"SEMUA SIAP DI TEMPAT!" suara seorang prajurit meledak dari sudut lapangan, menggema seperti lonceng kematian.
Ren menoleh, melihat barisan pengungsi mulai disusun seperti potongan bidak catur yang diatur tanpa tujuan selain pengorbanan. Dirinya menyadari ada beberapa orang yang ia kenal dari kejauhan, Louise menatap kosong ke tanah, sementara Violet berbisik pelan, mencoba menyemangati dirinya sendiri. Tak ada senyum, tak ada kelegaan—hanya ketakutan yang tertutup rapat oleh keinginan untuk bertahan hidup.
Ren merasa kakinya bergerak sendiri, mengikuti arus orang-orang yang menuju lapangan luas. Sebuah panggung besar berdiri di tengah, menampilkan seorang perwira berbaju baja gelap dengan jubah merah darah yang berkibar tertiup angin. Renard berdiri di sana, memimpin prosesi yang lebih menyerupai pemilihan ternak daripada persiapan perang.
"Perhatikan baik-baik!" Renard memulai dengan suara penuh penguasaan. "Hari ini, kalian akan membuktikan nilai kalian! Uji Kemampuan ini sederhana: siapa yang bertahan, berguna bagi Southbrid. Siapa yang gagal, menjadi tenaga kasar atau umpan hidup. Pilihan ada di tangan kalian sendiri—jika memang kalian mampu."
Tawa kecilnya menggema, membuat suasana semakin tegang.
Tanpa aba-aba lebih lanjut, mereka dilempar ke dalam arena yang tidak kenal belas kasihan. Uji Kemampuan dimulai seperti badai yang melanda, mendadak dan brutal. Prajurit Southbrid menyerahkan senjata seadanya kepada para peserta—pedang tumpul, tombak yang hampir patah, atau busur dengan tali yang hampir putus. Ren hanya menerima belati kecil dengan mata yang nyaris tak tajam.
"Apa ini lelucon?" pikirnya, tapi ia tidak punya waktu untuk mengeluh.
Arena itu berubah menjadi medan pertempuran kecil. Penghalang kayu dan jebakan tanah tersebar di seluruh area. Peserta diadu melawan makhluk buas yang dilepaskan dari kandang baja—serigala liar, seekor moncong karnivora berbulu hitam yang mengaum dengan taring tajam, dan boneka kayu mekanik yang berputar liar dengan pisau di setiap sudutnya.
Di tengah hiruk pikuk itu, teriakan dan jeritan memenuhi udara. Beberapa orang segera jatuh, kehilangan keseimbangan atau menjadi mangsa pertama makhluk-makhluk itu. Mereka yang lebih kuat mencoba bertahan, menyerang dengan segala kekuatan yang tersisa, bahkan jika itu berarti menggunakan tangan kosong.
Ren memfokuskan pikirannya, menghindari serangan makhluk buas yang melompat ke arahnya. Belatinya terlalu kecil untuk memberikan serangan fatal, tapi ia menunggu celah. Dengan satu gerakan cepat, ia menikam tepat ke leher serigala itu, darahnya mengalir deras, membasahi tanah.
Di kejauhan, Louise terlihat berhasil menghindari jebakan tanah, tombaknya menusuk boneka kayu yang terus berputar, hingga akhirnya mesin itu berhenti bergerak. Violet menjauh dari kerumunan untuk bertahan hidup dengan harapan agar tidak ada yang mendekatinya.
Setelah waktu yang terasa seperti selamanya, terompet berbunyi nyaring. Pertempuran berakhir. Mereka yang masih berdiri terengah-engah, tubuh mereka penuh luka dan keringat.
Renard melangkah maju, matanya meneliti mereka satu per satu. "Kalian yang bertahan," katanya dingin, "akan dikirim ke medan perang untuk membela Southbrid. Buktikan bahwa kalian layak membawa nama kami."
