Chereads / GLEIPNIR: Nihil / Chapter 26 - 26 - Aliansi Dari yang Tidak Diharapkan

Chapter 26 - 26 - Aliansi Dari yang Tidak Diharapkan

Penjaga itu berdiri di depan mereka, seringai lebar menghiasi wajahnya. "Kalian membuat ini jadi sulit," suaranya menggema, penuh kepuasan.

"Apa yang kau inginkan sekarang?" Violet memeluk Louise ingin melindunginya apapun yang terjadi.

"Tapi aku masih bisa baik hati. Serahkan dia." Pandangannya mengunci Violet. "Kau tahu maksudku. Dia akan hidup... kalau kau mau menukar diri."

"Tidak akan." Violet berusaha menggertak.

"Kasihan sekali... kalian pasti lelah, ya? Semua ini karena ulah bodoh kalian sendiri. Dan sekarang, kau harus pilih, Nona."

Violet menggigit bibirnya, menahan amarah bercampur putus asa. Hening mencekam. Detak jantung Violet berpacu. Louise hanya terdiam dengan tatapan kosong. Nafasnya pendek, tak menunjukkan emosi apa pun—seolah sudah menyerah pada semuanya.

"Ayo, Kembalikan apa yang jadi milikku… atau aku ambil nyawanya sekarang juga," desak penjaga itu. Tatapan matanya menjalar ke tubuh Louise yang tak berdaya.

"Sudah diriku yang sungguh baik hati ini memberikan opsi cara mudah. Kau tahu, kan?" Penjaga itu tersenyum licik. "Serahkan dirimu. Aku janji bocah itu akan tetap hidup. Kalau tidak... kalian berdua mati di sini, sekarang juga."

"Louise…" bisik Violet dengan suara bergetar. Tak ada respons. "Maafkan aku."

Di sampingnya, Louise hanya menatap kosong ke tanah, matanya redup tanpa harapan. Seperti sudah mati, hanya tubuhnya yang bertahan.

Penjaga tertawa kecil, nadanya mengejek. "Lihat dia. Bahkan tak peduli lagi. Jadi? Pilihannya mudah, bukan?"

Violet mengatupkan rahang, tetapi langkahnya goyah. Perlahan, ia melepaskan genggaman Louise dan melangkah ke depan. Setiap langkah terasa seperti menginjak bara, menyakitkan dan membakar harga dirinya. Penjaga terus menatapnya dengan senyum kemenangan, mata jalang yang memeriksa setiap inci dirinya.

"Pintar," gumam penjaga. Tangannya terulur, menyentuh dagu Violet dengan sentuhan lembut yang mengerikan. "Cantik sekali."

"Huh." Violet berusaha menahan sentuhan menjijikkan dari penjaga itu. 

"Sekarang... dekat sini." Tangan yang meraba dagu Violet dengan sentuhan menjijikkan itu perlahan bergerak ke sisi bibir Violet, mengusap dengan tekanan lembut. "Manis sekali."

Violet memejamkan mata. Sejenak, ia membayangkan akhir. Mungkin ini tak apa. Setidaknya Louise selamat. Setidaknya—

DOR! DORR!!

Suara tembakan menggema, memecah udara seperti kilatan petir. Tubuh penjaga terhuyung sejenak, matanya membelalak penuh terkejut. Tangan yang tadi memegang Violet melemah, lalu jatuh. Seketika itu juga, tubuhnya ambruk ke lantai dengan suara berdebum berat.

Violet membuka mata perlahan. Di depan mereka, berdiri sosok dengan tatapan dingin yang begitu tenang. Asap tipis mengepul dari laras senjata api yang dipegangnya. Amour.

Amour menatap mayat penjaga tanpa ekspresi. "Lain kali, jangan terlalu lama berpikir. Orang seperti itu tidak pantas mendapatkan keputusan sulit."

Ia menurunkan senjatanya dan memandang Violet sekilas, sebelum mengalihkan pandangan ke Louise. "Kalian harus segera tinggalkan tempat ini. Cepatlah."

Violet masih terpaku. Matanya berganti-ganti antara mayat penjaga dan Amour. Sementara itu, Louise hanya duduk diam, masih dalam dunianya sendiri, tidak menyadari bahwa mereka baru saja diselamatkan.

Amour melangkah mendekat, melewati Violet yang masih bingung dan menuntun tubuh Louise yang bergeming tak bergerak seditpun dengan tatapan kosong. "Jangan buang waktumu untuk orang mati."

Amour menuntun tubuh Louise ke dalam Rumah "Murphy" sebelum ditentang oleh Violet dan menjelaskannya bahwa cukup bahaya membawa satu orang beban kemana-mana. "Kau urus sendiri saja, ini temanmu."

Violet memperhatikan Amour menyembunyikan tubuh Louise yang bergeming dengan tatapan kosong itu di tengah tubuh tak bernyawa para anggota keluarga besar "Murphy" yang lainnya.

Violet berdiri di atas bukit, di bawah pohon kuno yang telah direncanakan. Angin malam menyapu rambutnya yang kusut. Matanya menatap kosong ke cakrawala, menunggu sosok yang sudah dijanjikan. Di bawah cahaya bulan yang temaram, bayangan seseorang mendekat. Ren. 

