Chereads / 100 Persen Itu Sempurna / Chapter 9 - 9. Asmaraloka : Aksa

Chapter 9 - 9. Asmaraloka : Aksa

Sorot mata gadis berbibir merah muda tipis sedikit pucat itu tak henti-hentinya bergerak untuk memilah sosok yang ia cari keberadaannya. Kalau beruntung ya, Dila. Kalau lagi apes, okelah si Arum.

Nata menyandarkan tubuhnya di pohon besar sisi kantin. Bibirnya yang mendesah ringan tak lelahnya untuk mengerutu juga mengumpat kecil untuk dirinya. Harusnya ia mau saja untuk ikut Dila ataupun Arum. Kalau sudah berdesakan begitu, serius masih mau nafsu makan?

Tubuh Nata sudah krempeng, kecil, mungil, pendek pula. Ia tak ingin membahayakan nyawanya nantinya. Tak lucu 'kan, kalau berita yang tertulis di koran mingguan memunculkan nama dan fotonya dengan tema kematian akibat kekurangan oksigen saat berdesakan di kantin sekolah. Nyawanya seharga dengan semangkok mie ayam dan es teh tambah satu kerupuk.

"Aduh!" Nata membelalakkan matanya. Dilihatnya seorang pria yang hampir saja tersungkur ke depan karena tersandung kakinya.

"Lo!" Ia menyipit. Mengerutkan keningnya sembari menunjuk jelas Nata yang hanya mematung diam di tempatnya.

Mampus! Si Rama!

"Lo lagi! Sialan banget, sih," lanjutnya mencoba mengabaikan ekspresi kaget milik Nata.

"Mampus, brandalan ini lagi." Batinnya mulai bergelut. Namun, Nata tak mau menghiraukan remaja jangkung ini. Ia hanya memasang wajah kecut dan tubuh Nata dengan cepat berbalik, berlalu meninggalkan Rama di sana.

"Lo, ga minta maaf sama gue?" Rama menarik kasar lengan Nata. Membawa tubuh ramping gadis itu jatuh tepat di depan tubuhnya. Rama menatapnya sejenak. Memandangi hidung lancip dan sepasang lensa hitam yang teduh sorotannya.

"Sorry," ucapanya memelan, sedikit gagap sebab ia tak tahu kalau Rama akan seberani ini di depan umum. Di lingkungan sekolah pula!

"Lo cantik juga ...." Rama tersenyum seringai. Jarak pandangan yang intim, bahkan Nata bisa merasakan embusan napas remaja jangkung itu yang lembut membelai permukaan wajah cantiknya.

Mendengar hal itu, sesegera mungkin Nata menjauhkan tubuhnya agar tak terlalu intim dengan brandalan satu itu. Malu, sungguh. Ia malu dengan pandangan mata yang mulai tertuju padanya. Jika Rama melakukan itu hanya sebab ingin mengerjai Nata dan membuatnya malu, maka Rama sudah sukses melakukannya.

Rama memang brandalan. Ia badboy-nya sekolah. Suka bolos, kadang liar, juga bermulut kasar. Tak punya sopan santun dan etika. Tata bahasanya juga acak adul. Gayanya bisa dibilang -alakadarnya- bukan dalam artian ia berandal bodoh yang datang ke sekolah dengan baju lusuh bekas jejakan kaki karena tawuran antar pelajar. Akan tetapi, Ia masih bisa dibilang rapi, kok. Meskipun kadang kayak gembel elit juga.

••• 100 Persen Itu Sempurna •••

Tak bertemu Dila juga Arum apesnya, Nata malah bertemu berandalan yang sukses membuat irama jantungnya tak karuan detaknya. Bukan apa-apa, tangan dingin sedingin sikap pemiliknya itu kasar menarik tubuhnya dan membuat jarak intim tercipta di antara mereka --di depan umum pula. Ia hanya takut, meskipun Rama brandalan yang tak tertarik gadis manapun --begitu cerita yang sering digosipkan Dila padanya, tidak menutup kemungkinan gadis-gadis seusinya tak tertarik dengan ketampanan Rama. Ia hanya khawatir, jika tiba-tiba satu tangan kasar menarik rambutnya dan mendorongnya hempas di atas tanah.

Melabrak sebab Nata sudah dianggap menggoda Rama siang ini.

