Suasana sedikit menyebalkan. Gadis itu hanya bisa berdiri di depan remaja jangkung yang sedang sibuk dengan dunianya. Nata menyerahkan selembar kertas berukuran A4 yang masih bersih permukaannya. Bersama dengan sebatang pena bertinta hitam yang ia sodorkan pada remaja jangkung yang masih asik menyantap mie rebus buatannya itu. Katanya sih spesial --dengan telur mata sapi, potongan cabai rawit dan sedikit merica yang ia tambahkan.
Eh, jangan keliru. Rama hanya membuat satu, tentunya untuk dirinya sendiri.
Lalu bagaimana dengan Nata? Kata Rama. "Siapa suruh dateng ga bilang-bilang. Mie rebus gue tinggal satu. Satunya udah kadaluarsa. Mau?"
"Ini apa?" tanya Rama di sela-sela makannya. Ia melirik ke arah Nata lalu tersenyum aneh.
"Kertas. Buta?" jawab Nata sinis. Ia kesal. Benar-benar kesal. Pertama, ia harus keluar dari rumahnya yang hangat untuk menerjang dinginnya angin malam demi menemui remaja brandal satu itu. Kedua, Rama makan mie rebus sendiri. Tanpa membuatkan Nata. Remaja jangkung di depannya itu benar-benar tak punya hati nurani. Rama benar-benar tak diajari pasal hal itu. Berbagi? Tidak!
"Buat apa?" tanya Rama
"Nulis." Nata menyahut dengan sinis. Ia tak bisa menoleransi Rama malam ini. Remaja itu benar-benar bak tak punya kesalahan di dalam dirinya. Ia seperti orang yang tak punya hati.
"Nulis apa?" tanyanya sembari memasukkan satu suap mie ke dalam mulutnya. Rama memandang gadis di depannya dengan tak acuh, ia tak peduli akan hukuman yang diberikan oleh guru BK padanya. Rama bukan tipe siswa baik dan berbakti.
"Tulisan."
Nata mendesah. "Yang punya tanggungan itu kamu. Yang punya masalah itu kamu, bahkan aku kenak masalah karena kamu. Terus aku juga yang harus nulis surat buat kamu? Maunya apa sih?" Gadis itu mulai menggerutu dengan kesal. Ia menghentakkan kakinya beberapa kali, seakan-akan ingin meluapkan semua emosinya.
"Bawel." Rama meletakkan garpu di sisi mangkok yang sudah kosong isinya. Menatap Nata sejenak. Menghela napasnya sedikit kasar.
Tunggu, seharusnya Nata lah yang sebal. Seharusnya dirinya lah yang kesal pada sikap remaja jangkung itu.
"Kok lo semangat banget sih nulis ini?"
"Ga mau nulis ini?" Nata semakin kesal.
"Enggak, kenapa?" Rama tersenyum aneh. Membuat Nata semakin kesal padanya.
Nata diam sejenak. Ia malas berdebat malam ini. Sungguh malas. Jikapun berdebat, paling ia akan kalah lagi. Untuk itu, kali ini ia akan diam.
"Ya udah aku balik aja. Sori udah ganggu." Nata beranjak dari tempat duduknya. Menatap tajam remaja di depannya itu. Sekarang, hatinya benar-benar kesal. Hatinya benar, tak ada gunanya mengajak Rama untuk bekerja sama dengannya. Remaja ini memang sudah tak ada motivasi untuk menjadi siswa yang baik dan berbudi luhur. Mengacau adalah caranya menjalani dan menjemput kebahagiaan.
Seharusnya Nata tak seberharap ini. Seharusnya ia tak bodoh dengan mendengarkan omongan Dila untuk datang ke rumah Rama dan membujuknya untuk menulis surat itu. Seharusnya ia tak sebodoh itu.
••• 100 Persen Itu Sempurna •••
Nata terhenti tepat di ujung gang rumah Rama. Tangan kanannya cepat merogoh kantong hoodie merah muda yang ia kenakan. Berusaha mencari ponsel di dalam sana. Ia tak bisa pulang jalan kaki larut malam begini. Jadi, ia harus menelepon Pak Dan. Sekarang.
