Chereads / GLEIPNIR: Nihil / Chapter 22 - 22 - Diantara Api dan Air Mata

Chapter 22 - 22 - Diantara Api dan Air Mata

Kerumunan di bawah sana penuh dengan jeritan dan tangisan, sementara api membakar sudut-sudut Caelfall. Dari puncak bukit yang dikelilingi pohon pinus gelap, Ren mengamati dengan sorot mata dingin. Tangan kirinya mencengkeram sarung pedang, sementara tangan kanan menyeka keringat di dahinya.

Selama beberapa pekan terakhir, ia telah mengasah kembali kemampuannya. Teknik Pamungkas: Tebasan Mutlak, sebuah jurus yang mampu mengubah alur pertempuran hanya dengan satu gerakan sempurna.

Ren menarik napas dalam, menggenggam gagang pedangnya. "Kalau bukan Amour," gumamnya, "siapa yang mengotori tanah ini?"

Di balik keraguan itu, Ren telah mempersiapkan dirinya. Memperkirakan tanda-tandanya terlalu jelas: pos-pos penjagaan yang terbakar, suara-suara asing di malam hari, dan lambang kerajaan yang tidak dikenalnya berkibar di tanah kelahirannya.

Malam sebelumnya, seorang penyintas dari desa bawah, tua renta dan gemetar ketakutan, membawa kabar bahwa pasukan asing mengatasnamakan bangsawan tengah melucuti senjata warga. Dengan senyum tipis, Ren memahami waktunya telah tiba.

"Sudah waktunya," gumamnya pelan.

Ren turun gunung menjelang fajar. Ren berjalan dengan langkah santai, mengenakan jubah lusuh yang menyembunyikan wujudnya. Matanya tajam, memindai setiap sudut dengan perhitungan matang. Ia mendekati gerbang desa yang kini dijaga oleh pasukan berpakaian seragam asing, lambang kerajaan tak dikenal tersemat di dada mereka.

"Kau siapa?" bentak salah seorang penjaga, memegang tombak dengan waspada.

"Aku hanya seorang warga desa," jawab Ren tenang, sambil mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Aku mendengar desas-desus bahwa semua harus menyerahkan senjata. Aku datang untuk menyerah."

Penjaga itu menatapnya penuh curiga, lalu memerintahkan beberapa rekannya untuk memeriksa Ren. Dua orang mendekat, salah satunya memegang kantong kulit di pinggang Ren sementara yang lain mendekati pedang panjangnya.

"Tidak perlu membunuh, cukup lumpuhkan saja." pikir Ren.

"Senjata yang bagus," kata salah satu penjaga dengan nada mengancam. "Sayang sekali harus kami ambil—"

Shing!

Sebelum kalimat itu selesai, kilatan pedang Ren membelah udara. Dengan kecepatan luar biasa, pedang yang tampak mustahil ditarik dalam posisi itu kini berada di tangannya. Tebasan pertama menghantam penjaga terdekat, memukul helmnya hingga ia jatuh pingsan.

Penjaga kedua mencoba menyerang, tetapi Ren hanya melangkah ke samping, mengayunkan pedangnya hingga gagangnya menghantam tengkuk pria itu, melumpuhkannya.

Kericuhan pun pecah.

Ren berputar, menghadapi tiga penjaga lainnya yang kini menyerbu ke arahnya. Dengan gerakan cepat dan penuh presisi, ia menghindari serangan tombak, memotong bagian tongkat senjata itu dengan sekali tebas.

"Siapa kau sebenarnya?" salah satu penjaga tersisa berteriak, suaranya penuh ketakutan.

Ren hanya tersenyum tipis. "Aku hanya memastikan tanah ini tetap utuh."

Satu per satu, penjaga yang menyerangnya jatuh, bukan dengan luka fatal, tetapi cukup untuk membuat mereka tidak mampu bertarung. Ren mengerti, ia butuh mereka hidup untuk menyampaikan pesan kepada atasan mereka.

Setelah mengamankan situasi, Ren mengarahkan pedangnya ke salah satu penjaga yang tersisa. "Bicaralah. Siapa yang mengirim kalian ke sini?"

Penjaga itu tergagap, menunduk ketakutan. "Kami... kami dari Kerajaan Southbrid. Perintah langsung dari raja kami untuk mengambil alih wilayah ini. Katanya Caelfall terlalu lemah untuk melawan."

Ren terdiam sejenak. Jawaban itu bukan sesuatu yang ia duga, tetapi cukup membuatnya mengerti situasi yang lebih besar.

