Semilir angin terasa menusuk kulit. Matahari masih malu-malu menampakan sinarnya. Burung-burung berkicau riang, semuanya lengkap untuk menggambarkan keindahan pagi hari di Desa Cikajang.
Suasana rumah berdesain dominan kayu yang ditempati oleh Claretta dan kawan-kawannya telah terasa ramai. Mereka sudah terbangun sejak matahari belum muncul. Mengikuti Pak Ujang yang selalu bangun subuh untuk melaksanakan salat.
Sekarang mereka sedang berkumpul di ruang tengah yang juga ruang tamu. Duduk di sebuah tikar anyaman berhadapan dengan secangkir teh hangat dan makanan ringan khas pedesaan. Seperti keripik singkong dan kukus ubi yang disediakan oleh istri Pak Ujang.
"Jadi, sebetulnya ke manakah tujuan kalian, Nak?" tanya Pak Ujang penasaran.
Pasalnya sudah lama tak ada pendaki yang mengunjungi desa itu. Desas-desus buruk soal Gunung Cikuray telah menyebar luas di kalangan pendaki yang biasa mendaki.
Orang hilang pun tak dapat ditemukan bahkan oleh tim SAR sekalipun. Warga juga kerap kali membantu tapi tetap tak berhasil.
"Begini, Pak. Maksud kedatangan kami ke desa ini untuk berlibur di Gunung Cikuray yang ada di desa ini," tutur Haiden menjelaskan.
"Oh, iya. Dulu juga sering ada pengunjung yang mau ke sana, tapi sudah lama tidak ada pendaki sejak ada kejadian siaga gunung merapi akan meletus sekitar lima tahun yang lalu," tutur Pak Ujang menjelaskan.
"Apa hanya karena itu, Pak. Jadi, tidak ada lagi yang berkunjung lagi ke sana? Bukankah pada kenyataannya gunung tersebut tidak meletus," tanya Wilder penasaran.
"Sebenarnya ada. Tapi, sejak saat itu setiap orang yang hendak pergi ke puncak gunung pasti hilang dan tak pernah kembali, hingga saat ini. Bahkan sekarang gunung tersebut ditutup untuk pengunjung dan warga sini. Jadi, sebaiknya kalian urungkan niat untuk berkunjung ke sana," tutur pak Ujang yang khawatir pada enam anak muda di hadapannya.
Claretta dan kawan-kawannya terdiam mendengar penuturan Pak Ujang.
"Ahh ... kalau begitu, lebih baik kita minum dulu tehnya biar enggak panik," celetuk Wilder mencairkan suasana yang mulai tegang dan disambut baik oleh yang lainnya.
Mereka lalu mulai membicarakan hal-hal lain seputar desa tersebut.
"Hmm ... tehnya harum sekali, Pak, saya baru mencoba teh seperti ini," ujar Stevi saat menyeruput teh khas daerah Cikajang tersebut.
Pak Ujang tersenyum mendengar pujian dari Mojang Bandung tersebut.
"Ini memang teh asli daerah sini, khas dari wangi dan rasanya," ucap Pak Ujang memuji teh asli daerah Cikajang.
"Tehnya memang sangat enak. Tapi, Pak, kenapa saya tak pernah melihatnya di pasaran, ya? Padahal ibu saya penikmat teh," tutur Eisha yang jarang bicara.
"Tentu, tidak akan ada di pasaran karena kami tidak memproduksi teh terlalu banyak jadi hanya untuk konsumsi warga sini saja. Kalau dulu, orang-orang yang mengunjungi Gunung Cikuray sering ada yang bawa pulang tehnya tapi sekarang sudah lama tidak ada," tutur Pak Ujang dengan mata menerawang mengingat masa lalu.
"Hmm ... Pak sepertinya ada wangi pisang goreng," celetuk Wilder saat yang lain sedang memerhatikan pak Farid.
"Huuh ... dasar kau Wilder! Makanan saja yang ada dalam otakmu," ucap Stevi menimpali.
Seketika semuanya pun menyoraki Wilder dan kemudian tertawa bersama.
"Stevi jangan mengejekku, aku tahu cacing dalam perutmu itu tak bisa berbohong. Kalau goreng pisang ini pasti enak, hmm," tutur Wilder sambil memeragakan seolah ia sedang mencium wangi pisang tersebut dari dekat.