Ia berbalik, menunjuk ke arah mereka yang jatuh atau terluka parah. "Dan kalian yang gagal..." Suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan, tapi penuh ancaman. "Kalian akan menjadi bagian dari mereka yang bekerja untuk kami. Membangun benteng, membawa perbekalan... atau menjadi umpan hidup."
Ren mengepalkan tangan, melihat beberapa wajah yang ia kenal diangkut seperti barang tak berguna. Violet, meskipun selamat, tampak gemetar dengan luka di bahunya. Louise berdiri diam, matanya tetap kosong, seolah memproses apa yang baru saja terjadi.
Ren memalingkan wajah, menatap jauh ke depan. Ini bukan akhir. Ini baru permulaan.
Ren mengatur napasnya, tubuhnya terasa berat setelah pertempuran yang mengguncang tubuh dan pikirannya. Tanpa aba-aba lebih lanjut, makhluk buas dilepaskan lagi, kali ini serigala-serigala dengan cakar runcing dan taring berkilat. Ren menatap mereka, merasakan darahnya mendidih. Inilah medan yang bisa ia kuasai—stamina, kekuatan, dan ketahanan yang dimilikinya membuatnya mampu bertahan lebih lama daripada yang lainnya.
Dengan langkah cepat, ia berlari, melompati jebakan dan menghindari serangan-serangan liar dari makhluk itu. Tubuhnya melesat seakan tak lelah, kaki-kaki yang kuat menapaki tanah keras dengan penuh kecepatan. Meskipun belati kecil di tangannya tak mampu membunuh dengan sekali tusuk, ia cukup tangkas untuk menghindari dan menyerang pada waktu yang tepat, menunggu kesempatan untuk memberikan serangan fatal.
Di sisi lain, Louise berdiri di tempat yang lebih tinggi, di antara reruntuhan kayu dan tanah, dengan tombaknya siap sedia. Ada ketenangan di matanya, perhatiannya terkonsentrasi penuh pada setiap gerakan makhluk yang mengancam. Tombak yang ia pegang menembus satu serigala yang menyerang, sementara ia tidak sekali pun terlihat ragu. Fokusnya tak pernah surut, dan setiap gerakan dengan tombaknya terasa sempurna, seolah dia tahu dengan pasti di mana posisi lawan dan bagaimana cara mengalahkannya.
Amour terlihat lebih cemas, tubuhnya tampak melemah. Hanya gerakan refleks yang membantunya menghindari serangan-serangan makhluk itu. Setiap kali makhluk buas melompat ke arahnya, ia terpaksa menghindar dengan gerakan cepat, menggigil di tengah ketegangan yang semakin tinggi. Tetapi satu hal yang jelas—selalu ada ketenangan sesaat di matanya setiap kali ia berhasil menghindari serangan. Amour tidak terlihat seperti seseorang yang terdesak, meskipun fisiknya jauh lebih lemah dibandingkan yang lain.
Violet bergerak dengan hati-hati, mencoba menghindari kerumunan dan mencari tempat yang lebih aman. Ia tidak menunjukkan keterampilan luar biasa, namun ia cukup cekatan untuk bertahan hidup. Kecepatan dan akurasi bukanlah miliknya, tapi ada ketekunan di dalam dirinya yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Ren mendominasi medan, bukan karena kehebatannya dalam bertarung, tapi karena ketahanannya. Setiap kali ia jatuh, ia bangkit lebih cepat, lebih kuat. Tak ada kata menyerah di benaknya. Hanya langkah demi langkah, maju.
Ini bukan tentang mengalahkan musuh, bukan tentang menghancurkan mereka yang ada di depan. Ini adalah tentang bertahan, tentang menjadi yang terakhir berdiri di antara kehancuran.
Di saat itu, Ren tahu. Ini baru awal dari sebuah perjalanan panjang.
Setelah terompet terakhir berbunyi, udara terasa berat, penuh dengan darah yang masih segar. Tubuh-tubuh yang terluka dibiarkan begitu saja, dan hanya mereka yang masih bisa berdiri yang mendapatkan perhatian. Renard berdiri tegak di depan mereka, matanya menilai dengan dingin, seakan tidak ada yang perlu dirayakan.
