Jarum jam menunjukan angka 08.00. Sepagi itu, Katon Bagaskara hanya sibuk berkutat dengan beberapa dokumen di hadapannya.
Tumpukan kertas itu memakan masa tuanya. Kerja dan kerja yang ada dipikiran lelaki tua itu, masa depan Citra yang harus lebih cemerlang jadi alasan dimana beliau sering bekerja hingga melupakan matanya yang sudah seperti tumpukan roti lama.
Walau berada di rumah, beliau tetap produktif bekerja. Sesekali jari jemarinya menari di atas komputer, membuat plan A, B, dan Plan C untuk sebuah strategi pemasaran.
Sarapan yang tadinya disajikan hangat, sekarang sudah dingin membeku dan tak sedap lagi saking lamanya didiamkan.
"Bi 'Nah ...!" teriaknya sambil menaikan kacamata yang duduk di atas kedua sela hidungnya.
Mata rabunnya cukup terobati dengan kacamata berukuran tebal itu, tanpa barang itu, mana bisa ia bekerja, hanya lebih persis seperti burung hantu di siang bolong. Kaos oblong jadi kostum andalan kerja di rumah tanpa harus memakai rangkaian dasi dan blazer yang menggerahkannya.
"Bi 'Nah ...!" jeritnya kembali sambil menggedor meja kekuasaannya.
Berlari kecil sambil menggenggam lap tangan merah, Bi 'Nah pun segera menghampiri majikannya. Wajahnya kaku, dan kepala menunduk malu.
"Ia, Tuan?"
"Bi 'Nah, bagaimana aku bisa makan? kalau roti pada sandwich itu keras dan dingin."
Tangannya menekan roti dengan jempol dan jari telunjuknya hingga terpental membuka kembali.
"A--anu tuan, tadi ...," Bi 'Nah tak sanggup lagi melanjutkan ucapannya. Karena ia tahu sekali kalau saja dia menjawab kalimat tuannya, pasti emosi Pak Katon semakin melebar.
Wanita paruh baya bertubuh bagai buntalan selimut itu bertingkah sopan dengan suara penuh kelembutan. Bi 'Nah salah satu kepercayaan keluarga Bagaskara. Semenjak istrinya meninggal, Bi 'Nah-lah orang yang di percaya menyajikan semua keperluan beliau dengan anak semata wayangnya.
"Sudahlah Yah! Bi 'Nah sudah melakukan yang terbaik untuk kita, Lagian kenapa ayah makan di sini? bukannya di ruang makan?" selok Citra nampak menyejukkan suasana. Bibir Katon yang menyumbing kini mereka tersenyum lebar dengan kehadiran anaknya.
"Citra! Anak Ayah paling cantik, sini sayang! kamu sudah pulang? kemana saja semalam?" tangan Pak Katon melebar penuh ambisi, ia bangkit dari kursi kejayaannya dan segera mengangkat dahi tinggi tak mau terlihat lelah di hadapan anaknya sendiri.
Keduanya duduk berdampingan di sofa merah sebrang meja kerja Pak Katon.
Citra sedikit mencari pundak ayahnya, menyenderkan kepalanya yang sangat berat. Seketika itu pula memorinya seolah telah di-refresh ulang. Semua beban yang menggelayutinya hilang, mereka merasa dunia sudah jadi miliknya berdua.
"Yah, istirahatlah! jangan kerja terus!"
"Kata siapa ayah kerja terus?" Matanya bertahan untuk tidak mengedip. Tanda Pak Katon menyembunyikan sesuatu.
"Bi 'Nah tadi bilang. Ayah tidak tidur semalaman, terus aja di depan layar itu? apa gak lelah?" Komputer milik Pak Katon seolah jadi tertuduh.
"Masa? Ini semua, Ayah lakukan hanya untuk kamu, Nak! Jadilah wanita yang sukses, buktikan pada almarhum ibumu, bahwa kamu bisa jadi wanita kuat!"
"Ayah ...," Hati Citra seketika tersentu, matanya terhenti tepat di kedua bola mata sang ayah.
"Eh, ngomong-ngomong semalam kamu tidur dimana, Nak? Ayah jadi khawatir." Katon segera membelokan pertanyaan setiap kali di pinta berhenti kerja.
"Citra ...,"
Citra benar-benar tidak bisa menjawab pertanyaan ayahnya. Sejak kecil hingga besar hal tersulit baginya adalah berbohong. Ia tidak bisa menyembunyikan kebohongannya, orang tua lebih peka dari pada apapun.
Detik itu juga, suara kecil menyelinap masuk di sela pintu yang tidak tertutup.
"Citra nginap di rumah Kirana, Om!" Matanya cukup menyawang jauh ke dalam ruangan.
"Kirana? masuk sini!"
"Maaf om, Kirana tidak bermaksud menguping, tapi tadi Bi 'Nah sudah mempersilahkan Kirana masuk. Dan sebelum Kirana sampai di kamar Citra, eh,, lihat kalian di sini,"
"Tidak apa-apa, jadi semalam Citra nginap di rumah Kirana?"
"Iya, Om!"
Kirana memang ratunya bohong. Wajahnya sama sekali tidak nampak riuk kebohongan, Lurus kaya jalan tol.
