Langit kelam, udara dipenuhi aroma tanah basah dan darah yang samar. Di kejauhan, bayangan perkemahan musuh mulai terlihat. Louise memberi isyarat ke arah kanan, menunjukkan jalur aman menuju lokasi Roze. Violet mengikuti di belakangnya dengan langkah ringan, sedangkan Ren tetap di tempat, mengamati setiap detail.
"Sesuai rencana awal, kita akan bertemu kembali di sini, di bawah beringin ini," bisik Ren, suaranya datar.
"Ren..." Sebelum Louise pergi, dirinya ingin memastikan sesuatu. "Kau tidak perlu melakukan ini sendiri, masih yakin?"
Ren menatapnya sekilas, mata kelamnya penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan—kesedihan yang terbungkus amarah. "Aku harus."
Louise hanya mengangguk sebelum berpencar.
Dedaunan bergoyang pelan, menciptakan suara gemerisik yang seolah menandai dimulainya sesuatu yang besar. Ren menajamkan pendengarannya, menunggu tanda pergerakan musuh.
Hembusan angin membawa suara langkah berat dari arah depan. Ren dengan santainya menuruni bukit. Ren memasuki kawasan dimana para pendatang yang menginvasi bermukim.
Seorang pria tegap, berpakaian hitam dengan ornamen perak di bahunya. Tombak panjang di tangannya bersinar samar, memancarkan aura angin yang meliuk-liuk di sekelilingnya.
Komandan.
Mereka saling menatap dalam hening. Ren menggenggam pedangnya erat-erat, matanya menyipit, mengamati setiap detail.
"Berani sekali kau datang sendiri," kata komandan itu dengan nada rendah yang tajam. "Caelfall."
Ren tersenyum kecil. Ia melonggarkan genggaman pedangnya, mencoba mengubah suasana. Dengan ekspresi yang nyaris polos, ia mengangkat kedua tangannya sedikit.
"Apa kau sedang mencari belas kasihan?" Komandan tertawa mengejek.
Ren melangkah maju dengan santai, matanya tetap tertunduk. "Tentu saja," ucapnya lirih, dengan nada yang dibuat-buat lugu. "Kau tahu, hidup sulit bagi kami. Sedikit pertolongan mungkin akan membuat perbedaan."
Komandan mengangkat alis, merasa puas dengan penghinaan itu. Ia mengayunkan tombaknya ringan, menebas angin dengan satu gerakan lambat. "Kau bahkan lebih hina dari yang kuduga. Menjijikkan."
Ren memiringkan kepalanya, menatap tombak itu dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Tombak yang bagus. Mungkin aku juga bisa mendapatkannya kalau aku cukup 'mengemis,' bukan?"
Tombak itu mendesing pelan, menciptakan hembusan angin yang memotong dedaunan di sekitarnya. Komandan mengayunkan ujung tombak ke arah Ren, cukup dekat hingga helaian rambutnya tersentuh.
"Berani bicara seperti itu," gumam komandan. "Kau bukan hanya hina, tapi bodoh juga."
Ren menundukkan kepala, seolah menerima hinaan itu. "Ya, bodoh sekali." Tiba-tiba, dengan kecepatan luar biasa, ia menukik ke samping, pedangnya meluncur dalam serangan mendadak ke sisi kanan komandan.
CLANG!
Ujung tombak sudah ada di sana sebelum pedangnya sempat mengenai sasaran. Serangan itu ditangkis dengan mudah, bahkan tanpa komandan harus melihat.
"Langkah pertama: tebasan cepat dari kanan," kata komandan dengan nada tenang. "Terlalu mudah dibaca."
Ren mundur beberapa langkah, matanya menyipit. Tangannya masih menggenggam pedang, tapi ada kilatan waspada di matanya sekarang.
"Aku tidak mengharapkan antisipasi semacam itu," gumam Ren.
Ren menyerang lagi, kali ini dengan gerakan memutar, mencoba menusuk dari bawah. Tombak itu kembali bergerak lebih cepat, memblokir setiap sudut serangan.
"Langkah kedua," ujar komandan. "Tusukan dari bawah. Kau benar-benar seperti buku terbuka."
Ren menarik napas dalam-dalam, mengubah langkahnya, kini mencoba menyerang dari samping dengan ayunan horizontal. Tapi lagi-lagi tombak itu sudah menunggu.
