Chereads / My Pregnant / Chapter 11 - Anak Emas There

Chapter 11 - Anak Emas There

Siangnya, meja makan di keluarga besar Gathan sudah berserakan menu andalan. Ada sostel, iga bakar, kakap asam manis, rolade dan juga kerupuk udang.

Semua kesukaan Natasya, dan juga Rayno. Daniel hanya suka beberapa saja.

Tangan There terhenti menyiduk nasi putih di hadapannya. Seketika perasaannya terbang memikirkan Rayno.

'Apa dia sudah makan?' pikirnya melayang-layang.

"Mi! Mami! ayo dong, lapar nih."

Tubuhnya saja yang kecil, tapi daya tampung di perutnya benar-benar muat dua piring dewasa setiap makan. Tingkah dan penampilannya memang anggun, tapi kalau disampakan makanan, dia sangat rakus parah.

"Eh,"

"Mami kenapa sih?" sambar Tasya mengambil alih sendok nasi.

"Mami ingat sama Rayno,"

Mendengar nama Rayno dari bibir Mami tirinya, Daniel tersenyum tipis dengan ujung bibir berjinjit.

"Sudahlah! anak itu sudah besar, dia tahu yang mana yang benar, dan mana yang salah. Lagian itu kemauannya sendiri, Mi. Papi percaya dia bisa jaga dirinya sendiri."

Namun ketika mendengar kalimat-kalimat Papinya, Daniel tersentak malu pada dirinya sendiri. Dia merasa tersindir dengan semua ucapan itu, sebab ia belum bisa membedakan mana yang benar, dan mana yang salah.

"Emang Kak Ray kemana Mi?" tanya Natasya penasaran.

"Nah, itu dia. Mami gak tahu Ray kemana. Kemarin dia pergi bawa ransel dengan beberapa baju. Pi, gimana kalau Ray gak pulang-pulang?"

"Enggak ...! Dia pasti pulang, Papi sudah atur limit pengambilan uang. Kalau duit habis, palingan dia pulang lagi." ledek Gathan pada anak There.

"Sstttt! Papi kok gitu? Lagian aku belum sempat bilang ke Kak Ray, kalau aku mau pergi ke inggris."

Setelah beberapa menit menyimak, Daniel merasa terpancing.

"Jadi, kapan kamu berangkat? Nanti Kakak ikut ya!" tegas Daniel penuh ambisi dengan semua rencana di benaknya.

"Palingan, Tasya mau urus dulu semua berkas-berkas yang di butuhkan. Kira-kira minggu kedua bulan ini baru berangkat Kak. Serius kakak ikut? Gimana kerjaan kakak?"

Mulut Tasya yang cekatan masih bisa ngobrol dengan mulut penuh terisi makanan. Ia tidak mau menyia-nyiakan waktu makan bersama di pekan ini. Karena mungkin minggu kemudian, atau bulan-bulan selanjutnya ia akan mengembara hanya bisa makan sendiri. Tentunya moment itu akan ia rindukan suatu saat nanti.

"Iya, kakak cuman mau mastiin kamu aman di sana. Good luck ya' beib!" Daniel mencubit pipi tirus dengan rahang yang tegas itu. Hidung pipit, dan mata seperti boneka berbie tersebut jadi satu-satunya berlian di keluarga Gathan yang di jaga baik-baik kehormatannya.

"Makan-makan!" serogoh Tasya menggemaskan.

Daniel melihat ke semua arah. Nampak raut wajah bahagia di anggota keluarganya. Sedang dirinya masih menyimpan beban berat atas kelakuannya yang salah.

"Makam kak! nanti nasinya dingin." saran Tasya selalu jadi pengingat yang baik.

"Eh, iya." Bibir Daniel terbuka kecil, menyuapkan beberapa sendok makanan. Untuk menghargai pasakan Maminya, ia tetap memakan menu yang kurang ia sukai.

***

Pada waktu bersamaan, Citra menitipkan ayahnya pada Kirana. Ia harus mengurusi semua berkas kelulusan di sekolah lebih awal dari pada murid-murid lainnya.

Kalau saja teman-temannya tahu kalau dia menyalip lebih dulu soal urusan berkas, pasti banyak kecemburuan sosial yang mengakibatkan sekolah kewalahan.

Syarat masuk universitas luar negri memang tidak mudah. Di Marta Foundation, Citra segera naik ke lantai dua ruang guru.

