"Ya ampun, kenapa bisa sampai begini?"
Dalam keadaan itu, secara kebetulan, Ralph sedang berada tidak jauh dari tempat Ren terjatuh. Ia melihat sosok Ren yang terkulai lemas, tak mampu bangkit dari kejatuhan. Tanpa ragu, Ralph segera mendekat dan mengangkat tubuh Ren yang terjatuh. Dengan hati-hati, ia membawa Ren menuju tenda yang terletak tak jauh dari situ, berusaha menyelamatkan satu-satunya orang yang tersisa dalam hidupnya. Tenda-tenda yang tampak rapi dan terorganisir di luar terasa kontras dengan keadaan Ren yang kini hampir tak berdaya.
Ren, dalam keadaan setengah sadar, merasakan dirinya dibawa oleh Ralph. Ia tak mampu melawan, tak lagi memiliki kekuatan untuk bergerak. Saat Ren akhirnya terbangun, yang pertama kali ia rasakan adalah kehangatan. Ia mendapati dirinya terbaring di pangkuan Ralph.
Mata Ren kabur, sulit untuk membuka sepenuhnya, ia bisa merasakan tubuhnya yang dipeluk dengan lembut. Instinct pertama Ren adalah untuk menjaga jarak, tapi tubuhnya yang lemah membuatnya tak dapat berbuat banyak.
Dengan kesadaran yang mulai kembali, Ren tahu betul bahwa ia harus menjaga jarak dengan Ralph. Status sosial mereka yang berbeda terlalu jelas—Ralph sudah dianggap sebagai bangsawan, sementara dirinya hanyalah seorang yang terbuang, orang yang tak punya tempat lagi. Jarak itu tak hanya ada secara fisik, tetapi juga ada dalam setiap pikiran Ren yang terus mengingatkan dirinya bahwa kedekatan semacam ini tak boleh terjadi. Akan tetapi... tubuhnya, dalam keletihan yang mendalam, menuntut sesuatu yang lebih.
Ralph tidak menunjukkan sedikit pun keberatan. Wajahnya tetap tenang, penuh perhatian. Dengan senyum yang tulus, ia berkata, "Kamu tidak perlu terlalu kaku dan menjaga jarak." Suaranya lembut, penuh pengertian.
Mendengar itu, Ren merasa seperti ada yang tidak beres. Pandangan Ralph sedikit mengganggu—ada sesuatu di sana yang membuatnya merasa dipandang rendah, seolah-olah Ralph menganggapnya lebih rendah. Dirinya tersadar kembali, perasaan itu segera diabaikan, karena Ren yakin bahwa perasaan sangka buruknya hanyalah terhalang oleh rasa benci yang mulai menyelimuti hatinya terhadap bangsawan, superior, dan otoritas yang merasa tinggi. Kecewa, marah, dan frustasi bercampur aduk dalam dirinya, terutama terhadap orang-orang yang telah membuat hidupnya penuh penderitaan. Untuk Ralph, jelas itu berbeda...
Ren hanya bisa menatapnya sebentar, mencerna kata-kata itu di dalam hatinya yang sedang kacau. Tiba-tiba, rasa lapar yang teramat sangat menyergap tubuhnya. Ia merasa lemah, hampir tak bisa bergerak, dan hanya bisa menerima saat Ralph menyodorkan semangkuk sup hangat kepadanya.
Pada awalnya, Ren merasa sungkan. Ada rasa tidak nyaman yang menghalangi dirinya untuk menerima bantuan itu. Tapi lambat laun, rasa lapar yang mencekik membuatnya akhirnya menerima dengan enggan. Tangannya menggenggam mangkuk itu dengan berat, tetapi ia tahu, ia tidak punya pilihan lain. Makanan itu memberi sedikit rasa lega bagi tubuhnya yang kelelahan.
"Kamu tak perlu merasa sungkan," ujar Ralph sekali lagi. "Kamu perlu makan agar bisa bertahan."
