Mendung. Surya perlahan hilang dari posisinya, sinarnya meredup dan bentangan awan gelap mulai menyelimuti bumi. Langkah jelas gadis mungil berkuncir kuda itu masih kokoh menerjang semilirnya bayu yang berembus. Ia kokoh. Sedari tadi, perutnya belum terisi penuh, pagi tadi ia hanya makan sepotong roti tawar dengan susu coklat sebagai penutup sarapan paginya. Istirahat pertama, ia harus pergi ke kantor guru untuk mengumpulkan tugas dan berakhir pada jaring laba-laba --ceramah panjang kali lebar sama dengan luas--
Nata tak tidur di jam pelajaran selanjutnya, ulangan harianlah yang menjadi alasan kuatnya untuk belajar sebelum tes dilaksanakan. Istirahat kedua, Nata harus kembali merampungkan tugasnya. Setelah selesai? lima menit sebelum bel masuk akan berbunyi. Dari pada mendapat poin karena terlambat masuk kelas, Nata memilih mengesampingkan urusan perutnya.
Untuk itu, inilah kesempatan emasnya. Kalau tidak sekarang, mau makan kapan lagi?
"Lanata Calya!" Seseorang menyeru padanya. Suaranya pernah ia dengan sebelumnya. Nata menghentikan langkahnya. Menoleh tepat ke arah perempuan tua berkonde kecil dengan polesan lipstik merah muda yang mencolok, dan satu lagi, satu pria seusia dengannya yang kokoh berdiri dengan tentengan beberapa lukisan.
"Guru seni?" Nata menyipit. Kali ini langkahnya berbalik untuk mendekat.
"Kamu bantuiin Rama bisa, ya?" tanyanya dengan lembut.
--Ah, sialan! Harus melewatkan jam makan siang lagi?
Mata Nata membulat, bantuin berandalan itu? Dengan kata lain, Nata harus kehilangan kesempatan makan siangnya untuk kesekian kalinya. Ahh, merepotkan saja.
"B-bisa, Bu." Nata melirik Rama. Remaja jangkung yang hanya berdiri beku bak bodyguard itu hanya mengangkat satu sisi bahunya kemudian membuang pandangannya jauh ke samping. Enggan melakukan kontak mata dengan Nata. Toh juga ia tak mau wajahnya yang masih penuh dengan luka sisa kemarin malam dilihat oleh gadis satu ini.
"Ini kuncinya. Ikutin Rama aja, dia tau tempatnya, kok. Makasih Nata."
Nata hanya mengangguk ringan. Tubuh mungilnya itu membungkuk pelan mengiringi kepergian wanita setengah baya yang dengan santainya melenggang pergi setelah mencuri waktu berharga milik Nata --Waktu makan siang satu-satunya yang ia miliki--
"Kamu jalan duluan," ucapnya malas. Entah perasaan macam apa ini, setiap Nata bertemu Rama, selalu saja dalam keadaan tak mengenakkan dengan perasaan yang tak mengenakkan pula.
"Tinggal lurus. Lo duluan."
Malas berdebat di bawah gelapnya awan mendung, Nata hanya menurut dan mulai berjalan. Sesekali melirik ke belakang, takut-takut kalau berandalan tampan itu akan meninggalkannya bersama lukisan yang ia bawa itu.
"Ngomong-ngomong ... tumben guru seni nyuruh kamu begini." Nata menyela keheningan di antara keduanya. Derap langkah yang tadinya menjadi melodi pengiring utama, kini mulai tersela.
"Apanya yang tumben? Gue dihukumi itu bukan kata tumben," ucapnya menyahut. Nata mulai hapal dengan suara Rama. Berat dan dalam, setiap kata yang diucapkan seakan-akan punya penekanan sendiri. Ia benar-benar remaja puber yang unik.
"Dihukum? Karena gak masuk kelas seni?" tanyanya lagi. Sesekali melirik ke belakang, memastikan bahwa orang yang diajak berbicara masih di sana.
"Hm, dan juga karena wajah gue."
Nata menoleh. Sejenak ia menatap ke arah Rama yang baru saja kembali memandang dirinya. Dalam sepersekian detik berjalan, keduanya bertemu dalam satu titik. Sebelum akhirnya Nata kembali menatap lurus ke depan dan Rama lagi-lagi membuang pandangannya.
Canggung benar!
