Kisah masa remaja ada kisah yang paling berkesan di dalam hidup kita. Baik dan buruknya, akan terasa begitu indah dikenang di masa tua. Kisah di masa seperti inilah yang pantas untuk diabadikan. Dijadikan pedoman lalu dijadikan pengalaman dan guru terbaik di masa depan. Setiap orang punya kisahnya masing-masing. Tak ada kisah yang sama dan identik sebab Semesta adalah 'sesuatu' yang paling kreatif di dunia ini.
Nata mengambil langkah kakinya, tegas tak ada keraguan gadis itu pergi meninggalkan kelas. Sore tiba, senja datang dengan langit jingga sedikit mendung menggantung di atas cakrawala. Semilir hawa bayu tegas membelai permukaan kulit. Sepoi anginnya seakan ingin menghibur hati yang sedang terluka dan pikiran yang sedang banyak beban. Kiranya sore ini berakhir dengan sedikit melegakan. Ia hanya cukup menulis surat permintaan maaf tanpa harus menjalani hukuman.
Jauh di sana, Nata melihat seorang remaja jangkung yang baru saja keluar dari belakang sekolah. Pakaiannya sedikit berantakan, khas Rama Aksa Megantara. Si berandal elit yang menghilangkan sejak istirahat kedua selesai. Tak ada yang mencari, saat guru bertanya, hanya ada satu jawaban yang membungkam semuanya. "Tidak tahu! Juga tak mau tahu. Itu adalah tradisi Rama Aksa Megantara kalau tak suka dengan pembelajaran yang akan berlanjut. Ia membenci pelajaran fisika, itu sebabnya Rama mangkir sore ini. "
"Ngelihatinnya gitu amat?" tanya seseorang menyela Nata. Ia membuyarkan fokus gadis itu. Pandangan Nata tak lagi mengarah pada Rama, melainkan pada remaja jangkung yang baru saja datang dan menyenggol bahunya ringan. Seperti biasa, ia sok akrab.
Senyum itu penuh kehangatan. Tanda bersahabat dan berniat baik untuk Nata.
"Ngomong-ngomong ... apa hukumannya?" tanya Alby tiba-tiba. Langkah kaki itu mengiringi Nata yang kembali berjalan tegas mengarah ke gerbang utama. Berharap, kalau Pak Dan sudah ada di sana. Ia tak perlu banyak berbicara dengannya sembari menunggu si supir datang menjemputnya. Katakan saja begini, semakin lama berada di sisi Alby, maka semakin banyak pula kalimat yang harus terucap. Alby tipe orang yang suka cerewet berbicara sana sini.
"Hukuman apa?" tanya Nata melirih. Ia menoleh sejenak. Kala manik mata itu tak sengaja bertemu dengan Alby, ia kembali memalingkan wajahnya. Sedikit canggung, apalagi setelah tahu bahwa remaja ini adalah saudara tiri Rama Aksa Megantara.
"Dari BK."
Nata menghela napasnya sejenak. Entah mengapa, kepala gadis itu kini manggut-manggut. Seakan sedang mencoba untuk memahami sesuatu.
"Nulis surat, permintaan maaf. Itu lebih baik ketimbang harus berlari mengelilingi lapangan atau hormat di depan bendera selama satu jam penuh." Nata menjelaskan singkat. Gadis itu kembali diam selepas semua kalimatnya terucap dengan jelas.
"Lagian ... kenapa harus dihukum?" --bodoh! Kenapa dia harus membuka mulutnya lagi?
"Apanya yang kenapa?" Alby terkekeh. Ia mendengar Nata sedang menggerutu sekarang ini. Sedikit lucu. Pasalnya gadis itu terlihat begitu baik dan pendiam. Setidaknya sifat sabar ada di dalam dugaannya selama ini.
"Rama suka pergi dari pelajaran. Dia juga bolos tanpa sebab. Biasanya gak dihukum, tetapi kenapa—"
"Karena itu adalah guru sejarah." Alby menyahut. Ia tahu seluk beluk tempat ini dan semua orang-orang yang dikatakan sebagai pengajar. Ia hapal mana yang punya toleransi, tidak peduli, atau pandai mengadu kalau ada yang tidak beres. "Guru sejarah selalu begitu. Lain kali, kamu harus hati-hati."