"Kemana aja kamu? Aku nyariin juga." Satu tepukan kasar mendarat tepat di bahu Nata. Ia menoleh. Menatap siapa yang baru saja dengan kurang ajarnya sok akrab padanya begini.

"Kamu ada urusan apa sih sama Rama? Kok kayaknya dia benci banget lihat kamu?" Dila melanjutkan.

"Aku juga ga suka kok sama dia, brandal," jawab Nata malas. Kembali memfokuskan matanya pada runtutan kata indah penyusun kalimat dalam novel kesanyangannya.

"Ga suka? Dia 'kan ganteng." Dila mengawang. Tersenyum picik kala Nata hanya menautkan kedua alis hitamnya. "Siapa yang gak suka sama cowok ganteng, huh?" imbuhnya menggoda sembari mencubit ringan pipi gadis yang ada di sisinya itu.

Dari sekian banyak kesialan yang ia dapatkan dari hari pertamanya masuk ke sekolah, Nata masih bersyukur sebab Tuhan memberikan teman pertama yang paham benar prinsip anak introvert --kalau tidak diajak berbicara dulu, maka anak-anak introvert akan berubah menjadi orang bisu yang tak mampu merangkai kata-kata.

"Gantengan juga Lee Min Ho," elaknya tertawa ringan. "Udah ganteng, kaya, pinter, berbakat lagi."

"Kalau Alby?"

"Alby? Alby Aditya?"

Bibir Nata terkatup saat nama remaja aneh yang kemarin senja menabraknya dan meninggalkan bekas lecet di lutut indahnya. Kenapa tiba-tiba Alby? Ah, Alby lumayan tampan juga sih. Dila pasti menyukai salah satu dari mereka. Kalau engga si brandal, Rama. Ya, si aneh, Alby.

"Alby, kenapa?" tanya Nata sembari mengerutkan dahinya.

"Tadi ketemuan 'kan? Di depan kelas? Kamu kenal Alby?" Lagi, Dila mencoba untuk menggoda gadis yang ada di sisinya itu. Sekarang Dila punya hobi dan kebiasaan baru. Melihat wajah Nata yang bingung dengan semburat kemerahan di kedua pipinya. Gadis ini tak bisa mengelak lagi, pasti ada sesuatu yang sedang bergejolak di dalam hatinya.

"Nanti ada kelas pengembangan 'kan? Aku mau ketemu BK dulu. Mau tanya sesuatu. Bye." Nata beranjak dari kursinya. Gadis itu memaksa pembicaraan berhenti sampai di sini. Semakin banyak berucap, maka Nata juga akan semakin terpojok. Ia tak pandai berdebat dengan orang lain.

Ia memutuskan untuk meninggalkan Dila yang masih memasang wajah dengan ekspresi anehnya itu. Nata memang ingin berteman dengan gadis itu. Setidaknya saat lulus nanti, ada orang yang bisa ia hubungi sebagai -sahabat pena-. Akan tetapi, tetap saja. Nata tak suka dicampuri urusannya oleh orang luar. Ia tak suka berbicara banyak kecuali tentang lavendernya di rumah. Untuk itu, daripada harus mengoceh tak berguna tentang Rama juga Alby pada Dila, Nata lebih memilih untuk pergi dan menjauh dari gadis itu sejenak saja.

••• 100 Persen itu Sempurna Vol 01 •••

Nata berjalan ringan, menyusuri rerumputan yang menjadi alas pijakannya sekarang. Ia meninggalkan Dila yang mungkin saja masih kokoh di tempatnya, toh juga, jam istirahat belum usai. Masih ada beberapa menit untuk menuntaskan semua keasyikan ini sebelum kembali dipaksa untuk fokus dan memberikan konsentrasi penuh pada apapun yang diberikan.

Untuk siang ini, baru separuh hari saja, Nata sudah merasa aneh dengan dirinya. Selalu saja, Rama yang memicu perhatiannya. Bukan dalam artian posisi, Nata merasa sedikit terganggu dengan apa yang terjadi padanya sekarang. Rama membuat perasannya tak nyaman.

Bahkan ini adalah pertemuan di hari keduanya. Perasaan Nata mulai tak tetap begitu. Seakan-akan ada gelombang besar yang mendiami hatinya sekarang. Semuanya hanya sebab Rama Aksa Mengantara. Remaja itu ... ah, menyebalkan!

... To be Continued ...