"Ngomong-ngomong kenapa wajah kamu bisa babak belur? Kamu tawuran?"
Tawuran? Akan lebih melegakan jika Rama mendapatkan luka ini sebab menyerang salah satu teman sebaya. Ia bisa berbicara dengan sedikit bangga dan percaya diri. Namun, faktanya tidak begitu. Luka ini ada sebab ayahnya memukuli Rama habis-habisan kemarin.
"Bisa jalan cepet, ga? Keburu hujan nih!" Rama membentak ringan. Mengalihkan topik pembicaraan mereka. Sedangkan Nata hanya diam tak berucap. Ia bungkam lagi! Malas rasanya berbicara dengan orang tak punya sopan-santun seperti itu.
--Dan yang membuat Nata kesal lagi, Bagaimana bisa orang ramah nan suci hatinya seperti Alby itu adalah saudara berandalan ini? Itulah yang dinamakan kejutan takdir. Bukannya dapat lucunya kejutan, tapi malah dapet keselnya.
"Belok kiri." Rama mendahului tepat di belokan lorong yang jauh dari gedung utama. Nata menuatkan alisnya samar. Ternyata sebesar ini sekolah barunya. Ruangan-ruangan tersembunyi dan gudang-gudang yang sudah tak terawat bangunannya. Yang ia herankan, mengapa galeri seni berada di antara tempat-tempat seperti ini? Mungkinkah karena karya seni hasil pemikiran siswa di sini tidak dihargai wujudnya?
"Buka pintunya," lanjut Rama singkat. Tangan gadis itu mengulurkan kunci perak dan memasukkannya di lubang kunci. Memutarnya beberapa kali dan bunyi tanda pintu sudah lepas dari kunci berbunyi. Nata mendorong pintu kayu yang sudah usang warnanya itu. Dalam bayangannya, ruangan kotor, banyak debu, tak terawat, berantakan, cat dan kanvas yang mengering belum di bersihkan. Sungguh rumah hantu yang menjijikan. Namun, ia ditampar oleh fakta yang ada. Ruangan ini benar-benar layak disebut sebagai galeri seni.
"Masuk. Bantuin, Nata!" Rama mendorong punggung gadis itu. Satu hentakan setelah melewati ambang pintu. Betapa terkejutnya Nata. Ini surga. Surga seni. Ruangan yang lebih luas dari dugaannya. Cat putih bersih yang mendominasi ruangan. Gantungan lukisan indah sebagai penghias. Tumpukan cat dan kanvas yang rapi posisinya. Bau harum semerbak di lubang hidungnya--aroma lavender.
"Gila," Nata terpanjat. Baru kali ini ia merasa berdosa dengan menghina tempat seindah ini. Kalau ia bisa membangun ruangan kamarnya sendiri lagi, ia ingin menjadikan ruangan ini sebagai refrensi design kamarnya nanti.
"Ngapain bengong, bantuin." Rama kembali membuyarkan lamunan gadis itu. Membuat fokus Nata dipaksa kembali untuk mengarah padanya. Ah, benar juga. Ia harus membantu Rama di sini. Cepat selesai, maka ia akan bisa makan siang dengan cepat pula.
"Ini taroh sana," lagi-lagi ia mengatur. Sedang Nata yang masih tak percaya dengan ruangan yang mencuri hatinya itu, hanya diam dan menurut saja.
--sudah mirip babunya Rama.
Sorot mata Nata mengarah ke satu obyek yang menarik untuk ia tatap lebih lama --lukisan wajah seorang gadis muda. Ia cantik, matanya bulat, hidungnya lumayan menarik, bibirnya merah muda mengkilap, satu tahi lalat menempel indah di mata salah satu sudut matanya. Ia tersenyum manis. Rambut coklat bergelombang jadi mahkota kepalanya.
Nata berjalan mendekat. Terus mengamati lukisan indah nan sempurna di depannya itu. "Cantik banget," erangnya pelan. Matanya menyusuri setiap bagian lukisan. Hingga ia menemukan satu tulisan kecil di sudutnya --Rama A.--
Rama? Rama Aksa Mengantara?
Nata menoleh pada pria yang masih sibuk menata lukisan yang ia bawa. Rama? Itu milik Rama?
--Terataiku, Malaikatku--
Kali ini Nata tertawa kecil. "Pernah alay juga tu cowok."
... To be Continued ...