Chereads / GLEIPNIR: Nihil / Chapter 28 - 28 - Pada Api yang Tak Pernah Padam

Chapter 28 - 28 - Pada Api yang Tak Pernah Padam

Malam itu, setelah bara terakhir padam dan hanya asap tipis yang tersisa membumbung ke langit, Ren, Violet, dan Louise duduk di salah satu sudut rumah yang porak-poranda di Distrik Caelfall. Tempat itu tak lebih dari kerangka bangunan dengan dinding yang penuh retakan dan lubang, tapi cukup untuk berlindung dari mata-mata yang mengintai di kegelapan.

Ren diam, matanya kosong memandang ke arah lantai yang dipenuhi debu. Violet yang duduk di sampingnya, tampak lebih tenang meskipun raut wajahnya penuh kelelahan. Tangannya melingkari Louise, yang masih terengah-engah, tubuhnya lemas dan hatinya kacau. Violet menggenggam tangan Louise dengan erat, mencoba memberi kenyamanan yang mungkin tak bisa mereka temukan di dunia yang kini seakan terbakar. Suasana itu begitu sunyi, hanya terdengar napas mereka yang berat, saling bertukar keletihan.

Tiba-tiba, langkah kaki terdengar di luar rumah. Amour muncul dari kegelapan, tubuhnya terbungkus mantel hitam yang tampak lebih mencolok di antara reruntuhan bangunan. Wajahnya tak bisa disembunyikan dalam cahaya remang yang menyusup ke dalam ruangan.

"Ren," Amour memulai dengan nada yang tegas, hampir seperti memaksa. "Kita tak bisa menunggu lebih lama. Penjajah semakin mendekat. Kita harus segera melaksanakan rencana kita."

Ren menoleh, matanya yang kosong seolah mencoba mengingatkan dirinya sendiri tentang apa yang harus dilakukan. Ia tak bisa menolak, meski hatinya terbelah. Keputusan ini bukan keputusan yang mudah.

Amour melanjutkan, "Aku juga telah mempersiapkan divisi ekspedisi. Segera setelah kita bergerak, aku akan pastikan agar operasi ini bisa selesai cepat. Kita akan memihak penjajah, Ren. Tak ada pilihan lain. Kalian, Violet dan Louise, akan menjadi jaminan kita."

Ren menghela napas panjang, menyadari bahwa ia terperangkap dalam keputusan yang semakin berat. Tidak ada jalan lain, pikirnya. Ia tahu apa yang harus dilakukan—meskipun ia tidak sepenuhnya setuju dengan jalan ini. Mereka terdesak. Situasi ini tidak memberi ruang untuk keraguan lebih lama lagi.

"Aku tahu," Ren berkata pelan, memandang Violet dan Louise yang hanya bisa duduk terdiam. "Aku tahu apa yang harus dilakukan. Tapi... setelah ini, kita tak bisa kembali lagi. Semua akan berubah."

Violet menatap Ren dengan tajam, ada kebingungannya yang tidak dapat dipendam. "Ren, kau benar-benar akan melakukannya?" suara Violet bergetar, ada keputusasaan yang jelas tergambar. "Kita akan berpura-pura memihak penjajah? Begitu saja? Mengorbankan prinsip kita?"

Ren tidak menjawab, matanya terfokus pada debu yang berterbangan di lantai. Ia tahu apa yang harus dilakukan, tapi hatinya terasa semakin berat. Violet melihatnya, dan meskipun bibirnya terkatup rapat, matanya penuh dengan tanya, kecewa, dan kecemasan.

"Ren," Violet memulai dengan suara pelan, mencoba menyentuh lengan Ren yang masih kaku. "Apa yang akan terjadi setelah ini?"

"Kumohon, jangan lakukan ini," bisiknya, "Kita bisa mencari jalan lain. Masih ada waktu..."

Ren menatapnya dalam-dalam. Matanya keras, penuh tekad. "Violet, tidak ada pilihan lain. Jika kita ingin bertahan hidup, kita harus bermain sesuai aturan yang ada sekarang. Jika kita tidak melakukan ini, kita akan dihancurkan. Aku tidak ingin melihat kalian berdua mati sia-sia."

