Chereads / GLEIPNIR: Nihil / Chapter 29 - 29 - Di Tengah Derita

Chapter 29 - 29 - Di Tengah Derita

Suara canda tawa membangunkan Ren dari tidurnya yang gelisah. Matanya mengerjap perlahan, disambut dengan siluet samar-samar dari langit yang mulai terang di luar. Perlahan, tubuhnya terasa kaku. Dingin menggigit kulitnya, membuatnya menyadari betapa rapuh dan rentannya dirinya saat ini.

Setelah beberapa detik, barulah ia menyadari bahwa dirinya tidak berada di tempat yang biasa. Terakhir kali ia mengingat, dirinya terjatuh setelah pertempuran yang penuh luka. Lalu semuanya menjadi kabur. Kini, ia terbangun di sebuah tempat yang asing. Dinding kayu yang rapuh mengelilinginya, sementara tumpukan tubuh manusia yang bergerombol membuat udara semakin sesak. Sebuah pengungsian? Dirinya tidur hanya beralas kain tipis yang hampir tak berguna melawan suhu pagi

Ren menoleh ke samping, matanya menatap beberapa orang yang duduk dalam kelompok kecil, tertawa riang. Di antara mereka, ada yang saling berbicara sambil mengunyah dengan lahap, berbicara tentang keberuntungan mereka yang mendapatkan jatah lebih banyak dari pengungsi lainnya. Suara-suara itu terasa begitu jauh dan asing baginya, meski mereka berada begitu dekat.

Sebuah dialog terdengar jelas di telinganya, menyadarkannya akan kenyataan yang lebih pahit.

"Syukurlah, hari ini kita dapat lebih banyak dari yang biasa. Pagi ini, sisa makanan dari sarapan rutin diambil orang itu." Seorang pengungsi perempuan tertawa sambil menatap temannya.

Ren merasakan kekosongan di perutnya. Bagaimana bisa? Tidak ada makanan di dekatnya, dan rasa lapar yang tak tertahankan mulai menguasai dirinya. Walaupun seharusnya hari itu dimulai dengan segarnya udara pagi, yang ia rasakan justru kebingungan dan kekosongan. Ia menarik napas, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia tidak memperhatikan semua ini sebelumnya? Semua orang tampaknya sibuk dengan urusan mereka sendiri, tetapi dia, seolah-olah tak bisa melihat dunia sekitar dalam keadaan seperti ini.

Tapi, rasa lapar itu—rasanya begitu menakutkan, lebih dari apapun yang ia rasakan saat ini. Matanya menatap ke arah pengungsi yang menikmati makanannya, merasa perutnya semakin keroncongan. Namun, rasa lapar itu tidak cukup untuk menutupi rasa dingin yang mulai merayap dari ujung jarinya.

Tiba-tiba, sebuah rasa sakit tajam mengingatkannya pada luka-luka yang dia derita sebelumnya. Dengan perasaan was-was, ia meraih pundaknya, merasakan bekas luka yang mulai mengering. Darah yang dulu mengalir deras kini telah membeku, meninggalkan tanda yang terasa perih di setiap gerakan. Tak jauh dari sana, pahanya juga terasa nyeri, bekas luka yang mulai pulih, tetapi menyisakan rasa sakit yang memengaruhi langkahnya.

Ia tahu—ini adalah proses regenerasi alami tubuhnya, meski begitu, tidak bisa disangkal bahwa nyeri itu mengingatkannya pada apa yang telah terjadi.

Ren menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tidak terjebak dalam perasaan frustasi yang kian menumpuk. Wajahnya berubah keras, ketegangan memuncak di dalam dadanya. Apa yang terjadi padanya? Sejak kapan ia merasa begitu lemah, begitu rapuh?

Menarik dirinya dari tempat tidur yang sempit itu, ia memutuskan untuk berdiri, meski tubuhnya terasa begitu berat. Begitu ia berdiri, dunia di sekitarnya sedikit berputar. Sekujur tubuhnya terasa lemas, seolah setiap inci ototnya menahan rasa sakit dan kelelahan yang tak terungkapkan. Dia tahu bahwa dia harus bergerak, meski seluruh tubuhnya ingin menyerah. Rasa lapar, rasa sakit, dan dingin—semuanya harus ia tanggung jika itu berarti bisa mengubah nasibnya.