Ia mengarahkan pedangnya ke tanah, lalu mendekatkan wajahnya ke penjaga itu. "Kembalilah ke pemimpinmu. Katakan padanya bahwa Caelfall bukan tanah yang bisa kalian renggut dengan mudah. Dan jika kalian datang lagi... aku yang akan menyambut kalian."

Sementara penjaga itu lari terbirit-birit, Ren berdiri di tengah desa, dikelilingi penduduk yang masih ketakutan. Ia memasukkan pedangnya kembali ke sarung.

"Ada yang lebih besar dari ini," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.

Ren duduk di tengah reruntuhan desa yang terbakar, matanya memandang jauh ke kejauhan. Ia melamunkan suasana desa yang dulu penuh kedamaian dan kehangatan kini hancur berantakan.

Pemandangan yang ia temui sangat mengerikan. Rumah-rumah dihancurkan, dan kehancuran itu seolah menjadi cermin dari kehancuran dalam hati Ren.

Ren merasa api kemarahan menyala di dalam dirinya. "Bagaimana bisa. Seharusnya desa ini tidak terjamah karena terpelosok. Siapa. Yang melakukan semua ini!"

Saat Ren tengah menyusuri sekitar, gemuruh mengguncang tanah dengan kekuatan yang membuat Ren berhenti bergerak sejenak. Ia memandang ke arah sumber suara dengan alis berkerut, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.

"Gemuruh sekuat ini, dari mana asalnya!?"

Langkah kakinya terhenti di sebuah lapangan terbuka. Di sana, sosok Ralph berlutut dengan bahunya bergetar hebat. Tepat di depannya, seorang pria tua tergeletak, tubuhnya bersimbah darah. Para prajurit bersenjata di sekitar mereka berdiri dengan senjata terangkat, ekspresi dingin tanpa belas kasihan.

"Ayahanda..."

Ren terpaku melihat Ralph menangis di depan jasad ayahandanya. Tangan Ralph mengepal begitu erat hingga darah merembes keluar dari sela jarinya. Kemarahan, kesedihan, dan ketidakberdayaan bercampur menjadi satu.

"Tunggu dulu, bukankah itu?" gumam Ren, menyadari sesuatu benda yang tergeletak di dekat tubuh ayahandanya Ralph.

Tanpa aba-aba, Ralph meraih senjata dari tubuh ayahnya—sebuah tombak berornamen emas dengan ukiran kuno. Harta Mulia.

"Harta Mulia!?"

Ren terperangah. "Ralph! Jangan!" teriaknya, tapi suara itu tak sampai.

Dengan gemetar, Ralph mengangkat Harta Mulia itu. Cahaya aneh menyelubunginya sejenak, tapi kemudian redup seperti nyala lilin yang hampir padam. Tubuh Ralph terhuyung, wajahnya memucat, tetapi ia tetap berdiri, tatapannya kosong.

Ren tahu apa artinya ini. Harta Mulia tidak bisa dipindahkan tanpa ritual rumit, dan penggunaannya tanpa proses itu seringkali membawa konsekuensi mengerikan. Ralph telah memaksakan perpindahan, dan kini hidupnya dalam bahaya.

"Ralph, menyingkirlah! Tempat itu terlalu berbahaya!"

Ralph tetap berdiri di tempatnya, matanya terpaku pada jasad ayahnya. Tangannya yang gemetar masih menggenggam tombak itu erat, sementara para prajurit perlahan mendekat.

Ren tak punya waktu untuk berpikir. Ia berlari menuju Ralph, tetapi sekelompok prajurit menghadangnya. Ia menghindari sabetan pedang pertama dengan lompatan ke samping, tetapi serangan berikutnya menorehkan luka di bahunya.

Rasa sakit membakar tubuhnya, tetapi Ren tetap bergerak. Ia merebut pedang dari salah satu prajurit, lalu menghujamkannya ke dada lawannya tanpa ragu. Darah menyembur, dan untuk pertama kalinya, Ren merasa ngeri pada dirinya sendiri.

Napasnya memburu, tetapi tubuhnya terus bergerak, seakan dikendalikan oleh sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Ia menebas, menikam, dan melumpuhkan, hingga akhirnya hanya suara isak tangis Ralph yang tersisa di antara tumpukan tubuh prajurit yang tergeletak.

"REN, HENTIKAN ITU!!"