Violet mengunci pandangannya dengan Ren, sejenak terdiam, sebelum akhirnya mengangguk lemah. "Baiklah," ia berkata, suaranya begitu lirih, "Aku mengikuti keputusanmu, Ren."

Amour tersenyum kecil melihat persetujuan itu. "Bagus. Jika kita bergerak cepat, kita bisa mengamankan semuanya tanpa hambatan berarti. Sekarang, mari kita lakukan bagian kita."

---

Fajar menebarkan cahaya abu-abu ke reruntuhan di Distrik Caelfall. Tanah yang lembab beraroma logam bercampur darah, sisa-sisa malam yang penuh kegaduhan, memancarkan cahaya lembut yang bercampur dengan sisa-sisa kabut pagi. Tanah itu sunyi, hanya ada angin yang berbisik pelan.

Ren merasa hati yang semula berdebar kini terasa kosong. Pedangnya tergantung di pinggang, terasa lebih berat dari biasanya.

Ia menyusuri tanah becek bersama Violet dan Louise, dengan Violet berjalan di sampingnya, tangan mereka saling menggenggam erat, tapi ada keheningan yang memisahkan mereka. Louise terjatuh beberapa kali, kelelahan dan ketakutan jelas terlihat, ia tetap mengikuti, tanpa pilihan lain.

Di kejauhan, sekelompok penjajah berdiri di bawah naungan mantel hitam mereka. Amour sudah di sana, berbicara dengan seorang komandan bertubuh besar yang berdiri di tengah. Ren memperhatikan dengan seksama—dari jarak itu, gestur Amour terlihat begitu santai, hampir mengundang rasa tidak percaya.

Amour mengangkat tangan, memberi isyarat untuk Ren dan kelompoknya mendekat. Begitu mereka tiba di dekatnya, Amour menyapa mereka dengan senyuman yang seolah menenangkan.

"Ren," Amour berkata, suaranya terdengar tenang dan penuh kendali. "Izinkan aku memperkenalkan kalian kepada sekutu kita." Ia melangkah sedikit ke samping, memperlihatkan kelompok penjajah yang kini tampak lebih jelas di bawah sinar fajar yang memancar. Di depan mereka berdiri seorang komandan penjajah, yang tampak jauh lebih berwibawa dibanding yang lain.

Komandan itu tersenyum sinis saat melihat Ren dan kelompoknya. "Ah, jadi kau adalah Ren, akhirnya kita bertemu. Apa kabar, Caelfall?" katanya dengan nada bercanda yang penuh penghinaan.

Ren tetap diam, menggenggam pedangnya erat. Ia tahu ini jebakan, tapi tidak punya pilihan lain kecuali menghadapi situasi yang ada.

Amour melangkah maju, mencoba meredakan ketegangan. "Kita di sini bukan untuk bermain kata-kata," katanya dengan nada tenang. "Kesepakatan sudah jelas. Kau butuh tenaga kerja, dan aku membawa mereka."

Komandan itu melirik Amour, kemudian tertawa kecil, seperti mendengar lelucon buruk. "Kesepakatan, ya? Kau membuatnya terdengar sangat formal. Tapi tenang saja, aku menghargai usahamu."

Komandan penjajah itu menatap Ren dengan pandangan tajam, lalu beralih ke Violet dan Louise. "Kalian pasti tahu," katanya, dengan suara lembut, "bahwa di kerajaan kami, ada banyak hal yang bisa kalian dapatkan. Terutama bagi yang menarik." Dia menatap Violet dengan tajam, seolah mengukur sesuatu. "Seperti gadis ini," lanjutnya sambil memperhatikan Violet dari ujung kepala hingga kaki. "Violet, bukan? Gadis yang menarik. Kami bisa membuat hidupmu lebih... menyenangkan."