Nata menghela napasnya. Ia mengangguk dengan ringan. Tersenyum tipis sembari menatap wajah tampan Alby. Wajahnya tak mirip dengan Rama, setidaknya lebih tampan Rama. Namun, kalau pasal sifat, Nata lebih memilih bersama Alby.
"Supir aku udah jemput. Makasih sarannya," tukas Nata sembari menunjuk ke arah mobil hitam yang terparkir di sisi jalanan. Syukur, Pak Dani benar-benar sudah menjemputnya.
"Hm, hati-hati." Alby melambaikan tangannya ringan. Memberi salam perpisahan pada gadis yang ikut melambai dengan ragu. Nata melangkah pergi meninggalkan Alby hanya berhenti di depan gerbang. Tentu saja, tujuan remaja itu bukan pulang dengan jalan kaki. Ia punya motor di parkiran belakang. Jadi Alby harus kembali memutar dan mengulang beberapa langkah untuk sampai ke sana. Ia berjalan sejauh ini hanya untuk menemani Nata saja.
"Nata!" Alby memanggil. Membuat gadis itu kembali terhenti dengan jarak yang sedikit jauh.
"Malam minggu ada acara?" tanyanya dengan sedikit berteriak. Beberapa orang yang ada di sekitarnya sejenak menoleh. Menatap dua orang aneh yang kini saling pandang satu sama lain.
Alby tersenyum manis, hatinya puas mengatakan hal itu. Sedangkan Nata, hanya diam sembari mengerutkan dahinya. Desahan kecil ada saat tahu apa yang baru saja dikatakan oleh Alby. Ia malu, sungguh!
"Kabari aku jika tidak ada," ucapnya lagi sembari menggoncangkan ponsel yang ada di genggamannya. Lagi-lagi tersenyum ringan untuk kalimat itu.
Nada berdecak. "Sialan," lirihnya berucap. Tidak, Alby tak akan mendengar itu. Alby hanya tahu bahwa Nata membalasnya dengan senyuman yang manis dan hangat. Kepura-puraan itu setidaknya selalu ada untuk melegakan hati siapapun yang sudah berbuat baik padanya.
Keduanya berpisah. Alby diam di tempatnya, menatap kepergian gadis yang baru saja masuk ke dalam mobil mewah berwarna hitam. Senyum tak henti-hentinya mengembang. Ia menyukai kehadiran Nata di dalam hidupnya. Bak sebuah sketsa, Nata adalah pewarna yang tepat untuk memperindah lukisannya.
Alby menghela napas. Semuanya berakhir selepas mobil itu melaju sedang di jalanan kota. Kini ia akan pulang. Tubuh jangkungnya berputar. Tak sengaja dirinya mendapati Rama yang berdiri jauh di sana. Pandangan mata saudara tirinya itu tertuju pada arah yang sama. Kepergian Lanata Calya Halwatuzahra.
Tatapan Rama begitu dalam. Alby baru pertama kali melihat tatapan seperti itu datang darinya.
••• 100 Persen Itu Sempurna Vol 01 •••
"Neng Nata gimana sekolahnya hari ini?" Pak Dan menyela keheningan. Membuka pembicaraan di antara keduanya saat ini.
Nata menoleh. Menatap pria yang duduk di kursi kemudi.
"Kemarin Neng Nata pulang dengan kaki terluka, gimana Bapak bisa diam saja?" tanyanya lagi. "Neng Nata ketemu sama bocahnya?" tanya pria itu lagi. Membuat tawa muncul dari celah bibir Nata. Bukan pasal kekhawatiran yang dimiliki Pak Dan, Nata tertawa sebab logat bahasa yang menyebut Alby sebagai 'bocah itu'.
"Kenapa ketawa, Neng? Bapak gak bercanda loh," ucap Pak Dan memprotes.
"Dia anak yang baik, Pak." Nata menyahut. Membuka suaranya dengan ringan. Tersenyum manis, kala Pak Dan menolehkan pandangannya.
"Maksudku ... Alby, orang yang nabrak aku kemarin. Dia anak yang baik," ucapnya menegaskan. Ia tersenyum manis menutup kalimatnya.
Ya, meskipun menyebalkan. Alby adalah anak yang baik. Setidaknya, Nata punya teman yang baik di sana selain Dila.
... Bersambung ...