Ren merasa tidak karuan lagi, tatapannya kosong, tubuhnya mematung, sebilah pedang yang ia pegang pun jatuh disusul oleh badannya sampai lemas hingga perlahan bersimbah darah dan terkapar ditanah.

"REN! SUDAH CUKUP! SADARLAH!!" Ralph berlari menghampiri Ren. Dia mengguncang tubuhnya, mencoba membangunkannya, tetapi Ren tetap tak bergerak.

Beberapa relawan dari desa akhirnya datang, membawa mereka ke tempat aman di kamp sementara.

Ketika Ren terbangun, ia merasakan nyeri tajam di seluruh tubuhnya. Kepalanya berdenyut hebat, seakan ada beban berat yang menghantamnya berulang kali. Ia melihat Ralph duduk di sampingnya, berusaha menahan air mata.

"Apa yang kau lakukan, dasar bodoh?! Kamu bisa saja terbunuh!" Ralph berteriak setelah dirinya beranjak.

Ren tidak menjawab. Ia hanya menatap Ralph dengan ekspresi kosong.

"Maaf, Ralph. Maaf..." suaranya hampir tidak terdengar.

"Kamu tahu apa yang terjadi?" Ralph menarik napas panjang, suaranya melemah. "Matamu menghitam, Ren. Kamu... kamu membantai mereka. Lalu, kamu tiba-tiba lemas dan terjatuh pingsan saat aku menghentikanmu."

Ren memejamkan matanya, mencoba mengingat, tetapi yang muncul hanyalah bayangan darah dan teriakan. Ia merasa hampa.

"Ren, kamu tak apa?" Ralph bertanya, kali ini suaranya bergetar.

Ren terdiam lama, lalu akhirnya berkata, "Aku turut berduka cita atas kehilanganmu. Ini salahku... aku terlalu lemah untuk melindungi desa ini."

"Cukup, Ren. Kamu menyelamatkanku. Itu sudah cukup." Ralph menarik Ren ke dalam pelukan erat.

"Ughh... Apa artinya berlatih susah payah di kamp pelatihan, nyatanya saat di situasi seperti ini saja aku tak bisa apa-apa." Ren bangkit perlahan, merasakan nyeri di seluruh tubuhnya, tetapi ia mengabaikannya

Ralph menghela nafas panjang, melihat ke dalam mata Ren yang penuh dengan rasa keputusasaan.

"Ralph..." suara Ren terdengar lemah, memanggilnya yang sedang duduk di pojok tenda, mencoba menenangkan dirinya.

Ralph kembali menatap, wajahnya masih menyimpan bekas air mata yang tertahan. "Aku di sini," jawabnya pelan.

"Bagaimana kalau ini semua memang salah kita? Aku terlalu terlambat untuk menyelamatkan desa ini." Ren menggerakkan jarinya dengan gugup, tubuhnya terasa sangat lelah.

Ralph beranjak mendekat, menepuk bahu Ren dengan lembut. "Tidak, Ren. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Sekarang kita harus melanjutkan apa yang tertinggal."

Ren masih merasa bimbang. Pandangannya kosong, matanya seakan menembus jauh ke depan, penuh ketidakpastian. Bagaimana ia bisa menyelamatkan dunia yang begitu runtuh? Semua latihan yang ia jalani, semua strategi yang dipelajarinya, tak cukup untuk melindungi orang-orang yang ia cintai.

Pikiran itu mengguncang dirinya lebih keras dari sebelumnya. Tanpa disadari, tubuhnya merosot lagi, jatuh terduduk di tanah.

"Ren, sudah cukup... Jangan melawan dirimu sendiri," kata Ralph.

"...Ralph, apakah yang kulakukan selama ini sudah benar?" ucap Ren dengan suara rendah.

"Tentu saja... Jangan berputus asa, wajar bukan kalau kita masih merasakan kesedihan." jawab Ralph.

"...Duduklah lebih lama lagi disini. Jangan membahayakan dirimu sendiri lagi." Ralph menyadari Ren yang berusaha memaksakan dirinya sendiri lagi.

Untuk sesaat, hanya ada keheningan di antara mereka.

"... Jangan lihat," Ralph menyembunyikan air matanya dengan pundaknya Ren. Suaranya terputus-putus, seolah kata-kata itu sulit untuk keluar.

Ren merasa berat di dadanya, seolah ada sesuatu yang menekan jiwanya lebih dalam lagi. Ia menoleh sedikit, hanya untuk melihat bagaimana tubuh Ralph tergetar. Betapa dalamnya kesedihan itu, dan ia merasa tak bisa mengabaikannya.