Violet menggertakkan giginya, menolak menjawab. Tapi sikap itu hanya membuat komandan semakin tertarik. "Ah, pendiam. Aku suka yang seperti ini. Mereka biasanya lebih mudah dibentuk."

Violet menggenggam erat tangan Ren. Ia tidak berbicara, tapi sorot matanya cukup untuk menjelaskan segalanya. Louise berdiri di belakang mereka, terengah-engah dengan tubuh yang masih bergetar.

Komandan tersebut perlahan mendekat. "Teruskan. Aku suka sorot matamu itu, Violet ya?"

"Dia bukan untuk dijadikan mainan," Ren berkata datar, tapi ada ancaman di balik nada suaranya.

Komandan itu terkekeh. "Kau salah paham. Kami tidak bermain-main, Ren. Ini soal kesempatan. Violet, Louise... mereka aset berharga. Akan sia-sia jika hanya berakhir di tempat ini, bersama pemberontakan yang tidak memiliki masa depan."

Amour tetap diam, tidak ada usaha untuk menghentikan pembicaraan itu. Hanya satu gerakan kecil—kedipan matanya pada komandan, seolah mengisyaratkan bahwa segalanya terkendali.

"Kau tak mendengarkanku barusan? Kami bukanlah mainan, jika kau memang ingin bekerja sama. Maka kita disini untuk berunding dengan baik." ucap Ren, dengan tatapan yang mengintimidasi.

Komandan itu menoleh dengan senyum mengejek. "Oh? Kau pikir aku peduli pada opinimu, Ren? Kau hanya sekadar bagian kecil dari rencana ini. Bahkan Amour di sini lebih berguna daripada dirimu. Lagipula dirimu hanyalah Caelfall. Kau mengerti?"

Amour tetap tenang, seolah-olah penghinaan itu tidak menyentuhnya. Ia berbicara lagi, suaranya datar tapi jelas, "Kita punya tujuan yang sama. Jangan buang waktu kita dengan omong kosong. Kau ingin tenaga kerja, dan aku memberikan mereka. Itu cukup."

"Tujuan yang sama?" Komandan itu tertawa, kali ini lebih keras, seolah-olah mendengar sesuatu yang benar-benar menggelitiknya. "Jangan terlalu percaya diri, Amour. Kau hanyalah alat di mataku, sama seperti mereka."

Ia melambai ke arah para penjajah di belakangnya. "Ambil mereka," katanya, matanya masih terpaku pada Violet. "Dan pastikan gadis ini tidak ada yang menyentuh sampai aku yang memutuskan."

Ren berdiri di depan Violet dan Louise, tubuhnya tegang seperti busur yang siap lepas kendali. Komandan penjajah itu menyeringai, pandangan matanya memindai Ren seolah ia sekadar ancaman kecil yang bisa disingkirkan kapan saja. Di belakangnya, Amour berdiri diam, wajahnya tenang tetapi tangannya mencengkeram sesuatu di balik mantel.

"Ayo, Caelfall," ucap komandan itu santai sambil berjalan mendekat, jarak di antara mereka kian menyempit. "Buat langkah bodoh. Berikan aku alasan untuk menghabisimu sekarang."

Ren tidak menjawab. Dalam satu gerakan cepat, pedangnya terangkat, menebas udara dalam garis yang tajam menuju leher komandan. Tetapi hanya sekejap setelah gerakannya dimulai, suara letusan menggelegar.

*DORR!!

Ren ambruk ke tanah.

Peluru dari senjata api komandan telah menembus pahanya dengan presisi mematikan. Pedang Ren terjatuh, tergeletak di atas tanah berdebu disusul dengan ambruknya tubuh Ren. Violet berteriak, tetapi dua penjaga segera menahannya. Louise tersungkur, matanya melebar menyaksikan darah mengalir dari luka Ren.

Amour terpaku, tubuhnya kaku seperti patung. Tetapi tangannya terlihat mencengkeram sesuatu di dalamnya. Sekilas, ia mengintip apa yang digenggamnya—bukan senjata api, melainkan jam saku. Wajahnya berubah drastis. Kepanikan melintas di matanya.