Ketika sedang bercanda, tiba-tiba datang istri pak Ujang yaitu Bu Neneng dengan membawa sepiring pisang goreng di atas nampan.
"Wah ... ini dia! Ibu pengertian sekali pada saya," ucap Wilder dengan sangat bersemangat.
Ibu Neneng tersenyum melihat prilaku anak muda di hadapannya, lalu menaruh pisang goreng tersebut di tengah-tengah mereka. Setelah menaruh pisang tersebut Bu Neneng hendak kembali ke dapur.
"Bu, di sini saja ikut makan bersama kami," ucap Eisha pada Bu Neneng.
"Ah, tidak silakan saja kalian makan. Ibu masih ada pekerjaan di dapur," ujar Bu Neneng.
"Kalau begitu, boleh saya ikut Ibu ke dapur?" tanya Eisha.
"Jangan, Nak, nanti kamu kotor. Di dapur kompornya juga tidak pakai gas, tapi pakai tungku" jelas Bu Neneng mencegah Eisha untuk ikut membantunya di dapur.
"Tak apa, Bu, boleh ya, saya ikut. Di Bandung saya juga suka, kok, bantuin ibu saya di dapur." Eisha kekeuh.
"Kalau begitu, silakan. Ayo, kita ke dapur," ucap Bu Neneng sambil tersenyum simpul.
Bu Neneng kemudian kembali ke dapur diikuti oleh Eisha Azera sang Mojang Bandung.
Sementara itu tinggalah lima orang di ruang tamu tersebut bersama Pak Ujang.
"Silakan, dicicipi pisang gorengnya. Ini pisang madu asli daerah sini," ujar Pak Ujang memersilakan untuk memakan pisang goreng yang telah tersaji di hadapan mereka.
Satu persatu dari mereka mulai mengambil pisang goreng tersebut dan memuji rasanya yang sangat enak.
"Ini pisang goreng yang luar biasa enak, Pak!" ujar Wilder memuji pisang goreng yang ia cicipi.
Setelah selesai menikmati teh dan pisang goreng. Hari masih sangat pagi, udara masih terasa dingin menusuk kulit.
"Sepertinya enak kalau jalan-jalan di sekitar sini," ucap Matteo yang matanya menatap ke arah jendela depan rumah.
"Ide bagus, Teo," ucap Stevi seketika, yang membuat Matteo tersenyum simpul.
Sebenarnya ia ingin sekali direspon oleh Claretta, Entah mengapa di mata Matteo, gadis itu begitu menarik. Sikap dingin dan wajahnya juga cantik.
Mereka lalu berpamitan untuk jalan-jalan di sekitar desa Cikajang, kecuali Stevi Agavia yang ingin membantu Bu Neneng di dapur.
Suasana pedesaan terasa sangat kental. Perpaduan antara warga yang ramah tamah disertai suasana kekeluargaan meski tak ada ikatan darah. Menciptakan keindahan dan kenyamanan tersendiri yang tak dapat digambarkan dengan untaian kata.
Pagi-pagi begini warga desa sudah mulai keluar rumah untuk pergi ke ladang ataupun ke kebun teh. Sehingga mereka berpapasan dengan anak-anak kota yang sedang jalan-jalan tersebut.
Itulah yang dirasakan Claretta dan kawan-kawannya saat berada di desa Cikajang itu. Setiap mereka bertemu dengan warga sini pasti disapa dengan ramah.
Membuat mereka betah berlama-lama disini apalagi hamparan ladang dan kebun teh, yang terlihat terawat dan subur membuat pemandangan disini begitu indah.
Ketika sedang asik berjalan-jalan sambil menikmati alam. Tiba-tiba mereka melihat sekerumunan anak kecil yang sedang asik berkumpul disertai tawa riang khas anak-anak di antara perkebunan tersebut.
Kemudian tanpa dikomando mereka pun segera menghampiri anak-anak tersebut. Setelah berada di antara mereka, Claretta dan yang lainnya memerhatikan apa yang sedang dilakukan para anak-anak usia sekolah dasar tersebut.
"Apa yang sedang kalian lakukan sepagi ini?" tanya Haiden penasaran.
"Membuat perangkap, Kak," ucap salah seorang anak.
Mereka nampak sibuk mengikat potongan bambu yang sudah diiris tipis sekali. Dibentuk seperti prisma untuk menangkap ikan.