Ren menunduk, mencoba menghindari tatapan Ralph. Tubuhnya terasa lemah, ada sesuatu dalam diri Ralph yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang, meskipun ia tidak bisa mengartikannya dengan jelas. Sesuatu yang mengingatkan Ren bahwa, meskipun dunia telah begitu keras padanya, masih ada orang yang peduli.
"Aku... Aku tak tahu apa yang harus kulakukan," Ren akhirnya berkata, suaranya serak karena kelelahan dan rasa sakit yang terus menggerogoti tubuhnya. "Aku merasa... kehilangan."
Ralph terdiam sejenak, tak memberikan jawaban langsung. Ia hanya duduk di samping Ren, memberi ruang bagi Ren untuk mengungkapkan perasaannya tanpa terburu-buru. Keheningan itu mengalir begitu saja, bukan karena canggung, tetapi karena keduanya tahu bahwa tidak semua pertanyaan bisa dijawab dengan kata-kata.
"Kehilangan itu berat," ujar Ralph setelah beberapa saat, dengan suara lembut yang penuh empati. "Tetap saja... kita harus terus bergerak maju, meski sulit."
Ren hanya menatapnya, terdiam dalam kebingungannya. "Aku takut... Tak akan ada yang tersisa setelah ini."
Ralph memberikan senyum kecil. "Ada banyak yang bisa kita lakukan bersama. Tak ada yang benar-benar hilang jika kita memilih untuk bertahan."
Kalimat itu menyentuh relung hati Ren yang selama ini terasa kosong. Dalam keputusasaannya, ada secercah harapan yang mungkin bisa ia genggam, meskipun ia masih ragu. Mungkin, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada sesuatu yang bisa ia percayai—bahwa ada jalan untuk bertahan, meskipun beban yang dipikul terasa sangat berat.
Ren menatap Ralph dengan pandangan kosong, matanya yang kabur mencoba menyusun kata-kata dalam kepalanya yang kacau. Ada rasa bingung yang menyelimuti hatinya, sulit membedakan antara rasa terima kasih yang tulus dan perasaan lainnya yang begitu mendalam. Meski tubuhnya merasa lelah, hatinya seperti terbuka sedikit demi sedikit, memberi ruang bagi kata-kata yang ingin ia keluarkan.
"Terima kasih," bisiknya, suaranya hampir tenggelam dalam kesedihan yang membungkusnya. Kata-kata itu terasa begitu berat, seperti beban yang perlahan terlepas, meskipun sesungguhnya tidak ada yang benar-benar hilang.
Pandangan Ren kembali mengarah pada Ralph. Ada sesuatu dalam diri Ralph yang membuatnya merasa aman, meski masih ada keraguan yang mengganjal. Seseorang yang menunjukkan perhatian tanpa pamrih, tanpa mengharapkan balasan.
Ren menundukkan kepala, mencoba menghindari tatapan Ralph yang tampak terlalu penuh perhatian dan juga untuk menatap tangan yang menggenggam mangkuk sup itu, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Sebetulnya aku sudah memprediksi semua ini," ujarnya dengan suara serak, hampir seperti bisikan. "Aku pernah mengalaminya..."
Suara Ren terhenti sejenak, dan ia menelan rasa sakit yang kembali muncul. Kalimat itu keluar tanpa ia sengaja, seperti sebuah pengakuan yang terlalu berat untuk dipikul. Ia menatap Ralph, merasa seolah-olah sedang membuka lembaran baru dari masa lalu yang seharusnya tetap terkunci rapat.
Ralph hanya mengangguk pelan, tak menunjukkan tanda-tanda keheranan, meskipun Ren tahu bahwa kata-kata itu pasti terdengar aneh. "Apa yang kamu maksud dengan itu?" tanyanya, suara Ralph tetap lembut, tapi ada ketertarikan yang tak bisa disembunyikan di matanya.
"Oh tidak... tidak apa, aku jadi sedikit melantur."
Ralph tertawa kecil, tawa itu tidak terdengar sinis atau meremehkan. Ada ketulusan dalam senyumnya, sebuah pengertian yang membuat Ren merasa sangat aneh. Senyum itu, yang semula terasa menghibur, tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang lebih berat, mengingatkan Ren pada dirinya sendiri—tentang rasa bersalah yang kini mulai merasukinya. Ia merasa telah mengungkapkan terlalu banyak, membuka diri dalam cara yang tak pernah ia rencanakan.