Komandan itu menghentikan langkah tepat di depan Ren, lalu membungkuk sedikit, memperhatikan Ren yang terkapar dengan ekspresi puas. "Tuhan menyertai mereka yang tiada rasa takut."

Dalam satu gerakan, ia mengangkat senjata api yang kini berada di tangannya.

"Senjata ini milikmu, bukan, Amour?" katanya dengan nada santai, meski ada ejekan yang jelas dalam suaranya. "Aku harus berterima kasih. Senjata yang bagus, meskipun pemiliknya payah."

Amour mundur setengah langkah, kebingungan menguasai raut wajahnya. Jemarinya meraba jam saku yang kini tergenggam erat.

"Seharusnya kau lebih berhati-hati dengan barang-barangmu," lanjut komandan, sambil memutar senjata api itu di tangannya, seolah mengejek. "Kau tahu, ini terlalu berharga untuk dibiarkan lepas begitu saja."

Violet, yang berdiri tak jauh, menatap Amour dengan ekspresi terkejut bercampur bingung. "Amour, apa yang sedang kau lakukan?" bisiknya lirih.

Amour tidak menjawab, hanya menatap jam saku di tangannya seolah benda itu adalah kutukan.

"Oh, kau baru menyadari?" Komandan itu tertawa kecil. Ia mengangkat senjata api itu lebih tinggi, memperlihatkannya pada semua orang. "Inilah kekuatan Harta Mulia-ku. Aku bisa menukar benda apa pun yang kusentuh dengan benda lain yang ada di sekitarku. Kau ingin menodongku tadi, bukan?" Komandan itu menyeringai. "Sayang sekali, senjata api itu kini milikku. Dan sebagai gantinya..."

Ia menunjuk ke arah tangan Amour dengan pistol yang sama. "Kau hanya mendapatkan jam saku kecil ini. Lelucon yang mengagumkan, bukan?"

Amour menggeram pelan, tetapi tidak bergerak. Kepanikannya semakin jelas. "Harta Mulia... sialan!"

"Ah, jangan bilang kau bahkan tidak tahu apa yang kau genggam sekarang." Komandan itu mendekat, dengan senyum penuh ejekan. "Atau mungkin, jam itu benar-benar tak berarti bagimu? Anggap saja ini adalah hadiah terima kasih dari kerajaan, bukan? Apa kau bahkan tahu cara menggunakannya?"

Amour melirik Ren yang masih terbaring, napasnya berat. Wajah Amour menegang saat komandan terus berbicara.

"Kau tidak mengerti, ya? Kau terlihat seperti anak kecil yang kebingungan membaca jam analog." Tawa komandan itu membahana, memenuhi udara malam yang dingin. "Jangan khawatir. Aku akan membantumu. Sementara kau sibuk mencari tahu bagaimana membaca jam itu, aku akan memastikan Ren ini tidak berani lagi melawan."

Komandan mengarahkan senjata api itu langsung ke kepala Ren. Dengan santai, ia melangkah lebih dekat, seolah menikmati kemenangan yang mutlak.

Amour menggenggam erat jam saku di tangannya, matanya menyipit penuh amarah. Tetapi ia tahu, dalam situasi ini, bergerak sembarangan hanya akan memperburuk keadaan. "Aku tidak akan memaafkanmu..." gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

"Ah, kau bicara sesuatu, Amour?" Komandan menyeringai tajam, jarinya mulai menekan pelatuk.

Ren melihat moncong senjata itu mengarah tepat ke dahinya. Segalanya terasa lambat—napasnya yang tersengal, tatapan puas komandan, dan Violet yang hendak berteriak tetapi hanya bisa terdiam, mulutnya terbuka tanpa suara.

Tapi sebelum komandan menarik pelatuk, Amour tiba-tiba bergerak.

"Harta Mulia sialan!" seru Amour, melemparkan jam saku di tangannya dengan gerakan cepat, mengarah tepat ke kepala komandan.

