Chereads / My Pregnant / Chapter 10 - Bimbang

Chapter 10 - Bimbang

Mobil putih dengan suara yang khas itu datang setelah di undang oleh Citra kerumahnya.

Seketika bibirnya bergetar, dia menjatuhkan tubuhnya sendiri, menangis terisak di atas dada Ayahnya.

Paramedis datang dengan seragam yang serba putih cemerlang. Mengangkat tubuh Katon ke atas blankar medis.

Tanpa basa-basi mereka mengambil langkah seribu untuk segera melajukan ambulance itu menuju Rumah Sakit Husada yang buka 24 jam full, hingga membuat pelayanan malam hari pun tetap sigap.

Citra membuntuti ekor ambulance di temani Bi'Nah daro belakang. Matanya terus berkaca sepanjang perjalanan.

"Ini salahku Bi'Nah," lirihnya sedikit terisak.

"Tidak Non, jangan bicara seperri itu. Mungkin beliau terlalu memforsir diri untuk bekerja Non," kilah bi'Nah.

"Aku memang bodoh bi, aku belum bisa membayar semua pengorbanan ayah. Malah sekarang aku buat masalah besar," celetuk Citra hampir tidak bisa mengontrol emosi.

Kalau saja tidak ada kucing yang semampai di sebrang jalan malam itu, mungkin citra kata-katanya sudah kecolongan.

Mobilnya berhenti mendadak, setelah Citra terpaksa menginjak pedal rem kuat-kuat.

Cekiiitt! Brug!

Mobilnya pun kehilangan jejak ambulan. Jalan raya yang ramai kendaraan itu berlalu lalang di depan mobil Citra yang diam terpaku. Sayang hanya mobilnya yang terhambat kucing jalanan.

Ketika Citra hendak meluncur kembali, sayang ban mobil Citra sedang tidak bersahabat. Tak hanya kucing yang menghambatnya. Paku besar di pinggir trotoar itu ikut mencegah perjalanannya ke rumah sakit.

"Gimana dong bi?" Kekhawatirannya semakin melonjak.

Bi'Nah yang bukan apa-apapun ikut gelisah, menggaruk kepalanya kencang dengan kening ikut keriting bingung.

"Non, berangkat saja naik taxi! Mobil ini urusan Bi'Nah!"

"Beneran bibi bisa?" tanya Citra.

"Iya Non." Bi'Nah menyembunyikan kebingunganya sampai Citra hilang dimakan taxi.

Setelah buru-buru masuk kendaraan umum, Citra terengah kecapean, jari jemarinya mengetuk layar handphone. Dengan cahaya menyorot ke parasnya yang mulai semrawut.

"Hallo? Kir?"

"Iya Cit? apa kabar lo? baikan?"

"Itu gak penting! yang penting itu Ayah saya masuk rumah sakit."

"Apa? Om Katon?"

"Iya! Ayah Katon."

"Kenapa dia?"

"Jangan banyak tanya deh Kir, sekarang aku bener-bener butuh kamu, cepetan ke rumah sakit Husada ya!"

Detik itu juga panggilan terputus. Kirana kelimpungan cemas. Ia menarik outerwear berbahan rajut tebal untuk menghangatkan tubuhnya di malam itu. Tas weistbag pun ikut berperan penting dengan segala isinya yang bercutat dengan keperluan pribadi dia.

"Taxi!" Telunjuk Kirana menjulur ke tengah jalan.

Mobil yang melaju cepat seketika terhenti dengan satu tunjukan saja. Jarinya sudah percis seperti remote kontrol.

Sampai di rumah sakit Husada, Ia berjalan dari lorong ke lorong Kamar yang berjejer sudah mirip seperti kosannya.

Setelah beberapa detik berjalan, tangan mulus itu melambai dari kejauhan. Terlihat Citra sedang duduk di tempat tunggu samping IGD.

Heningnya malam itu semakin memperjelas suara raungan orang sakit, bau khas alkohol menyengat di hidung Kirana berbaur dengan baunya obat-obatan yang mensugesti rasa pait di tenggorokan Kirana walau ia tak meminumnya.

"Cit? Ada apa dengan om Katon?"

Dokter keluar sebelum Citra ngobrol panjang dengan Kirana.

"Dia terkena serangan jantung ringan, kalau bisa pihak keluarga harus bisa menjaga kondisi pak Katon agar tetap stabil!" jelas Dokter di bibir pintu sekilas.

"Terimakasih Dok!"

"Sama-sama. Saya tinggal dulu! Pak Katon sudah bisa di jenguk tapi jangan ribut ya!"