Sengaja ia gerak cepat, karena tak mau meninggalkan ayahnya di rumah sakit lebih lama lagi.

Koridor yang lenglang waktu itu membuat langkah Citra tidak tersendat. Waktu weekend tidak menjadikan pihak kantor tutup. Masih ada beberapa petugas piket melayani semua keperluan para murid di luar jam belajar.

Selancar-lancarnya dia berjalan, masih saja ada yang mengganjal. Selintas Citra melihat keberadaan Juita di ruangan atas. Kedua temannya yang tak kalah nyentrik itupun hadir.

Pintu masuk ke ruangan guru hanya tinggal beberapa langkah lagi, tapi bertemu dengan Juita lebih menarik perhatiannya di banding bertemu dengan guru.

Tuk! Tuk! Tuk!

High hels Citra mengetuk lantai dengan langkat yang cepat.

"Juita!"

Ketiga pasang mata itu sontak bersarang masal pada Citra di bibir pintu.

Kedua teman lainnya menyambut dengan sinis kedatangan Citra, tapi Juita malah terlihat cemas tidak seperti biasanya.

"Citra?"

"Sini kamu!"

Juita mengabaikan panggilannya, dan melanjutkan perbincangan dengan kedua temannya.

Sayang tingkah lugu Citra sudah hilang sejak kejadian malam itu. Seperti harimau yang terbangun dari tidurnya, Ia menerkam lengan Juita.

Ia menarik Juita kencang keluar, hingga ia separuh berlari terseret langkah kaki Citra yang sangat cepat.

"Cit, lepaskan! apa-apaan sih kamu? sakit tahu!"

Sampai di pojok balkon ruangan guru, Citra melepas genggamannya. Melotot sinis pada Juita seakan melahapnya.

"Salah aku apa?"

"Jangan pura-pura tidak tahu! apa yang terjadi malam itu? aku yakin kamu tahu apa yang terjadi padaku malam itu."

"Malam yang mana? ah!"

"Jangan pura-pura bodoh!" sentak Citra dengan wajah memerah.

Merasa terpojok, Juita angkat bicara dengan bibir bergetar.

"Ya, kamu ada main dengannya,"

Mendengar kata-kata itu, Citra merasa hancur, ia mengelus kasar wajahnya. Menoleh ke belakang menyembunyikan kekesalannya.

"Jangan munafik deh, enak 'kan? Lagian itu permintaanmu sendiri kok."

Citra meremas kerah baju Juita kencang, dan mengangkat tubuh Juita kuat-kuat.

"Siapa orangnya!" sergah Citra dengan tegas.

"Gak tau ah, pusing! Lepaskan bajuku!"

Juita pura-pura polos. Ia menepis tangan Citra hebat. Beberapa detik kemudian, kedua Sidkya dan Morena datang menghampiri keduanya.

Melihat tiga lawan satu, citra mengalah. Ia mengalah bukan karena takut. Tapi masih ada yang penting di rumah sakit menunggunya. Apalagi, urusan berkas sekolah harus segera selesai untuk kepergiannya ke luar negri.

Citra meninggalkan ketiga temannya yang masih berdiri kaku.

Tak di sangka Citra yang lugu bisa sesangar itu. Kedua teman dekat Juita jelas penasaran dengan apa yang terjadi.

"Apaan Juy?"

"Ach biasa, jangan kepo deh!"

"Masa sama teman sendiri nyimpen rahasia gitu? Gak enak tau!" sanggah Morena mencairkan suasana hati Juita.

Juita melirik ke wajah dua temannya. Agar tidak terlihat panas, sengaja Juita segera merangkul Sidkya dan Morena, meninggalkan balkon atas dengan langkah santai.

"Cabut, Geng!" ajak Juita cepat.

Senyuman palsu terpancar di wajah Juita, sangat menyamarkan rasa penasaran kedua temannya.

Sedang sialnya Citra yang lebih memilih bertemu Juita di banding kepala piket, malah kehabisan waktu.

Saat dia sampai di ruang guru, semua pekerja piket sudah pulang lebih dahulu. Jam habis tepat di angka 12:00.

Semua penghuni ruangan itu harus pulang menikmati hari weekend-nya.

"Sial!" cetus Citra menyesal.

Kepalanya semakin sakit, dengan banyak hal yang harus ia pikirkan.

Kakinya lesu, berjalan meninggalkan ruangan guru. Kesempatan pertama hilang.

'Aku salah apa ya tuhan?' jeritnya di dalam hati.