Komandan hanya menggeser tubuhnya sedikit, membiarkan jam itu meleset. Ia tertawa kecil. "Sungguh menyedihkan."

Tangan komandan kembali terarah ke Ren, dan dalam satu letusan, suara tembakan memecah keheningan.

Ren terhuyung ke belakang. Sakit yang tajam menjalar dari dadanya, sebelum ia terjatuh ke tanah. Pandangannya berputar, mencoba fokus, tetapi dunia mulai memudar. Ia merasakan darah hangat mengalir dari tubuhnya, merembes ke tanah yang becek.

"REN!" teriak Violet, mencoba berlari ke arahnya, tetapi dua penjajah segera menangkapnya. Louise hanya bisa mematung, wajahnya membeku dalam ketakutan.

Amour tak bisa lagi menahan diri. Ia menyerang tanpa berpikir, tangannya kosong, tetapi penuh kemarahan. Ia berlari ke arah komandan dengan langkah panjang, mencoba meraih senjata yang dipegang pria itu.

"Bodoh," gumam komandan, memutar tubuhnya dengan tenang. Dalam satu gerakan, ia mengarahkan senjata itu ke Amour, tetapi tidak menembak. Sebaliknya, ia memberi isyarat dengan jari, dan para penjajah di belakangnya langsung bergerak.

Amour hanya sempat mengayunkan tinjunya sekali sebelum empat penjajah menjatuhkannya ke tanah. Mereka memukulinya tanpa ampun, menghantam wajah dan tubuhnya dengan sepatu berat dan tangan yang keras.

"Berhenti!" Violet berteriak, suaranya pecah. Ia meronta, tetapi genggaman penjajah terlalu kuat.

Komandan hanya memperhatikan dengan senyum tipis. "Lihat? Mereka selalu begini. Ceroboh. Tidak tahu tempat mereka."

Ren, terbaring di tanah, hanya bisa melihat samar-samar. Matanya semakin berat untuk terbuka. Napasnya tersengal, tubuhnya terasa semakin dingin. Suara pukulan dan teriakan Amour menjadi latar belakang samar di telinganya.

"Jangan..." bisik Ren lemah, mencoba mengangkat tangannya, tetapi tubuhnya tidak merespons. "Amour..."

Komandan mendekati Amour yang kini terkapar dengan darah menetes dari sudut bibirnya. Ia berjongkok, memiringkan kepalanya sambil tersenyum mengejek. "Dan kau berpikir bisa menyelamatkan mereka? Sungguh konyol."

Amour meludah darah ke tanah, menatap komandan dengan mata menyala. "Aku akan membunuhmu... suatu hari nanti..." suaranya lemah, tetapi ada kemarahan yang tak dapat disembunyikan.

Komandan berdiri, menyeka tangannya seperti baru saja selesai dengan pekerjaan kotor. "Semua ini menyedihkan. Tapi, aku menikmati waktuku." Ia melambaikan tangannya pada penjajah lain. "Bawa mereka. Pastikan mereka tetap hidup untuk sekarang."

Amour dipaksa bangkit oleh penjajah, tubuhnya yang lemas hampir tidak bisa berdiri tegak. Jam saku yang tadi dilemparnya kini tergeletak di tanah, pecah menjadi beberapa bagian. Ia melirik Ren yang terbaring diam, sebelum akhirnya pandangannya teralihkan oleh pukulan lain ke perutnya.

Ren hanya bisa melihat mereka pergi dalam kabut pandangan yang semakin gelap. Napasnya tersengal, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar tidak berdaya.

Sebelum semuanya benar-benar hitam, Ren mendengar langkah kaki menjauh, suara teriakan Violet yang tertahan, dan bisikan samar Amour:

"Kau tidak akan mati sia-sia... Ren..."

Amour, meski telah membantu penjajah, dihina dan dilumpuhkan dengan mudah oleh mereka, menunjukkan bahwa kesetiaannya pun tak berarti. Dalam kondisi lemah, Ren mendengar ejekan penjajah terhadap Amour, memanggilnya "Caelfall yang sedikit lebih suci".