Di ruang televisi, tepatnya di atas sofa nampak Crish sedang sibuk membaca koran hari ini.
"Dad, aku pergi!" ucap Claretta berpamitan untuk ke kampusnya.
"Okay, Sayang. Hati-hati, ya," jawab Crish lalu kembali hanyut dalam bacaannya.
Claretta lalu melenggang keluar. Ternyata di halaman rumah ada Allice, ibunya yang sedang menyiram bunga kesukaannya.
"Mom, aku pergi," ucap Claretta singkat.
"Retta, tidak sarapan dulu, Sayang?" tanya Allice pada putrinya itu.
"Emm ... nanti saja, Mom," jawab Claretta sambil berlalu meninggalkan ibunya dan melangkah cepat menuju motor ninja putihnya.
****
Suasana universitas telah ramai dengan para mahasiswa. Universitas yang mendapat tempat nomor satu di kota Bandung ini nampak luas dan terawat. Universitas Padjadjaran atau sering disebut Unpad.
Claretta memarkirkan motornya, lalu melenggang pergi ke kelasnya yang berada di lantai dua. Di dalam hanya ada empat orang sahabatnya yang sedang asyik mengobrol.
Mereka adalah Haiden Abercio, Wilder Farkashi, Eisha Azera, dan Stevi Agafia.
Claretta duduk di hadapan mereka, tatapannya dingin seakan tak bergairah. Menopang dagu dengan sebelah tangannya.
"Ada apa denganmu, kawan?" tanya Haiden yang menyadari wajah Claretta yang sangat murung.
Meskipun pada hari-hari biasa pun Claretta jarang tersenyum.
"Tidak apa," jawab Claretta singkat. Pikirannya masih terfokus pada Brixton dalam mimpinya.
Mereka lalu melanjutkan obrolan tanpa arah mereka, sekedar untuk menghapus jenuh. Minggu ini jadwal belajar sudah tidak efektif, mereka akan libur panjang minggu depan.
Hari telah mulai siang, sisa sarapan telah habis terserap tubuh dan kini perut mulai meminta jatah makananya. Karena dorongan itulah Claretta dan kawan-kawannya memutuskan untuk pergi ke kantin.
Setelah duduk, mereka lalu memesan makanan yang diinginkan. Hari ini Claretta memilih mie ayam sebagai menunya.
"Hai, bolehkah aku ikut bergabung?" tanya seorang pria dengan membawa makanan di tangannya. Ketika mereka sedang asyik mengobrol sambil makan siang.
Mereka menatap pria itu dengan terpukau, kecuali Claretta. Ia bahkan melirik pun tidak dan nampak sibuk dengan makanannya.
Pria itu sangat tampan dengan mata cokelat pekat, hidung mancung juga bibir tipis. Kulitnya yang putih berpadu dengan rambut cokelatnya menjadi satu kesatuan yang sempurna.
"Silakan," jawab Eisha cepat setelah tersadar dari terpukau.
Pria tersebut duduk tepat di hadapan Claretta.
"Sepertinya, kami belum pernah melihatmu?" tanya Haiden heran.
"Tentu saja belum, perkenalkan saya Matteo. Baru akan kuliah disini mulai semester yang akan datang," tutur Matteo memperkenalkan diri.
Disambut oleh perkenalan teman- teman Claretta. Matteo lalu melihat gadis yang dari tadi tidak melihatnya sama sekali, apalagi memperkenalkan diri.
"Hey, apa kau tidak akan memperkenalkan dirimu?" tanya Matteo heran, baru kali ini ada gadis yang tidak tertarik padanya.
Mendengar ucapan itu, Claretta meliriknya.
"Haruskah? Retta," jawab Claretta yang sukses membuat Matteo kaget dengan sikapnya.
"Maaf Matteo, susana hati teman kami ini sedang tidak baik," ujar Stevi.
Matteo lalu tersenyum pada mereka.
"Tak masalah," ucapnya singkat.
Tak perlu waktu lama Matteo telah akrab dengan teman-teman barunya. Mereka berbincang hingga akhirnya tiba pada tema liburan.
"Ngomong-ngomong, kita akan liburan kemana?" tanya Haiden membuka percakapan.
"Bagaimana kalau ke pantai?" usul Eisha.
"Liburan semester lalu kita, kan, ke pantai, Sha," timpal Stevi.
"Iya, aku kan hanya usul Vi ...," ucap Eisha.
"Wah, seru tuh!" ucap Matteo.
"Tentu saja, Matteo, bahkan sangat menyenangkan," tandas Wider.
"Bagaimana kalau hiking, sepertinya menyenangkan ada di puncak gunung," tutur Claretta yang sedari tadi tidak bersuara.