Ia menoleh ke arah pengungsi yang sedang menikmati makanan mereka, kemudian menatap jauh ke depan. Perasaan kecewa muncul sejenak. Baginya, makanan atau kenyamanan bukanlah prioritas. Namun, situasi ini... situasi ini harus berubah.

Tiba-tiba, suara bentakan terdengar dari arah yang berlawanan. Komandan dengan pakaian berkilau seperti seorang bangsawan, berdiri di atas platform yang lebih tinggi, tampak begitu angkuh. Wajahnya tampak keras, matanya menatap ke bawah dengan ekspresi yang mengintimidasi. "Para Caelfall! Segera keluar dan menuju kamp pelatihan. Tidak ada yang tinggal di sini lagi!" perintahnya dengan nada keras, memaksakan setiap kata keluar seolah tak ada ruang untuk penolakan.

Ren merasa kebingungannya semakin mendalam. Kamp pelatihan? Itu dulunya adalah kebanggaan desa Caelfall, tempat para pejuang dilatih menjadi orang-orang tangguh. Dengan bentakan lebih keras, komandan itu mengancam lagi. "Cepat! Semua Caelfall, keluar dan jalani latihan kalian! Jangan buang waktu!" Komando itu disertai dengan gerakan kasar yang seakan mengusir mereka.

Ren menggigit bibirnya, rasa sakit yang mengalir dari tubuhnya membuatnya hampir jatuh lagi. Namun dia memaksa dirinya untuk berdiri. Dengan langkah tertatih, ia mengikuti para pengungsi yang mulai keluar dari tempat perlindungan mereka. Saat matanya melirik ke sekitar, ia melihat rombongan pengungsi lain tampak lebih lusuh, mengangkut beban berat dengan tangan kosong. Tak ada alat bantu, hanya tenaga kasar yang digunakan untuk mendorong gerobak tua, mengangkat kayu, atau menarik tali tambang besar.

Mereka yang tak kuat berjalan terjatuh ke tanah, tubuh mereka diinjak oleh yang lain tanpa ragu. Mereka yang tak sadarkan diri dibiarkan tergeletak begitu saja.

Di belakang rombongan itu, beberapa bangsawan berdiri, mengamati dengan tenang. Ren melihat salah satu dari mereka tersenyum kecil, seperti menikmati pemandangan yang tersaji.

Ren mengepalkan tangan. Kepedihan dan rasa frustrasi membakar dadanya. Pemandangan ini tidak masuk akal, tidak manusiawi. Apa yang sebenarnya terjadi?

Rasa bosan yang ia rasakan terhadap pedang dan pelatihan kini mulai terasa seperti sebuah ironi. Jika ia tidak menyerah dulu, apakah ia akan menjadi seperti orang-orang yang memperlakukan sesamanya seperti ini? Sesuatu dalam dirinya berteriak untuk bertahan. Ia tahu ini bukan tempatnya, ini bukan cara hidupnya.

Komandan itu berseru lagi, suaranya tajam menusuk udara pagi. "Perhatikan baik-baik!" katanya sambil menunjuk rombongan pengungsi yang memikul beban berat di kejauhan. "Itulah nasib mereka yang tidak sanggup bertahan di kamp ini. Mereka menjadi tenaga murah tanpa harga diri, perlahan mati dengan cara yang menyedihkan."

Ren memandangi orang-orang itu kembali. Tubuh mereka yang kurus dan wajah kosong tanpa semangat hidup menyiratkan penderitaan yang berkepanjangan.

"Dan kalian yang ada di sini," lanjut komandan, kini suaranya lebih rendah namun sarat ancaman, "akan berlatih sebagai relawan perang. Kerajaan Southbrid membutuhkan kalian untuk mengisi barisan depan di medan tempur."

Rasa muak menyusup ke dalam dada Ren. Relawan perang? Untuk Southbrid? Ia memalingkan wajah, tak ingin menunjukkan amarahnya. Dalam hati, ia mengumpat. "Mereka memanfaatkan kita. Bukan untuk Caelfall, melainkan untuk perang mereka sendiri."

Barisan pengungsi mulai terbentuk. Komandan itu terus berbicara, suaranya menggema, menjelaskan bahwa Caelfall kini sepenuhnya berada di bawah kendali Southbrid. Tak ada pilihan lain selain tunduk.