Langkahnya cepat tapi berat, seolah setiap langkahnya membawa beban tak kasatmata. Saat jarak mereka semakin dekat, Violet bisa melihat wajahnya—kusut, letih, tapi tetap penuh ambisi.

"Violet," suara Ren rendah, serak. "Di mana Louise? Roze?" 

Violet terdiam, bibirnya terbuka tanpa suara. Ia menunduk, menghindari tatapan Ren yang penuh tuntutan. "Aku… Louise…" Suaranya pecah. "Ren, aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya." 

"Bicara," potong Ren. "Apa yang terjadi?" 

Violet menarik napas panjang, berusaha merangkai kata-kata. "Louise… dia yang membunuh Roze."

Ren terpaku. Dunia seolah berhenti. Kalimat itu seperti hantaman palu di kepalanya, membuatnya limbung. 

"Apa?" bisiknya pelan, hampir tidak terdengar.

"Ren, dia tidak punya pilihan. Roze… dia…" Violet mencoba menjelaskan, tapi suaranya tenggelam oleh tatapan Ren yang tiba-tiba berubah gelap. 

Wajah Ren memucat, tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Dadanya naik turun, napasnya memburu. Emosi berkecamuk—marah, kecewa, dan sedih bercampur menjadi satu. Ia merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk yang tak berujung. Louise? Membunuh Roze? Itu tidak masuk akal.

"Tidak mungkin," gumam Ren, lebih kepada dirinya sendiri. "Louise tidak akan…" Kalimatnya terputus, tidak mampu diselesaikan. "Kenapa…?"

Violet menggigit bibirnya, matanya basah. "Dia melindungi aku. Roze… dia bukan Roze yang kita kenal lagi."

Ren tertawa, pendek dan pahit. "Melindungi? Jadi kau bilang Roze pantas mati?"

"Bukan begitu!" seru Violet putus asa. "Aku tidak tahu harus bagaimana. Ren, aku…" 

Tiba-tiba langkah kaki terdengar dari arah belakang. Sosok tinggi muncul dari balik kegelapan. Amour. 

Ren langsung menegang, kedua matanya menatap Amour dengan tajam. Sekilas, ada dorongan untuk menghabisinya di tempat. Tapi ia tahu, di dalam dirinya yang penuh amarah, satu hal tetap jelas—Amour bukan pembunuh Roze.

Mereka saling bertatapan dalam keheningan yang mematikan. Amour hanya berdiri tenang, tidak menunjukkan rasa takut atau bersalah. "Aku tahu kau ingin menumpahkan kemarahanmu padaku." Suaranya rendah, tetapi jelas. "Tapi aku bukan musuhmu kali ini."

Ren tetap diam, pikirannya berputar liar. Takdir sialan macam apa ini? Dunia terasa semakin sempit, semakin menyesakkan. Di depannya berdiri orang yang paling ia benci, tapi untuk pertama kalinya, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak ada gunanya. Bukan Amour yang harus ia benci sekarang.

Amour mengangkat senjatanya, menatap Violet sekilas sebelum kembali menatap Ren. "Ini bukan akhir. Belum." 

Ren tidak merespons. Dia hanya memandang tanah di bawah kakinya, seolah mencari jawaban yang tak kunjung datang. 

Angin berhembus kencang, membawa keheningan yang panjang. Tidak ada lagi yang bisa dikatakan malam itu. Dunia mereka sudah berubah, dan tidak akan pernah kembali seperti semula.

Ren berdiri mematung, menyerap setiap kata yang akan diucapkan Amour. Matanya tetap tertunduk, tak menunjukkan ekspresi apa pun. Sementara itu, Violet yang masih berdiri tampak semakin gelisah. Ia tahu apa yang direncanakan Amour, dan itu bukan sesuatu yang bisa dibiarkan.

"Ren," suara Amour rendah, penuh keyakinan. "Kita tidak punya banyak pilihan. Kau lihat sendiri, keadaan kita kalah jumlah. Louise dan Violet adalah beban di tengah situasi seperti ini. Serahkan mereka. Dengan begitu, kau dan aku bisa bertahan."

"Tidak!" seru Violet tiba-tiba. "Ren, jangan dengarkan dia. Dia hanya ingin memanipulasi kita. Amour tidak peduli pada siapa pun kecuali dirinya sendiri!"

Amour tersenyum simpul saat melangkah mendekat, matanya menyipit ke arah Violet. "Tidak ada yang memanfaatkan siapa pun, Violet. Ini soal bertahan hidup. Kau sebaiknya diam dan biarkan Ren berpikir dengan kepala dingin."

"Ren!" Violet memohon. "Kau tahu ini salah! Kau tidak bisa menyerahkan kami begitu saja!"

Ren tetap diam, menatap Amour dengan tatapan kosong. Pikirannya berputar, menimbang setiap kemungkinan. Setiap pilihan terasa seperti jebakan.