"Loh, kok ga ada?" Nata mulai panik. Kantong hoodie-nya kosong. Ia merogoh kantong kecil di sisi tas putihnya. Biasanya ia menaruh ponsel, uang, dan benda-benda kecil di dalam sana. Akan tetapi, nihil. Di sana juga tak ada ponselnya.
"Ketinggalan di rumah Rama?" Nata menepuk keras jidatnya. Ia bodoh. Benar-benar bodoh. Seharusnya ia tak ceroboh begini.
Segera tubuh mungil Nata berbalik untuk kembali ke Rumah berandalan itu.
"Mau ngapain?" Nata tersentak ke belakang. Saat sesosok pria sudah berdiri tepat di belakangnya. Membawa ponsel miliknya sembari tersenyum licik.
"Katanya lo mau balik?" ejeknya ringan.
"Siniin." Nata merebut ponselnya.
"Makasih," ucapnya ringan. Berbalik badan dan meninggalkan Rama di sana.
"Gak mau pinjem hp gue?" teriak Rama padanya. Awalnya Nata terus berjalan mengabaikan ocehan tak berguna remaja aneh itu. Akan tetapi, saat ia sadar ponselnya mati. Ia terhenti. Mendesah ringan sembari mengumpat tak jelas.
Ia berbalik badan. Menghampiri Rama yang masih berdiri di sana.
"Pinjem hp-nya."
"Ga punya pulsa."
"Kuota?"
"Abis."
Nata memejamkan matanya. Sejenak ia merasakan apa yang dirasakan Pak Dan kalau ia bertindak semaunya sendiri--jengkel.
"Terus ngapain nawarin?"
"Cuma mau ngejek lo."
"Sinting!" Nata berbalik lagi. Kali ini ia benar mengabaikan Rama. Berjalan lurus yang harap-harap bertemu seseorang untuk memberinya tumpangan.
Tunggu, Nata kan juga tak bawa uang.
••• 100 Persen Itu Sempurna •••
"Makanya, kalau mau pergi itu di cek dulu. Hape mati, uang gak bawa, sopir suruh ninggal. Lo manja banget sih?"
Bola mata Nata berputar. Seperempat jam sudah Rama mengoceh tentang dirinya. Yang bodoh lah, yang goblok lah, yang bego lah, yang manja lah.
"Kalau ga mau anterin ya udah, aku bisa jalan sendiri." Nata menghentikan langkahnya. Menatap Rama sinis yang ikut menatapnya datar.
"Aku gak manja," terangnya tegas. Kembali berjalan mendahului Rama yang kini mengekorinya dari belakang.
"Ngambek lo?"
Nata bungkam. Berusaha mengabaikan berandal itu.
"Udah gue anter sampek sini. Lo bisa pulang sendiri." Rama berbalik arah.
"Kalau ga mau anter ga usah anter!" Teriak Nata lantang. Hingga beberapa orang di sisinya melirik ke arahnya.
"Lo itu ya." Rama mendekat.
"Udah bagus gue anter sampek depan gang rumah. Kalau gue tinggalin di depan gang rumah gue, mau apa lo?"
Nata diam. Bukan untuk pertanyaan terakhir Rama. Akan tetapi, untuk pertanyaan yang sedang ia debatkan sendiri.
"Bagaimana Rama bisa tau rumahnya?"
"Gue ga butuh makasih dari lo. " Rama berbalik badan. Berjalan menjauh dari gadis yang masih diam beku di tempatnya.
Satu lagi hal yang tak Nata mengerti dari Rama. Caranya memperlakukan Nata. Seolah gadis itu adalah teman dekat yang harus Rama lindungi. Selebih dari itu, bahkan sampai sekarang ia tak percaya bahwa Rama tinggal sendirian di rumah mengerikan itu. Namun, bagaimana Rama bisa mengetahui bahwa tinggal satu belok gang lagi, Nata sudah sampai di depan rumahnya.
Rama --seperti apakah sebenarnya kamu itu?
Remaja brandal yang tak tau aturan?
Remaja polos yang berusaha memberontak?
Ataukah remaja rapuh yang sedang minta dikuatkan?
Nata kembali teringat insiden di ruang seni waktu itu. Gadis yang menjadi obyek lukisan Rama, siapa gadis itu? Ibunya? Apa tak terlalu muda?
Ahhh... Kenapa Nata jadi seperti ini? Ia merasa dirinya sedikit aneh.
... Bersambung ....