Chereads / GLEIPNIR: Nihil / Chapter 32 - 32 - Untuk Kali Ini Saja, Kumohon?

Chapter 32 - 32 - Untuk Kali Ini Saja, Kumohon?

Setelah beberapa saat, Ralph menarik diri dari pelukan itu, cukup untuk menatap wajah Ren. Pandangannya yang semula penuh perhatian kini berubah, sedikit menyiratkan keheranan. Di sisi lain, mata Ren yang sebelumnya redup karena kelelahan, kini menatap dengan intensitas baru. Ada sesuatu yang baru—bukan lagi kebingungan, melainkan dalam dirinya, seperti bara api yang menyala perlahan di balik keheningan. Sorot mata yang menandakan keputusan.

"Ada apa?" Ralph bertanya pelan, nada suaranya masih lembut, ada kekhawatiran yang tersirat.

Ren tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Ralph dalam diam, pikirannya penuh dengan pemikiran yang bertubrukan. Dalam sekejap, ingatan-ingatan yang menyakitkan tentang kekalahan, penderitaan orang-orang terdekatnya, dan harga dirinya yang terinjak kembali menghantui. Tapi bersamaan dengan itu, muncul keyakinan yang menguat.

"Kamu memikirkannya lagi, bukan?" suara Ralph pelan, hampir berbisik.

"Aku tahu apa yang harus kulakukan," Ren akhirnya berkata, suaranya sedikit serak. "Aku akan bergabung dengan mereka. Aku akan menjadi relawan perang. Dengan begitu, aku bisa membuktikan kesetiaanku. Aku bisa mendapatkan posisi yang cukup kuat untuk melindungi mereka yang masih tersisa... termasuk dirimu juga."

Mata Ralph melebar, kejutan terlihat jelas di wajahnya. "Apa maksudmu?" Ralph bertanya, mencoba menahan suara yang mulai bergetar.

Ia meraih bahu Ren, memegangnya erat, seolah mencoba menghentikan niat laki-laki itu bahkan sebelum ia melangkah lebih jauh.

Ren mengalihkan pandangannya, tak mampu menatap langsung ke arah Ralph. "Ini satu-satunya cara. Jika aku tidak melakukannya, aku hanya akan menjadi beban. Aku harus melakukan sesuatu… untuk membuktikan bahwa aku layak."

Ralph menggeleng, matanya yang sebelumnya tenang kini penuh dengan emosi yang sulit didefinisikan. Ada rasa marah, kecewa, dan… ketakutan. "Kamu tidak perlu melakukan ini," katanya tegas. "Tetaplah di sini. Jangan melakukan hal bodoh seperti itu. Kamu… kamu tidak perlu membuktikan apa-apa kepada siapa pun."

"Aku harus melakukannya!" Ren balas berseru, suaranya meninggi untuk pertama kalinya sejak perbincangan itu dimulai. Ia menepis tangan Ralph dari bahunya, lalu berdiri dengan gemetar. "Apa yang kau tahu? Kau sudah berada di sisi mereka. Kau tidak tahu bagaimana rasanya menjadi bagian dari yang diinjak-injak setiap hari, kehilangan segalanya!"

Kata-kata itu seperti pukulan telak bagi Ralph. Gadis itu terdiam sesaat, tetapi kemudian, ia menarik napas panjang dan mencoba menenangkan dirinya. "Ren," Ralph memanggil dengan suara yang lebih lembut, tetapi penuh ketegasan. "Apa kamu pikir dengan bergabung bersama mereka, kamu akan benar-benar bisa melindungi orang-orang terdekatmu? Mereka hanya akan memanfaatkanmu, lalu membuangmu begitu saja. Aku tahu bagaimana cara mereka bekerja."

Ren menatapnya tajam. "Dan kau masih memilih berada di sisi mereka?" Ia mencibir, nada suaranya penuh sarkasme. "Kau berbicara seolah tahu segalanya, tapi kenyataannya kau sama saja dengan mereka. Kau sudah memihak penjajah! Kau…"

"Aku melakukan apa yang harus kulakukan untuk bertahan!" Ralph memotong dengan nada tinggi, sesuatu yang jarang sekali ia lakukan. "Kamu pikir aku tidak berjuang? Kamu pikir aku tidak peduli? Aku di sini untuk memastikanmu untuk tidak membuat keputusan bodoh yang akan menghancurkanmu. Aku di sini untukmu, Ren. Apakah itu tidak cukup?"

"Bertahan? Kau bahkan tidak tahu artinya. Kau hanya menjual tanah kelahiranmu pada penjajah dan berpikir itu adalah cara untuk bertahan. Apa kau tidak sadar, Ralph? Mereka tidak peduli padamu. Mereka hanya butuh orang seperti kita untuk membangun pondasi mereka."

"Dan kamu pikir kamu berbeda?" Ralph membalas, suaranya mulai meninggi. "Kamu pikir dengan menjadi relawan perang kamu akan bisa mengubah sesuatu? Tidak, Ren. Kamu hanya akan menjadi alat bagi mereka. Mereka tidak akan melihatmu sebagai pahlawan, mereka hanya akan melihatmu sebagai orang bodoh yang mudah dimanipulasi."