"Ya, udah! udah pada sarapan belum?"
"Belum, om!" Sergah Kirana.
Citra segera mengelak bangkit dari tempat duduknya, dan mengail tas yang masih ia tenteng sedari tadi.
"Citra mau ke kamar dulu ya, yah! Citra belum mau makan." Wajahnya sangat pucat pasi berjalan hendak meninggalkan keduanya.
"Eh? aku ikut kamu deh Cit!"
Sesegera mungkin Kirana mengikuti jejak langkah Citra dengan cepat. Keduanya melewati ruangan demi ruangan, masih berjalan beriringan. Roman tak biasapun tersorot dari derap langkah kaki Citra yang sangat cepat.
Sampai di kamarnya, Citra melempar sembarang tasnya, duduk di bibir ranjang menghadap meja dengan cermin berukuran besar. Pandangannya tenggelam melirik seluruh tubuhnya yang berbalut baju putih sudah lusuh.
"Kamu kemana aja semalam Cit? kita cari-cari kamu, lo!"
Kedua pasang mata itu saling beradu di balik cermin. Citra menatap dalam Kirana sambil membelakanginya.
'Bilang? atau enggak?' bisik hatinya terus bergejolak.
"Hei, CITRA! aku nanya kok malah melamun saja?"
Citra segera menggelengkan kepalanya, mengelak untuk menjawab, dan membuka dres putih itu hingga hanya tersisa tank top dan black legging di atas lutut.
"Aku mandi dulu ya Kir, kamu tunggu sebentar!"
Kening Kirana secepat mungkin mengerut heran. Pandangannya hanya terbawa hanyut di setiap gerakan Citra yang bersiap untuk mandi.
Blug!
Pintu kamar mandinya tertutup kencang, membuat Kirana sendiri tak enak hati.
Sambil menunggu, Kirana berbaring di atas ranjang Citra. Menatap langit-langit atap yang terlihat sangat bersih dengan aksen warna merah muda yang cerah. Lengannya ia simpan di atas kening, masih bingung memikirkan dengan sikap Citra yang tidak biasa.
'Ada apa ya dengan Citra?' pikirnya panjang.
Saat iseng matanya melamun sambil liar memandangi seluruh isi kamar minimalis itu, tak sengaja Kirana melihat satu noda dari dress putih Citra yang berserakan di bibir ranjang.
Rasa penasarannya kembali meronta serba ingin tahu.
"Darah?" terkejutnya Kirana setelah menilik lebih jelas noda itu.
Kamar yang jelas hening sekali, membuat Kirana leluasa untuk bergerak. Tangannya mengucek kain putih bernoda itu, Semakin jelas sekali bahwa noda itu adalah darah. Semakin ia kucek, nodanya semakin melebar.
Setelah matanya membulat lebar, Kirana sudah bisa menerka jawaban dari perasaannya yang terus bertanya-tanya.
"Hah! sudah jelas, aku tahu sekarang!"
Lama menunggu, Citra gak kunjung keluar dari kamar mandinya. Kirana cukup khawatir, apa lagi isi perut yang terus bersuara.
Di balik pintu, Citra nampak mengguyur tubuhnya di atas shower yang mengalir. Derai air matanya mengalir seiringan dengan air dingin buah dari shower itu. Tak perduli tubuhnya sebeku apapun, ia merasa jijik dengan dirinya sendiri.
"Cit! citra!"
Dor! dor! dor! dor!
Pintu kamar mandinya terus ia ketuk dengan kencang, berharap ada sahutan dari balik pintu itu. Namun beberapa detik menunggu, Kirana semakin khawatir dan mengulangi kembali ketukannya.
"Cit! kamu masih mandi?" Seloknya dengan nada yang semakin menguat.
Ketika hampir saja Kirana mengetuk untuk ke tiga kalinya, Citra keluar dengan tubuh berbalut handuk putih.
"Apaan sih? kamu berisik sekali?" Citra bersikap sangat dingin keluar dengan rambut berkerudung handuk.
"Lah, gimana gak berisik. Kamu mandi hampir satu jam?"
"Kurang!" balas Citra menggisik rambut panjangnya.
"Kamu galak sekali sih Cit? biasanya kalau datang bulan gak segalak ini?"
Detak jantung Citra hampir berhenti mendengar kata datang bulan di bibir Kirana.
"Datang bulan?" Suaranya berbisik kecil.
"Iya. Kamu datang bulan 'kan? ini?" Tunjuk Kirana pada dress putih bekas pesta semalam.
Dengan cepat Citra menjambret dres yang dipegang Kirana, lalu menggulung dan melemparnya ke atas tong sampah keringan di samping meja riasnya.
"Kenapa?" Kirana semakin heran.
Kedipan mata Citra semakin cepat, ia menggigit ujung bibirnya kuat, dan mengerutkan dahinya.
"Iya, aku lagi haid. Kamu sebaiknya temani dulu ayahku makan! aku ganti pakaian dulu, nanti aku nyusul."
Citra menyeret paksa tubuh Kirana yang masih ingin banyak bertanya.
Langkah Kirana tertatih pelan, sepanjang jalan menuju ruang makan ia masih kebingungan.
'Kalau dia haid? kenapa baju itu harus di buang ke tong sampah?' Pikirnya menjalar lebar