"Selamat," kata Renard, suara rendah namun mengandung ketegasan yang menembus ke dalam. "Kalian berhasil bertahan—namun itu belum cukup. Kalian hanya layak disebut bagian dari Southbrid sejati ketika kalian siap menghadapi lebih banyak lagi. Ini bukan akhir, ini baru permulaan."
Ucapan itu menggema di telinga Ren, terasa semakin berat. Ia menatap para peserta lain yang masih tersisa—Louise yang matanya tetap kosong, Violet yang berusaha menahan getaran di tubuhnya, Amour yang masih tampak terhuyung. Tidak ada yang tersenyum, bahkan setelah mereka berhasil selamat. Kelegaan yang paling mereka rasakan adalah kenyataan bahwa mereka masih bernapas.
Setelah itu, Renard berbalik tanpa memberi kesempatan untuk pertanyaan lebih lanjut. Pasukan di sekitarnya bergerak, menyebar untuk mengatur para peserta. Beberapa mulai diangkut, sementara yang lainnya digiring menuju tempat yang lebih jauh. Keheningan yang mencekam merayapi tempat itu setelah kata-kata Renard menghilang, seolah-olah waktu berhenti sejenak. Tidak ada perayaan, tidak ada ucapan terima kasih. Hanya ketegangan yang menggantung di udara.
Ren menundukkan kepala, mencoba menahan setiap pertanyaan yang berkecamuk di dalam benaknya. Ketika pasukan mulai membubarkan diri, Ren memilih untuk tetap berdiri. Hanya ada satu hal yang mengganggunya, satu pertanyaan yang terus menghantui—apa yang sebenarnya terjadi pada Roze?
Ren, merasa berat di dada, mengalihkan pandangannya ke Violet yang tampak kesulitan menahan luka-lukanya. Louise berdiri diam, matanya kosong.
"Violet," suara Ren keluar begitu berat, menarik perhatian gadis itu yang sudah berjalan menjauh.
Violet menoleh, bibirnya hampir membentuk senyum yang dipaksakan, namun berhenti begitu saja. Matanya tak menyembunyikan kesedihan, hanya ada kelelahan yang dalam. "Ada apa?" tanyanya pelan.
Ren mendekat, suaranya tak lebih dari bisikan yang memecah keheningan yang tegang. "Aku ingin tahu... tentang Roze. Kenapa... kenapa dia bisa—"
Violet menunduk sejenak, meremas lengannya. "Dia—itu bukan keinginan Louise," katanya cepat, seperti berusaha menenangkan keraguan yang muncul. "Keadaan saat itu... kau tahu Roze dalam pengaruh mantra perintah. Dia—"
"Tunggu," Ren memotong, suara pelan tapi penuh ketegasan. "Kau bilang itu bukan keinginan Louise? Bukankah Louise yang... yang... menghujamkan senjatanya pada Roze?"
Violet mengangkat kepala, tatapannya penuh kecemasan. "Ren, kau harus mengerti—Louise tak bisa mengendalikannya. Itu bukan pilihan. Roze tak bisa dikendalikan waktu itu. Louise... dia hanya bertindak untuk bertahan hidup. Tak ada yang ingin Roze mati!"
Ren mendengus tajam, perasaan tak nyaman menyusup ke dalam dadanya. "Jadi, ini semua salah paham? Kau membela Louise? Menganggap dia tak bersalah?"
Violet tampak terkejut, matanya terbuka lebar. "Tidak! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya—" Suaranya bergetar, tetapi ia berusaha menjaga ketenangannya. "Aku hanya ingin kau tahu bahwa dalam situasi itu, tak ada yang bisa memilih apa yang terjadi. Itu... itu terjadi karena semuanya di luar kendali kita."
Ren menatapnya, matanya terbakar oleh rasa sakit yang mendalam. "Maksudmu, ini cuma kebetulan? Sebuah kecelakaan? Begitu saja?"