Sikap dokter yang sangat berkelas membuat cemas Citra sedikit terobati.

Kirana membuntuti Citra yang masuk ke dalam ruang pasien. Keringat kecil berduyun di telapak tangan Kirana, apa lagi Citra. Wajahnya yang pucat sudah tidak memperlihatkan aura kesegaran lagi.

"Yah!" Citra mencium kening Katon dengan punggung membungkuk, dan elusan tangan yang lembut.

Kirana menarik punggung Citra perlahan, menahan ia meneteskan air matanya di kening tua itu.

"Biarkan ayahmu istirahat sebentar Cit!"

"Kir, aku bingung harus bagaimana," rajuknya.

"Tenang! ada aku di sini! Om Katon kuat kok," tepisnya hebat.

"Bukan itu ...,"

"Kenapa lagi Cit?"

"Aku harus pergi jauh, tapi ayah?" Matanya bergeming melirik bapak tua terkujur lesu itu.

"Percayakan sama aku! biar sementara Om Katon aku yang tunggu!"

"Aku-akan pergi lama, bukan sementara. Jauh, bukan di jakarta!"

Bibir Kirana sontak mengerucut terkejut. Kurang mengerti apa yang di maksud oleh sahabat sekaligus sepupunya itu.

***

Keesokan harinya... siang bolong.

Di lapangan basket indoor terpencil Rayno berlika liku memainkan bolanya. Permainannya cukup handal, kalau di bandingkan Daniel timothy atlet profesional Pelita Jaya Jakarta yang sekarang berposisi point guard Rayno hampir seimbang.

Tapi hobinya hanya sebatas untuk bermain saja, tidak ada niatan di hatinya masuk pelatihan profesional untuk mengejar medali, atau sebangsanya.

Setiap kali ia sedang kesal, maka bola basket jadi bahan pelampiasannya.

Juita wanita sosialita itu sama sekali tidak mengucap kata bosan menjadi penonton tunggal di permainan Rey yang hanya sendirian.

Berulang kali ia melempar bola ke dalam ring, hingga masuk, dan masuk lagi. Hanya ada tepuk tangan Juita yang terdengar di lapangan lenglang itu.

"Ray, istirahat dulu sini!" Alibi Juita agar permainan cepat selesai. Bagaimana pun juga hatinya dongkol kalau harus terus terbakar matahari yang sedikit tertutup awan kecil.

Semakin Juita berbicara, Rayno menepuk bola semakin kuat.

Juita terkejut, dan mulai mengunci mulutnya. Ia berusaha dian, karena ia tahu berdiam dirinya ia akan menghasilkan banyak kertas merah (duit).

Setelah ia men-Drible bola dengan satu tangannya, lalu hendak melakukan shooting, hujan turun seketika. Matahari

yang menyala hilang tertutup awan.

Rayno lari dengan tangan menutupi kepalanya. Begitu jiga Juita, ia tak mau baju mahalnya terkana tetesan air hujan.

Keduanya lari mencari tempat teduh bersamaan. Sambil menggendong bola, Rayno lebih memilih menepuk-nepuk bola menghempaskan tetesan air hujan yang tersisa.

Sedang tubuhnya yang kumal di biarkan begitu saja. Tapi bagaimanapun juga, Juita setia di sampingnya. Bukan karena setia cinta, tapi hanya sebatas dunia duit semata.

Wanita di sana banyak berjejer mengantri minta jalan bareng dengan Rayno, jadi Juita merasa beruntung jadi wanita pilihannya.

"Basah ya?" Juita cari perhatian.

"Biarin! ini cuman air kok!"

"Emmh, gitu ya? minum?" sodornya air mineral di depan wajah Rayno.

"Makasih!" Rayno menarik kencang air mineral itu, dan malah mengguyur seluruh keringat di wajahnya.

"Ngomong-ngomong, terimakasih untuk yang kemarin ya!"

"Apaan?"

"Kamu sudah menolong aku dari si biang rese itu,"

Alis Rayno meninggi mengingatnya lagi.

"Oh ya, kamu kenal dari mana dengan kak Daniel?"

"Di starbuks, jakarta pusat."

"Hhmmh, dari kapan dia main di tempat kaya gitu?"

Kata-kata Rayno yang semakin menjurus akan kedekatan, membuat Juita heran.

"Emang, si rese itu siapanya kamu?"

"Dia? Kakak gue!" tegasnya mencibir Juita.

'Kakak?' Sontak petir kecil terasa menyambar hati Juita terasa menggelegar.