"Langkah ketiga: tebasan samping. Lalu kau akan mundur dua langkah untuk mencari celah."
Ren berhenti, memandangi komandan itu dengan kepala sedikit miring. Hening menguasai tempat itu. Dia tidak bergerak, seolah membiarkan komandan berbicara lebih banyak.
"Kau mungkin berpikir bisa mengalihkan perhatian dengan serangan acak," kata komandan, matanya bersinar penuh percaya diri. "Tapi aku bukan orang bodoh. Setiap gerakanmu sudah dipetakan bahkan sebelum kau mulai."
Ren menyeringai kecil. "Kau sangat yakin."
Komandan mengangkat tombaknya tinggi-tinggi. "Bukan keyakinan. Fakta."
Ren memejamkan matanya sejenak. Pikirannya bergerak cepat, mencoba menganalisis. Setiap serangan yang ditangkis bukan hanya soal kecepatan atau ketepatan. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mengontrol medan ini.
Ia membuka matanya, menatap tajam ke arah senjata di tangan komandan. Hembusan angin yang terus berputar di sekitar tombak mulai terasa berbeda.
"Kau…" Ren menarik napas panjang, sudut bibirnya melengkung tipis. "Tidak. Tepatnya, tombakmu…" ia menunjuk senjata itu dengan ujung pedangnya. "Itu bukan Harta Mulia, kan?"
Hening.
Ekspresi komandan berubah sekilas, cukup bagi Ren untuk menangkap sesuatu yang berbeda.
"Bagus." Ren menurunkan pedangnya, tidak menyerang, hanya menunggu. "Kau tidak bisa membaca pikiran. Begitupula dengan tombakmu itu hanya senjata biasa. Harta Mulia milikmu yang memberimu 'petunjuk', bukan?"
Komandan menggeram, tapi tidak menjawab.
Ren melangkah pelan, mengitari komandan seperti pemburu yang mengamati mangsanya. "Jadi, jika aku tidak menyerang dengan cara yang jelas… kau tidak bisa memprediksi apa-apa."
Senyap. Hanya angin yang terdengar, dan Ren tahu ini adalah titik baliknya.
"Manakah Harta Mulia miliknya? Benda sialan itu merepotkanku," gumam Ren.
"Kau tampak kebingungan Caelfall, kuhargai itu kau mampu menebak Harta Mulia milikku." Komandan itu menggenggam erat tombaknya lalu mengayunkannya. "Tombak inilah Harta Mulia-nya."
"Jadi sebutan tombak badai topan itu murni kemampuanmu, ya?" Tetap dalam jarak dan waspada Ren menyeringai.
Komandan menggeram, mempererat genggaman pada tombaknya. "Kau bicara terlalu banyak, Caelfall."
Ren tersenyum sinis. "Dan kau terlalu mengandalkan senjata mainanmu." Dirinya baru menyadari terluka setelah mengusap darah di sudut bibirnya dengan punggung tangan. Tatapannya tetap tenang meski tubuhnya sudah terasa berat.
Komandan memutar tombaknya sekali lagi, menciptakan pusaran angin yang menghancurkan ranting dan batu di sekitarnya. "Kau tahu apa bedanya kita, Caelfall?"
Ren mendongak, mengangkat alis. "Aku penasaran. Apa bedanya?"
Komandan menghentakkan tombaknya ke tanah. Seketika angin berputar semakin cepat, menciptakan lingkaran pelindung di sekeliling tubuhnya. Suaranya menggema, penuh arogansi.
"Aku lahir untuk memegang kekuatan ini. Kau? Kau hanya pelarian tanpa tujuan."
Ren tersenyum kecil, menundukkan kepala sejenak sebelum kembali menatap lawannya. "Pelarian, ya?" gumamnya. "Terdengar menyedihkan. Tapi kau tahu apa yang lebih menyedihkan?"
Komandan tidak menjawab, matanya tetap mengawasi setiap gerakan Ren.
Ren mengangkat pedangnya, menunjuk lurus ke arah komandan. "Mereka yang lahir dengan segalanya... tapi tidak tahu cara memanfaatkannya."
"Beraninya kau bicara seperti itu!" Komandan bergerak maju, tombaknya melesat dengan terpaan angin yang cukup untuk merobohkan pohon besar.