Violet menunduk, memalingkan wajah seakan menghindari tatapan Ren. "Kadang, tidak ada yang bisa kita kendalikan. Kadang, hidup memaksa kita untuk memilih, dan yang kita pilih—itu bukan selalu yang kita inginkan."
Ren menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang mulai meluap. "Jadi aku harus menerima ini begitu saja? Bahwa adikku mati karena sebuah kebetulan? Karena seseorang yang tidak bisa mengontrol dirinya sendiri?"
Violet terdiam. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Suasana itu begitu berat, hingga keduanya berdiri di sana tanpa bergerak, hanya dihantui oleh kenangan dan rasa yang tak terucapkan.
Akhirnya, Ren menarik napas panjang, menghindari tatapan Violet. "Aku tidak bisa," gumamnya pelan. "Aku tak bisa menerima itu."
Tanpa kata lagi, Ren berbalik, langkahnya terasa seperti beban yang tak tertahankan. Setiap langkahnya menggema di dalam kepalanya, dipenuhi suara-suara yang berperang. Kenapa aku harus percaya pada mereka? pikirnya, napasnya serasa tercekat. Louise? Violet? Mereka semua tampak seperti mereka punya alasan, tapi aku... aku yang harus menanggung semua ini.
Langkahnya semakin berat. Semuanya ini... kesalahan siapa? pikirnya, matanya mengerjap, tak tahu lagi harus melihat ke mana. Roze. Louise. Violet. Itu semua salah satu dari mereka, atau... atau aku yang terlalu lemah untuk melihat kenyataan?
Ia meremas tangannya, berusaha menahan amarah yang memuncak. Apa yang seharusnya aku percayai? suara itu mengganggu lagi, berputar dalam benaknya. Louise? Yang membunuh temannya sendiri karena tak bisa mengendalikan kekuatan itu? Violet? Yang berdiri diam dan menganggap semuanya akan baik-baik saja? Atau... diriku sendiri?
Tubuhnya terasa gemetar, cemas akan jawaban yang tak pernah datang. Tidak ada yang bisa memberi jawabannya. Semua ini terasa seperti jebakan, dan aku... aku hanya terjebak di dalamnya.
Saat langkahnya semakin menjauh dari Violet, dari arena itu, ia merasakan seberkas kepedihan yang sulit diabaikan. Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku percayai. Apa yang seharusnya aku lakukan dengan semua ini?
Tiba-tiba, ada satu pikiran yang menusuk. Apa yang harus aku lakukan jika aku tak tahu siapa musuhku lagi?
Dengan perasaan yang semakin terkoyak, Ren berjalan lebih cepat, berharap bisa meninggalkan perasaan ini, meski dia tahu itu tidak mungkin.
Ren merasakan tubuhnya semakin lemas, seolah seluruh tenaganya habis terkuras.
Langkahnya semakin terseok-seok, pikiran-pikiran yang terus mengganggu hanya memperburuk kondisinya.
Luka-luka yang sudah terabaikan semakin perih, dan perutnya yang kosong menambah penderitaan yang ada.
Setiap tarikan napas terasa begitu berat, seakan dunia ini menuntut untuk mengambilnya.
Keinginan untuk menciptakan rasa aman dan damai bagi orang-orang yang disayanginya terasa semakin jauh dari jangkauan.
Tetapi siapa yang sebenarnya ia sayangi sekarang? Roze yang telah tiada? Hatinya terasa kosong, terhimpit antara kenyataan yang ada dan masa lalu yang penuh kenangan.
Apa alasan yang membuatnya bertahan untuk selama ini?
Haruskah dirinya bertahan sedikit lebih lama lagi?
Sementara itu, tubuhnya semakin melemah...
...dan pada saat itulah dirinya terjatuh tanpa daya, tubuhnya ambruk begitu saja di tanah yang keras.
Rasa sakit yang menyiksa tubuhnya seolah menjadi puncak dari kelelahan yang sudah bertumpuk selama ini—baik fisik, mental, maupun emosional.
Meski ia berusaha untuk terus berjalan, tubuhnya akhirnya tak dapat lagi menyangkal kelemahan itu.