"Ide yang bagus," sahut Wilder yang langsung disetujui oleh teman-temannya.
Matahari telah merangkak naik dan tidak ada tanda-tanda akan masuk kelas.
"Bagaimana kalau sore ini kita ke rumahku?" Ajak Wilder.
"Oke!" sahut semuanya kecuali Matteo, ia hanya terenyum manis.
"Kenapa, Teo?" tanya Wilder.
"Tidak apa-apa. Bolehkah aku ikut bersama kalian?" tanya Matteo.
"Tentu saja. Kenapa tidak?" tanya Wilder heran.
"Aku takut mengganggu kalian," jawab Matteo.
"Kau teman kami juga, Teo," ucap Eisha lembut.
Mereka lalu bubar ke rumah masing-masing.
****
Sore hari nampak cerah, matahari juga sudah tak mengganas membakar kulit. Memberi kesempatan orang-orang yang sibuk beraktivitas untuk sekedar duduk santai menikmati sore hari.
Pukul empat sore motor dan mobil datang ke halaman rumah Wilder. Hampir bersamaan.
Rumah berarsitektur modern dengan didominasi kayu jati yang dipelitur. Nampak menampilkan kesan nyaman suasana alam.
Wilder menanti di ambang pintu, secara bersamaan lima orang sahabatnya menghampirinya.
Pakaian yang mereka kenakan nampak sangat santai. Rata-rata memakai t-shirt dan celana panjang.
"Ayo, masuk!" seru Wilder ketika teman-temannya berjalan ke teras rumahnya.
Mereka lalu masuk ke dalam, menuju taman belakang. Ketika melewati ruang tengah, di sana ada papa Wilder yaitu Om Andrew. Ia sedang asik menonton berita yang ditayangkan televisi.
Secara bergantian mereka menyalami Om Andrew, ia tersenyum ramah.
"Lihatlah itu, mereka menyalahkan pemburu lagi!" pekik Om Andrew dengan nada kesal, ketika mereka hendak pergi ke halaman belakang.
"Ada apa, Om?" tanya Haiden heran.
"Itu, lihatlah beritanya," jawab Om Andrew seraya jari telunjuknya mengarah ke televisi yang ditontonnya.
Mereka pun berhenti dan melihat berita apa yang membuat Om Andrew kesal.
'Dikabarkan populasi hewan di hutan semakin sedikit, diduga ini disebabkan oleh para pemburu' tutur sang pembawa acara.
"Padahal para pemburu mengikuti kode etik yang berlaku," gerutu Om Andrew yang memiliki hobi berburu jika berlibur.
Wilder memberi isyarat tangan pada teman-temannya untuk mengikutinya. Mereka lalu berjalan menuju halaman belakang.
Halaman yang cukup luas dengan kolam ikan dan sebuah gazebo. Terlihat asri karena dikelilingi tumbuhan yang ada dan terlihat indah dengan bunga-bunga kecil yang ditanam.
Mereka duduk bersama di gazebo tersebut.
"Ingin minum apa, Kawan?" tanya Wilder.
"Terserah, kau," jawab Stevi.
"Asal tidak kau racuni kami akan minum," timpal Haiden.
"Kalian, kan, tak akan tahu kalau aku racuni minuman kalian," ujar Wilder yang kemudian disambut tawa teman-temannya.
Tak lama kemudian Wilder kembali bersama asisten rumah tangga. Membawa nampan berisi enam gelas minuman segar dan beberapa jenis cemilan.
Mereka lalu membicarakan tentang rencana liburan.
"Jadi, kita kemana?" tanya Stevi.
"Gunung Tangkuban Perahu aja, bagaimana?"usul Matteo.
"Sepertinya terlalu biasa, Wilder, pinjam laptopmu," jawab Bellona.
Wilder lalu kembali masuk ke dalam untuk mengambil laptopnya.
Tak lama, ia pun kembali dengan sebuah laptop Asaz miliknya. Ia memberikannya kepada Claretta dan duduk kembali sambil menikmati minuman dan cemilan.
Ia membuka laptop tersebut mengetik beberapa kata kemudian menunjukan hasilnya pada yang lain.
"Lihat, ini gunung tertinggi ke-empat di Jawa Barat. Kelihatannya sangat indah, di sisi-sisinya hutan lebat tapi di puncak ada lautan awan," tutur Claretta menjelaskan kondisi gunung yang menurutnya menarik untuk didaki.
"Wah, indah sekali Bellona!" ujar Stevi yang berada di sisi gadis cantik itu.
"Pasti foto di lautan awan itu bakalan keren sekali." Haiden juga nampak antusias.