SWOOSH!
Ren berguling ke samping, menghindari serangan itu dengan margin tipis. Tapi angin yang mengikuti tombak tersebut masih cukup kuat untuk membuat tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang.
"Berhentilah menghindar!" Komandan mengayunkan tombaknya lagi, kali ini menciptakan gelombang angin horizontal yang menerjang ke arah Ren.
Ren melompat ke atas, memanfaatkan momentum untuk menyeimbangkan diri di udara. Dia mendarat dengan sempurna, pedangnya menancap ke tanah, menahan tubuhnya agar tidak terdorong lebih jauh.
"Kalau aku berhenti menghindar, kau akan bosan," kata Ren sambil tersenyum masam. "Dan aku tidak mau mengecewakanmu."
Komandan menggeram, wajahnya memerah karena amarah. Ia mengangkat tombaknya tinggi-tinggi, mengumpulkan energi di ujungnya. Pusaran angin semakin kuat, menciptakan suara seperti raungan binatang buas.
Ren memperhatikan setiap detail. Ini saatnya.
"Kau tahu," kata Ren dengan nada ringan, "aku mulai mengerti kenapa kau tidak bisa menghentikan Louise dan Violet."
Komandan menghentikan gerakannya sejenak, bingung dengan ucapan Ren. "Apa maksudmu?"
Ren menyeringai, menegakkan tubuhnya. "Kau terlalu sibuk mengesankan dirimu sendiri."
BAM!
Ren menjejakkan kakinya ke tanah, melesat dengan kecepatan luar biasa. Pedangnya berkilau di bawah cahaya samar, meluncur dengan presisi.
Tombak komandan bergerak untuk menangkis, tapi kali ini gerakan Ren tidak mengikuti pola sebelumnya. Dia berpindah arah di tengah jalan, menyerang dari sudut yang berbeda.
Komandan mengerang, nyaris kehilangan keseimbangan saat menangkis serangan itu.
"Langkah keempat: manipulasi posisi lawan," gumam Ren, suaranya tajam.
"KAU—!" Komandan tak sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Ren sudah berada di belakangnya, pedang mengarah tepat ke lehernya.
Tepat sebelum pedangnya mendarat di leher Komandan itu, Dalam sekejap dapat ditangkis dengan hanya terhalang satu gerakan kecil dari tombak yang masih terangkat di tangan sang komandan.
Ren tahu dirinya tidak bisa menang dalam adu kekuatan langsung.
Dengan satu keputusan mendalam, Ren melepaskan genggaman pedangnya dan dalam sekejap, dengan gerakan yang lebih halus dan cepat dari yang bisa dibaca oleh komandan, Ren menepuk keras kedua telinga komandan. Sebuah pukulan yang penuh kejutan, langsung ke titik yang sensitif.
Komandan terkejut. Tombaknya jatuh begitu saja dari tangannya. Seluruh tubuhnya bergetar, kepalanya terasa berputar. Ia mencoba untuk tetap berdiri, pandangan matanya mulai kabur, dan suara bising di telinganya semakin membingungkan.
Dengan langkah goyah, komandan berusaha melangkah ke depan, tetapi hanya beberapa detik kemudian ia terjatuh dengan keras, tubuhnya terkulai lemas di atas tanah yang dingin. Denyut telinganya semakin berdenging, melenyapkan kesadarannya perlahan-lahan bersama kemarahannya.
"Kau kalah." Ren mengucapkan kata-kata itu dengan nada dingin. Memutar arah.
Ren mengambil beberapa langkah mundur, tidak melepaskan pandangannya dari komandan.
"Ini belum selesai, Caelfall," desis komandan.
Ren menyeringai, mengangkat bahu. "Tentu saja belum. Tapi sekarang, aku punya tempat lain yang harus didatangi."
Tanpa membuang waktu lagi, Ren berbalik dan melesat pergi, meninggalkan komandan yang terdiam di tempatnya. Angin malam membawa suara langkah kakinya yang perlahan menghilang dalam kegelapan.
Di kejauhan, Ren bisa melihat bayangan Violet yang menunggu di titik pertemuan.
Dan itu hanya berarti satu hal.
Ren mempercepat langkahnya, napasnya terasa semakin berat. Perasaan tidak enak menyusup ke dalam pikirannya, membuat dadanya terasa sesak.
Dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.