Ia menundukkan kepalanya, mencoba menyembunyikan perasaan yang mengalir deras di dalamnya. "Maaf..." gumamnya pelan, hampir tidak terdengar. "Aku... tidak seharusnya berkata begitu."
Ralph, yang melihat perubahan dalam diri Ren, tidak membiarkan kesunyian itu berlarut. Tanpa sepatah kata pun, ia bangkit dari tempat duduknya. Langkahnya mendekat perlahan, dan tanpa memberi kesempatan bagi Ren untuk menanggapi, Ralph berlutut di depan Ren yang kini terduduk diam, tubuhnya tertunduk dalam kebingungannya. Perlahan, dengan gerakan yang penuh kelembutan, Ralph memberikan Ren dekapan.
"Semua akan baik-baik saja," ujar Ralph pelan, suaranya penuh keyakinan. "Kalaupun kamu berkata demikian, aku tetap akan mempercayainya."
Pelukan itu terasa hangat, memberikan ketenangan yang tidak terduga. Ren, yang semula kaku dan enggan, merasa hatinya sedikit bergetar. Ada rasa aman yang hadir begitu saja, seperti sebuah harapan yang telah lama terkubur, perlahan muncul kembali dalam dirinya. Sebuah harapan yang dulunya terasa jauh, kini terasa begitu dekat berkat ketulusan yang disampaikan Ralph.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Kemudian, Ralph perlahan menarik diri, menatap Ren dengan keheranan. Wajah Ren, yang semula dipenuhi kebingungannya, kini tampak berbeda—seolah ada sesuatu yang baru, sebuah kesadaran yang muncul, meski masih sulit dijelaskan.
Ren menatap Ralph, berusaha memahami apa yang baru saja ia rasakan. Ada semacam kedalaman baru dalam dirinya yang terbuka, tetapi juga perasaan bingung yang datang begitu mendalam. Rasa malu masih menggantung di hatinya, namun sesuatu yang lain lebih mendominasi—perasaan untuk bertahan, untuk melindungi, untuk mencari harapan yang lama terkubur.
Dari sudut pandangnya, Ren mulai menyadari bahwa harapan itu datang bukan hanya dari kata-kata atau tindakan Ralph. Harapan itu datang dari dirinya sendiri, meskipun ia pernah merasa terperangkap dalam penderitaan dan kehilangan yang begitu dalam.
Ia sudah terlahir di tanah yang penuh dengan harapan yang terkikis. Sebagai pribumi yang merasa terbuang, Ren tidak pernah melihat dirinya berhak untuk meraih kebahagiaan atau bahkan merasa aman. Dirinya menyadari, jauh di dalam hatinya, ada cita-cita yang membara untuk bisa melindungi orang-orang terdekatnya—terutama orang-orang yang ia sayangi, meskipun ia tahu bahwa untuk mencapai itu, ia harus berkorban besar.
"Kalau saja aku bisa melakukan sesuatu untuk mereka," Ren berbisik, suara tenggelam dalam perasaan yang mendalam. "Mungkin aku bisa melakukan lebih banyak… untuk membuktikan bahwa aku layak… bahwa aku bisa berbuat baik."
Kata-kata itu keluar begitu saja, dan Ren merasakan seolah beban berat sedikit terangkat. Ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang ia pendam. Ia tidak hanya ingin bertahan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang-orang di sekitarnya. Itu adalah sebuah niat yang menggebu, meskipun ia harus berbohong tentang asal-usul dirinya untuk mendapatkan kesempatan. Ia memilih untuk membelot dari tanah airnya dan menawarkan diri sebagai relawan perang, demi membuktikan bahwa ia setia pada penjajah dan bisa mendapatkan hidup yang layak. Ia tahu bahwa jalan itu penuh pengorbanan, tapi satu-satunya cara untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik adalah dengan melakukan hal-hal yang tak terbayangkan sebelumnya.