Ren terdiam sesaat, tapi bukan karena kata-kata Ralph membuatnya ragu. Sebaliknya, ia merasa darahnya semakin mendidih. "Aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan. Aku tidak peduli jika aku harus menjadi alat. Selama aku bisa melindungi orang-orang yang penting bagiku, aku akan melakukannya. Aku tidak akan menjadi pengecut yang hanya duduk diam dan menerima semuanya, sepertimu."

Ralph mengertakkan giginya, wajahnya memerah karena emosi yang ia coba kendalikan. "Kau tidak tahu apa yang aku lalui, Ren. Aku melakukan ini karena aku tidak punya pilihan. Aku mengambil jalan ini karena aku tahu aku tidak bisa menang melawan mereka. Tapi kau? Kau malah ingin menyerahkan dirimu ke tangan mereka. Itu bukan keberanian, itu kebodohan."

"Dan apa bedanya dengan yang kau lakukan? Menjual tanah kelahiranmu untuk sedikit kenyamanan? Sama saja, kau pun telah mengkhianati Caelfall." Ren menatap Ralph dengan tajam, suaranya kini penuh kemarahan. "Setidaknya aku punya tujuan. Aku tidak akan berakhir seperti kamu, hidup dalam kebohongan dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja."

Ralph menggelengkan kepala, tatapannya penuh kekecewaan. "Kau tidak mengerti. Aku tidak ingin kau seperti aku karena aku tahu betapa menyakitkannya jalan ini. Aku tidak ingin kau kehilangan dirimu sendiri, Ren. Itu sebabnya aku memintamu untuk tidak pergi."

Ren tersenyum miring, tapi ada kepahitan di balik senyumnya. "Jadi itu alasannya? Kau ingin aku tetap di sini, menjalani hidup seperti yang mereka mau? Menjadi pengecut yang bergantung pada belas kasihan mereka?"

Ralph menghela napas, berusaha menahan rasa frustrasi yang mulai muncul. "Masih tidak mengerti? Biar kuulangi! Aku ingin kau tetap hidup!" Ralph akhirnya kehilangan kendali, suaranya terdengar putus asa. "Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan tentangku. Aku hanya tidak ingin kehilanganmu, Ren. Apa itu salah?"

Ren terdiam, tetapi bukan karena ia setuju. Kata-kata Ralph mengguncangnya, tetapi di balik itu semua, ia hanya semakin yakin bahwa jalannya adalah satu-satunya jalan yang tersisa.

"Kau tidak mengerti," Ren akhirnya berkata pelan, nadanya penuh dengan kelelahan. "Aku tidak punya pilihan lain."

"Kau punya pilihan! Kau selalu punya pilihan!" Ralph mendesak, suaranya melembut lagi. Ia melangkah maju, mencoba mendekat. "Tapi aku akan sangat kecewa... aku dengar, kau pun... telah menumbalkan teman-temanmu hanya demi ambisimu. Kau tidak perlu melakukan itu, Ren. Jangan biarkan mereka mengubahmu menjadi seperti mereka."

Kata-kata itu menusuk jauh ke dalam hati Ren. Ia menatap Ralph dengan pandangan terluka, tetapi juga penuh dengan rasa marah. "Apa kau pikir aku tidak tahu apa yang kulakukan? Kau…" Ren menggertakkan giginya, mencoba menahan emosinya. "Kau benar-benar tidak percaya padaku, ya? Kau pikir aku akan mengkhianati mereka? Apa kau pikir aku seperti itu?"

Ralph terdiam, tak mampu menjawab. Keheningan itu hanya memperdalam keretakan di antara mereka.

"Aku tidak butuh kau mengasihaniku, Ralph," Ren berkata dengan suara dingin. "Aku akan menunjukkan bahwa aku lebih dari sekadar pion dalam permainan mereka. Aku akan membuat mereka percaya, dan pada saat yang tepat, aku akan menghancurkan mereka dari dalam."

Ralph menggeleng, air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Ren, kau tidak perlu melakukan ini. Jangan biarkan kebencian menguasaimu."

"Aku sudah memutuskan," Ren balas dengan tegas. "Dan tidak ada yang bisa menghentikanku."

Ralph menatapnya dengan perasaan campur aduk. Ia ingin berargumen lagi, ingin meyakinkan Ren untuk tetap tinggal. Tapi ia tahu, semakin ia mendorong, semakin Ren akan menjauh. Dengan berat hati, Ralph menundukkan kepala, memilih untuk tidak mengatakan apa-apa lagi.

"Terima kasih atas supnya, aku berhutang padamu." Dengan itu, Ren berbalik dan pergi, meninggalkan Ralph yang berdiri terpaku, pandangannya kosong.

Ralph mengangkat wajahnya, menatap Ren yang perlahan menjauh dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Ia ingin berkata sesuatu, tapi lidahnya terasa kelu. Dalam hatinya, ia tahu, percakapan ini belum selesai. Ini hanya awal dari konflik yang lebih besar, sebuah jurang yang mulai terbentuk di antara mereka.

Dan untuk pertama kalinya, Ralph merasa bahwa ia mungkin tidak akan mampu menjembatani jurang itu.