Amour mendekatkan wajahnya ke telinganya Ren, berbicara lebih pelan, tetapi cukup jelas untuk didengar. "Ini kesempatan. Mereka kuat, Ren. Kau tahu kita tidak punya cukup kekuatan untuk melawan mereka langsung. Bergabung dengan mereka adalah langkah pintar."

Ren menghela napas panjang. "Dan kau pikir mereka akan memegang janji?"

Amour tertawa kecil. "Kita tidak perlu mempercayai mereka sepenuhnya. Kita hanya perlu bermain sesuai permainan mereka… untuk saat ini."

Violet melangkah maju, berusaha memutus jarak antara Ren dan Amour. "Ren, tolong… Jangan lakukan ini. Jangan dengarkan dia."

Ren menoleh, menatap Violet dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. "Violet… diamlah."

"Kau tahu dia berbohong! Dia akan mengkhianatimu begitu mendapatkan apa yang dia inginkan!"

Amour mendengus. "Aku mungkin kejam, tapi aku bukan pembohong." Ia kembali memandang Ren. "Kita berbicara tentang kelangsungan hidup, Ren. Ambil kesempatan ini, atau kita semua mati."

Keheningan panjang menyusul. Angin malam membawa aroma tanah basah dan kehancuran di kejauhan. Ren memejamkan mata, merasakan beban di dadanya semakin berat.

"Aku setuju." Suara Ren pecah di udara.

Violet tersentak. "Apa?! Ren, kau—"

Ren mengangkat tangan, menghentikan protesnya. "Aku akan bekerja sama… dengan satu syarat."

Amour mengangkat alis, tertarik. "Sebutkan."

"Mereka tetap hidup. Violet dan Louise. Tidak ada yang menyentuh mereka."

Amour tersenyum lebar, puas. "Bisa diatur."

Violet menggelengkan kepala, matanya dipenuhi air mata. "Ren, kau tidak bisa melakukan ini…"

Ren menatap Violet sekali lagi, dan untuk sesaat, ada sesuatu di matanya—penyesalan? Kesedihan? Tapi itu menghilang secepat datangnya. "Percayalah padaku, Violet. Aku tahu apa yang kulakukan."

"Tapi—"

"Percayalah," ulang Ren dengan nada tegas.

Amour menepuk bahu Ren, kemudian berbalik dengan langkah santai. "Bagus. Kita akan bertemu lagi di tempat yang lebih aman. Aku akan menyiapkan semuanya."

"Ren…" bisik Violet. "Kau tidak serius, kan? Ini bukan kau…"

Ketika Amour menghilang dalam bayang-bayang malam, Violet masih berdiri terpaku, hatinya berat dengan rasa takut dan kekecewaan. Ia ingin percaya pada Ren, tapi intuisi mengatakan ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih gelap.

Ren hanya berdiri di sana, memandang cakrawala yang kosong, seolah mencari jawaban yang tak pernah datang. Angin dingin bertiup kencang, membawa kabut tipis yang menyelimuti mereka dalam keheningan yang mencekam.

"Kau membuat kesalahan besar, Ren," bisik Violet, nyaris tak terdengar.

Tanpa memperingatkan, Violet berbalik dan mulai melangkah mundur, berniat melarikan diri. Tapi Ren lebih cepat. Tangannya meraih pergelangan tangan Violet dengan cengkeraman kuat.

"Lepaskan aku!" seru Violet, berusaha meronta. "Kau tidak bisa melakukan ini, Ren! Kau mau menyerahkan kami?!"

"Dengarkan aku dulu," ujar Ren, suaranya rendah tapi tegas.

"Apa lagi yang perlu didengar? Kau sudah setuju dengan rencana gila Amour! Kau tahu dia tidak bisa dipercaya. Dia ingin kita mati!" Violet menatap Ren dengan mata yang penuh kemarahan dan pengkhianatan.

Ren menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. "Aku tidak sepenuhnya setuju dengan rencananya."

"Lalu kenapa—"

"Aku hanya berpura-pura." Ren mempererat genggamannya, memastikan Violet mendengarnya. "Violet, dengar baik-baik. Kita tidak bisa melawan mereka secara langsung. Mereka terlalu kuat. Tapi jika kita berpura-pura memihak mereka… kita punya kesempatan untuk menyusun strategi."

Violet terdiam, menatap Ren dengan tatapan penuh kebingungan. "Berpura-pura?"

Ren mengangguk. "Ya. Amour mungkin licik, tapi dia tidak tahu segalanya. Kita bisa gunakan dia untuk keuntungan kita."

Violet menggeleng, masih ragu. "Ren, ini berbahaya. Jika mereka tahu—"

"Itulah kenapa kau harus mempercayai aku," potong Ren. "Aku butuh kau untuk mengikuti rencanaku. Di mana Louise?"

Violet terdiam, mempertimbangkan kata-kata Ren. Napasnya masih tersengal, tapi perlahan-lahan, ketegangan di tubuhnya mereda.

"Louise," bisik Violet akhirnya. "Dia masih di sana… di rumah keluarga Murphy. Di tempat kami meninggalkan Roze."

Ren mengangguk. "Baik. Kita pergi ke sana sekarang."