Neela istri Lucas terdiam. Ia harus bisa mengerti meskipun berat baginya untuk berpisah dari cucu kesayangannya itu.
"Jadi, kita besok harus pulang, ya?" tanya Claretta.
"Iya, Sayang," jawab Crish dengan berat hati.
"Tidak apa, Sayang. Liburan nanti, kan, kita masih bisa kesini lagi," tutur Allice pada putrinya itu.
Hingga tengah malam mereka masih berkumpul dan bertukar cerita. Sampai akhirnya mereka beranjak ke kamar masing-masing untuk beristirahat.
***
Kesokan harinya, ketika matahari masih malu-malu untuk keluar dari peraduan. Crish dan keluarga kecilnya telah bersiap-siap untuk kembali ke Indonesia. Semua barang telah dimasukan ke dalam koper-koper besar.
Setelah semua selesai, mereka berpamitan kepada Lucas dan Neela. Membawa barang-barang untuk disimpan di bagasi mobil. Mereka akan diantar ke bandara internasional oleh Lucas. Mereka memang tak mempekerjakan supir pribadi. Hanya ada satu asisten rumah tangga sekaligus teman ngobrol untuk Neela.
Crish menggunakan jam penerbangan yang paling pagi hari itu, sehingga mereka bergegas ke bandara.
Meskipun berangkat sangat pagi sekali, namun Crish sampai di Indonesia tengah malam. Ini karena perbedaan waktu yang sangat signifikan antara Swiss dan Indonesia, yaitu enam jam.
Tak ingin membuang waktu, setibanya di bandara, Crish bergegas mengambil barang-barang mereka. Kemudian, menuju ke mobil yang telah menunggu sejak setengah jam yang lalu.
Di bandara Soekarno-Hatta, mereka dijemput oleh supir dengan mobil BMW berwarna hitam metalix miliknya.
"Pak, ke rumah dulu. Terus lanjut ke kantor, ya," ucap Lucas setelah memasuki mobil.
Raden mengangguk. "Siap, Pak."
Perjalanan pun dilanjutkan menuju kediaman mereka. Di daerah Pondok Hijau Bandung. Mobil melaju tenang di jalanan yang lengang.
Setelah sampai di depan sebuah rumah yang sangat besar, mobil berhenti. Allice turun sambil menggendong Claretta yang tertidur pulas di pangkuannya. Sementara Crish tidak ikut turun, ia melanjutkan perjalanannya menuju kantor intelegent nasional.
"Hati-hati, Sayang," ucap Allice yang sudah berada di samping mobil dan hendak masuk ke rumahnya.
"Iya, pasti, Sayang." Crish mengangguk.
Mobil kembali melaju. Tanpa memikirkan lelah yang mendera tubuh mereka. Crish dan Raden menyusuri jalanan dengan mobil mewah itu.
****
Setahun berlalu sejak kembalinya Claretta dari Geneva.
"Mom, kenapa kita belum liburan lagi ke Geneva? Bukankah dulu janji akan secepatnya liburan ke sana," tanya Claretta pada ibunya yang tengah menyiapkan sarapan di dapur.
Dapur bergaya minimalis dengan kitchen set berwarna cokelat tua. Berpadu dengan dinding berwarna krem, desain yang sangat elegan untuk dapur yang cukup luas ini.
Claretta yang tengah duduk di kursi tinggi di hadapan mini bar dapur itu terdiam, menanti jawaban ibunya.
Allice menarik nafas panjang, seperti ada hal berat yang ia ingin ungkapkan pada putrinya tersebut.
"Sayang, maafkan mommy. Ada hal yang terjadi di Geneva, pertentangan ras putih dan ras hitam kembali terjadi, sehingga tidak aman kalau kita ke sana," tutur Allice pada putri kecilnya.
"Apa itu memakan korban, Mom?" tanya Claretta yang berusaha mencerna apa yang ibunya katakan.
Di usia yang masih terbilang anak-anak, Claretta nampak lebih dewasa dari umurnya. Pemikirannya sangat kritis dan tutur katanya pun fasih.
"Ya, begitulah," jawab ibunya singkat.
"Lalu, bagaimana dengan Kak Brixton, Mom? Apa dia baik- baik saja?" tanya Claretta khawatir pada orang yang telah ia anggap sebagai kakaknya sendiri itu.
"Tenanglah, Nak. Brixton baik- baik saja tapi orang tuanya meninggal, karena menjadi korban. Ia sekarang dirawat oleh pamannya." Allice mencoba menenangkan putrinya.
"Syukurlah, kalau begitu," ucap Bellona lega setelah mendengar penuturan ibunya.