Ren mengamati Louise yang berdiri tak jauh darinya. Pemuda itu hanya diam, wajahnya kosong. Tak ada perlawanan, bahkan tak ada ketakutan. Ren mengenali perubahan itu—Louise yang dulu penuh semangat kini seperti bayangan dirinya yang lama. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya... Sejak Roze pergi.

Tiba-tiba, suara keras memecah barisan. "Tidak!" seru seorang gadis muda. Semua mata beralih ke arahnya. Gadis itu berdiri tegak, rambut hitamnya berantakan, tetapi matanya memancarkan keteguhan yang tajam.

Komandan itu menoleh, lalu berjalan mendekat. Langkahnya berat, mengintimidasi. "Siapa namamu?" tanyanya dengan nada rendah.

Gadis itu mengangkat dagunya, menatap langsung ke arah komandan. "Crishaletta," katanya tanpa ragu.

"Nama yang cantik," ucap komandan, senyumnya tipis, hampir mengejek. "Nama belakangmu?"

Crishaletta terdiam sejenak. Keteguhannya mulai goyah, tetapi ia akhirnya menjawab, suaranya lirih, nyaris berbisik. "Reiss."

Komandan itu tertawa terbahak-bahak. "Reiss? WHAHAHAHA! Jadi kau salah satu dari mereka?" Ia menatap gadis itu dengan pandangan meremehkan, seperti seorang pemburu yang menemukan mangsa menarik.

"Diriku, Renard Harmesht," kata komandan itu dengan sombong. "Mungkin keluargamu masih mengenal namaku. Kami, Harmesht, adalah penguasa baru. Dan kau, Reiss kecil, hanyalah sisa masa lalu yang layak dilupakan."

"Nama keluarga Reiss. Pecundang yang kalah perang bahkan setelah mengerahkan seluruh prajuritnya," katanya sambil mendekati Crishaletta. Ia meraih dagunya dengan kasar, memaksa gadis itu menatapnya langsung.

Crishaletta hanya membalas dengan menatap, sorot matanya larut dalam kebencian.

Renard mengangkat tangannya perlahan, jari-jarinya yang kasar mendekati wajah Crishaletta. "Jangan begitu tegang," katanya pelan, hampir seperti bisikan. Ia membiarkan jempolnya menyusuri sudut bibir Crishaletta dengan sentuhan penuh penghinaan.

"Keluargamu sudah hancur, tunduk di bawah keluargaku," lanjutnya, matanya menatap tajam, menikmati setiap detik ketegangan itu. "Tidak ada lagi yang tersisa, kecuali dirimu."

Ia memiringkan kepalanya, mengamati wajah gadis itu seolah menikmati penghinaan ini. "Kau tahu, aku sering mendengar cerita tentang bagaimana klan Reiss mengerahkan semua laki-lakinya, semua prajurit terbaik mereka, hanya untuk kalah di medan perang. Bahkan saat itu, kau semua tak lebih dari pecundang."

Crishaletta menggertakkan giginya, tapi ia tetap diam. Renard menyeringai lebih lebar, jelas menikmati reaksinya. "Dan hukum lama itu, masih ingat? Kemenangan memberikan hak penuh atas semua milik lawan, termasuk hidup mereka. Kalau aku mau, aku bisa membuatmu milikku sekarang juga."

Ia mendekatkan wajahnya, berbisik tepat di telinga Crishaletta. "Tapi kau tahu apa? Kau terlalu berharga untuk dimiliki sekarang. Aku ingin melihat kau hancur perlahan. Itu akan jauh lebih menyenangkan."

Renard berdiri kembali, tertawa terbahak-bahak sambil melangkah mundur. "Reiss... Pecundang selamanya. Tak peduli apa yang kau lakukan, nasibmu tidak akan berubah."

Crishaletta mengepalkan tangan, tubuhnya gemetar karena marah, tapi ia tetap menatap Renard dengan mata yang penuh kebencian. Sesuatu dalam dirinya menolak untuk tunduk, meski kata-kata itu seperti belati yang menusuk dalam.

Ren merasakan darahnya mendidih melihat itu. Ia tidak mengenal gadis itu dengan baik, tetapi tindakan semacam itu—memperlakukan orang dengan begitu rendah—membuat amarahnya hampir meledak.

Crishaletta tetap berdiri tegak, bibirnya terkatup rapat meskipun tubuhnya gemetar. Tatapannya penuh kebencian ia menahan diri. Renard tersenyum kecil, puas dengan reaksinya, seolah menikmati perasaan superior yang menguasai dirinya.

