah dicekal kuat oleh tangan Alby. Pria itu menggeleng ringan. Ia tak rela, kalau Nata pulang sendirian di petang begini. Kalau datengnya bareng Alby, perginya juga harus bareng dia lagi, kan?
"Aku anter," tegasnya.
Kali ini Nata tak diam. Bukan hanya menggeleng tapi juga jelas mengatakan tidak. Cukup merepotkan sekali saja. Ia tak ingin nantinya jika ia akan bergantung pada orang lain karena kebaikannya.
"Supir udah nunggu." Nata melepas genggaman Alby. Menunjuk ke arah mobil hitam yang memang sudah menunggunya sejak ia datang tadi.
"Makasih buat bukunya." Nata berlalu tanpa mau menunggu suara Alby yang setidaknya mengerang ringan untuk menjawab perkataannya.
"Ia aneh tapi juga ngangein," lirihnya kala perawakan kurus itu mulai menghilang setelah pintu mobil hitam tertutup rapat.
••• 100 Persen itu Sempurna •••
"Bentar lagi nyampek di rumah"
Rama merebahkan tubuh jangkungnya di atas ranjang empuk miliknya. Menatap sayu langit-langit kamarnya. Pandangannya kabur. Perasaannya sedikit kalut. Satu bir kaleng sudah habis ia teguk isinya. Dua putung rokok sudah jadi abu wujudnya. Ia melempar ponselnya ke segala arah. Satu pesan masuk tanda seseorang akan datang menjenguknya. Alby, siapa lagi memangnya?
Benar saja. Memang tak pernah main-main ucapan guru BK di sekolahnya itu. Kalau kamu jadi brandal terus-terusan kayak begini, saya laporkan ke ayah kamu!--
Biadab memang. Karena laporan si tua itu, satu pukulan, tamparan, dan beribu caci, maki, dan hinaan harus ia terima sore ini. Kalau sudah begitu, mau kemana Rama lari? Masih sama. Bir dan rokok yang ia butuhkan untuk merendam sakitnya itu.
"Ram, buka woi!" Rama membuka perlahan matanya. Ia mendesah ringan. Berjalan ringan dan membuka pintunya. Seseorang dengan tegas berjalan masuk. Bukan fokus ke arah saudara tirinya, sorot matanya jatuh tepat di pojok ruangan.
"Lo minum lagi?" Ia melirik Rama sekilas. Pria yang dilirik hanya balik melirik malas. Kemudian kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang miliknya.
"Ram, Ram ..., gila sih gila. Bego sih boleh, brandal sih terserah elo, tapi mau ngrusak hidup dan masa depan lo sendiri?" celotehnya tegas. Alby mengambil satu kantong hitam di sisi ranjang Rama. Memungut beberapa putung rokok yang belum habis tembakaunya dan beberapa botol yang sebagian masih penuh isinya.
"Mau lo buang kemana? Taroh, ga!" Rama menyentak. Sedang Alby tak peduli akan amarah saudara tirinya itu.
"Gue bawain nasi ayam di meja makan, noh. Makan gih, keburu nasinya diabisin ayam terus ayamnya kabur, deh," celetuknya ringan.
Rama menoleh, menatap sekilas Alby yang tersenyum ringan untuknya. Perlahan, senyum seringai terlukis di bibir merahnya. Satu sudut bibir terangkat jelas, satunya masih kokoh dalam posisi. Mungkin, karena terlalu sakit jika ia tersenyum, melihat lebam membiru bekas tinju yang lolos mendarat bebas di sudut bibirnya.
"Udah gue bilang kan, jangan mbrandal deh. Kalau udah kena pukul, siapa yang susah?"
Rama menyipit. "Gue lah. Yang sakit juga gue."
"Mama telfon. Panik. Suruh liat keadaan lo. Suruh bawaiin makanan, obat, apalah itu. Dan, gue suruh laporan abis ini. Siapa yang susah?" Alby meledek. Menjitak kasar puncak kepala saudara tirinya itu.
"Ini gue sita. Makan gih," ucapnya berlalu. Menutup pintu kamar dan turun ke lantai bawah.
Rama kembali menatap dirinya di cermin. Seragam sekolah yang sudah tak rapi, rambut hitamnya yang acak-acakan, sisi bibir yang lebam, dan goresan di sisi mata kirinya.
Pantas saja, ayah mana yang tinggal diam jika anak kandung sematang wayang yang diharap mampu meneruskan saham keluarga malah jadi berandalan tak tau aturan begini? Tidak. Rama tak pernah ingin jadi berandalan. Ia hanya ingin hidup bebas sebebas-bebasnya. Ia ingin hidup tanpa kekangan ayahnya. Andai saja ayahnya tak egois, Rama juga tak akan sekeras ini.
Intinya, Rama tak suka hidupnya atas aturan ayahnya. Ia ingin bebas. Seperti bunga yang mekar di musim salju, bukan di musim semi. Seperti burung yang terbang ke dataran yang lebih hangat, dan seperti air yang mengalir ke tempat dimanapun yang ia suka. Bukan seperti ini. Bukan seperti Rama Azka.
... Bersambung ....