"Jadi, kapan kita dapat ke sana lagi, Mom?" tanya Claretta.
"Entahlah, Sayang. Mungkin tunggu hingga keadaan aman. Kita hanya bisa mendoakan agar semuanya bisa kembali seperti semula," jawab Allice sendu.
Setelah itu, Claretta kecil tenggelam dalam pikirannya.
********"
"Kita berlomba sampai ke ujung," ucap Claretta dengan senyuman bahagia yang jarang ia perlihatkan.
Usianya kini telah dua puluh tahun. Gadis kecil itu telah menjelma menjadi gadis cantik yang memesona.
Lawan bicaranya tersenyum memerhatikan Claretta yang telah ia anggap adiknya.
Mereka duduk di sisi kolam renang belakang rumah Crish dan dan Allice, orang tua Claretta.
"Baik," ucap Brixton yang menyambut ajakan Claretta.
Seketika, mereka berenang secepat mungkin menuju sisi kolam yang lain.
"Aku menang!" seru Claretta gembira ketika ia sampai lebih dulu di tepi, tak lama kemudian Brixton pun sampai.
"Lama tak bertemu, kau jadi lebih hebat rupanya." Puji Brixton dengan napas yang sedikit terengah-engah.
Mereka lalu tertawa bersama, berbincang hangat layaknya kakak beradik yang telah lama tak bertemu.
"Retta, aku harus pergi," ucap Brixton tiba-tiba, dengan senyum tipis di bibirnya.
"Ke mana? Kumohon tetaplah disini, Kak," nada suara Claretta penuh harap dan matanya berkaca-kaca.
Ia tak rela jika harus berpisah lagi dengan kakak kesayangannya itu.
"Maafkan aku," ucap Brixton pelan. Lalu, pergi meninggalkan gadis cantik yang ia anggap adik.
Claretta terpaku sendiri di tepi kolam renang. Ia seakan terkunci dan tak bisa mengejar langkah Brixton yang berjalan mundur dan perlahan.
"Kak Brix ...! Kembali ...!" teriak Claretta frustasi.
****
Saat itu pula Claretta melihat sekelilingnya dan tak ada siapapun di sampingnya. Suasana sepi menyergap, ruangan yang luas dengan tempat tidur king size itu semakin terasa sunyi.
Kamar tidur yang didominasi warna cokelat ini sangat luas. Hanya terdapat satu tempat tidur king size, satu lemari dan barang lainnya yang tertata sangat rapi.
Hanya mimpi.
Entahlah akhir-akhir ini Claretta sering memimpikan Brixton. Orang yang telah ia anggap kakaknya sendiri.
Sejak kejadian perang antara ras putih dan hitam di Geneva. Claretta tak pernah lagi bisa menghubungi Brixton. Ia sudah berusaha melupakan orang yang ia anggap kakak itu, tapi tetap tidak bisa.
Hubungan mereka dulu terlalu dekat bahkan sangat dekat. Bahkan kini kondisi nya diperparah dengan mimpi yang sering menghampiri tidurnya.
Claretta melirik nakas yang ada di samping tempat tidurnya. Tangannya menjulur hendak mematikan lampu tidur yang menyala semalaman. Matanya melihat bingkai foto berwarna cokelat tua.
Foto dua orang anak kecil sedang memakan ice cream di depan Cafe Central Perk di Geneva. Dua anak kecil itu tampak sangat bahagia. Mereka adalah dirinya dan Brixton.
Dulu, mereka sering ke cafe unik itu bersama. Jaraknya yang tidak jauh dari rumah Brixton dan suasananya yang sangat unik. Kafe tersebut sering digunakan sebagai tempat kumpul para aktris di film Friends diantaranya Ross, Chander Joey dan Monica Rachel.
Sekilas Claretta teringat potongan kenangan masa lalunya dan memberikan rasa hangat dan sesak yang bercampur di dadanya.
Tak ingin berlarut dengan pikirannya, ia lalu segera turun dari tempat tidurnya. Melangkah menuju kamar mandi yang ada dalam kamarnya.
Kini gadis cantik itu sedang berdiri di depan cermin. Melihat penampilannya sendiri, wajahnya sangat cantik dengan mata cokelat terang, hidung mancung dan bibir tipis.
Hari ini ia memakai kaus putih polos dengan luaran blezer hitam yang melekat pas di tubuhnya.
Setelah semua dirasa telah selesai, Claretta segera menyambar tas ransel hitam. Kemudian keluar dari kamar menuju lantai bawah, kamarnya berada di lantai dua.