"Tenang saja," bisik Renard, nadanya berubah licik. "Aku menantikanmu. Kau mungkin akan menjadi hiburan yang menyenangkan."

Ren memalingkan wajah, mencoba menahan dorongan untuk bertindak gegabah. Ia tahu, melawan di sini hanya akan memperburuk keadaan. Tetapi di dalam dirinya, sebuah keputusan mulai terbentuk. Ini tidak bisa dibiarkan. Sesuatu harus berubah.

Tapi suara langkah berat komandan itu semakin mendekat. Ren dapat merasakan aura angkuhnya tanpa perlu melihat.

"Siapa yang di sini merasa dirinya istimewa?" suara komandan Renard menggema di udara, penuh nada ejekan. "Mungkin ada yang berpikir bisa lari dari perang? Bisa memilih nasibnya sendiri?"

Ren tetap diam, tidak menunjukkan reaksi apa pun. Ia tahu lebih baik tidak memancing amarah. Tetapi keberuntungan tidak memihaknya hari ini.

Langkah Renard terhenti di depan Ren. Seperti seorang pemburu yang mencium mangsa, matanya menyipit, mengamati Ren dari ujung kepala hingga kaki.

"Tunggu... Kau..." Suaranya berubah lebih tajam, lebih berbahaya. Tanpa peringatan, kaki komandan itu menghantam paha Ren dengan keras.

Rasa sakit yang tajam menjalar ke seluruh tubuhnya. Ren tersungkur ke tanah, mengerang pelan sambil memegangi pahanya. Luka itu kembali berdenyut, seakan terbuka lagi.

Renard tertawa, tawa yang dingin dan menusuk. "Ahahahah! Jadi kau benar-benar di sini!" katanya sambil menatap Ren yang masih berusaha untuk bangkit. "Kau tahu, aku hampir tidak mengenalimu dalam keadaan menyedihkan seperti ini. Tapi lihatlah sekarang... Sejarah benar-benar suka bermain dengan orang seperti kita."

Ren mendongak perlahan, menatap wajah sombong itu. "Renard Harmesht..." gumamnya.

Renard membungkuk, wajahnya kini sejajar dengan Ren yang masih setengah berlutut di tanah. "Kau ingat aku, bukan? Aku tentu ingat dirimu, Caelfall yang paling idiot."

Ren tidak menjawab, tapi sorot matanya berbicara. Ada kebencian di sana, bercampur dengan rasa sakit yang baru.

Renard tersenyum licik. "Aku heran, apa rasanya sekarang? Menjadi tidak lebih dari pengungsi hina yang harus tunduk pada perintahku? Kau bahkan tidak punya tempat untuk lari lagi, Caelfall."

Ren menarik napas dalam-dalam, berusaha menguasai diri. "Apa kau datang ke sini hanya untuk mengingatkan aku tentang kemarin?" tanyanya datar, meski tubuhnya masih gemetar menahan rasa sakit.

"Ah, kau benar," Renard berdiri tegak, melipat tangannya di dada. "Aku punya tugas yang lebih penting. Seperti memastikan kau, dan semua pecundang ini, berguna di medan perang." Ia menunjuk ke arah barisan pengungsi lainnya, senyumnya berubah menjadi seringai dingin.

Ren memaksa dirinya berdiri, meskipun rasa sakit itu membuat langkahnya goyah. "Aku tidak akan tunduk padamu, Renard," katanya dengan suara rendah.

Renard menatapnya, lalu tertawa lagi. "Oh, Yaya, lagi-lagi omong kosong ala Caelfall. Kau bisa mencoba melawan, tapi aku jamin, kau akan patah pada akhirnya."

Ia berbalik, meninggalkan Ren yang masih berdiri di tempatnya, sementara para pengungsi di barisan lain menatap dengan campuran ketakutan dan rasa penasaran.

Ren mengepalkan tangannya, tatapannya tajam mengikuti punggung Renard. "Ini belum selesai," gumamnya dalam hati. "Aku akan menunjukkan padamu bahwa aku bukan orang yang bisa dihancurkan dengan mudah."

Rasa sakit di pahanya tetap ada, tapi kini tertutupi oleh sesuatu yang lebih besar—keinginan untuk bertahan dan membalas.