Langit mendung menggantung rendah, seolah berat dengan beban yang sama yang kini dirasakan Louise dan Violet. Rumah Besar Keluarga Murphy berdiri dalam bayangan kelamnya, porak poranda oleh para penginvasi. Dinding-dindingnya yang dulu megah kini penuh retakan dan puing. Hembusan angin membawa aroma debu bercampur asap.
Louise memimpin langkah, matanya tajam menyapu setiap sudut. Jemarinya yang menggenggam gagang pedang sedikit gemetar, meski ekspresinya tetap dingin. Violet mengikuti di belakang.
Louise mengintip ke dalam jendela. Di sana, di kursi makan yang sudah hampir roboh, duduk Roze dengan kepala tertunduk. Wajahnya pucat, tubuhnya tampak rapuh, seperti boneka yang ditinggalkan.
"Roze!" Louise menghambur ke arah temannya. Nafasnya memburu, antara lega dan khawatir. "Kau... masih di sini."
Roze tidak merespons, hanya matanya yang terbuka sedikit, menatap kosong ke arah depan. Violet menutupi mulutnya, menahan isak yang hampir keluar.
Louise memeriksa denyut nadi Roze, memastikan temannya masih hidup. "Dia masih bernapas," bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
"Dik Roze, kumohon sadarlah... apa yang telah terjadi?" Violet dengan suara lembut juga menenangkan Roze sembari merapikan rambutnya.
"Aku takut, mereka semua..." Roze menangis terisak-isak sampai tak sempat melanjutkan kalimatnya, dalam satu tarikan napas Roze menjelaskan lagi. "Mereka semua, telah tiada. Ini semua... salahku..." Air mata terus berjatuhan dari matanya Roze.
Mendengar situasi yang separah itu Louise berusaha tetap tenang. "Violet, bantu aku. Kita harus membawanya keluar."
Violet mengangguk, dengan hati-hati mereka berdua menggotong Roze, menuntunnya menuju jendela di ujung ruangan. Louise berhenti sejenak, mengintip ke luar. Mata tajamnya menyapu area sekitar, memastikan tak ada gerakan mencurigakan.
"Sepertinya aman," gumamnya. "Kita keluar lewat sini."
Violet bergerak lebih dulu, menggenggam tangan Roze dengan lembut, menuntunnya menuju pintu keluar. Roze tampak lebih berat dari yang terlihat, tubuhnya kaku dan sulit digerakkan.
Saat Violet berusaha menyeimbangkan langkah, kakinya tersandung pecahan kayu. Tubuhnya oleng dan mereka bertiga terjatuh ke tanah dengan suara berdebum pelan.
"Violet!" Louise bergegas turun, membantu kedua temannya. Debu mengepul, membuat Violet batuk pelan. Roze masih tak bereaksi, tubuhnya lemas dalam genggaman Louise.
"Maaf... aku tidak sengaja," suara Violet gemetar, matanya menatap Louise penuh rasa bersalah.
Louise menghela napas panjang, menepuk bahu Violet. "Tidak apa-apa. Yang penting kita harus bergerak cepat." Dia meraih Roze, memindahkan berat tubuh temannya ke pundaknya. "Kita tidak tahu berapa lama tempat ini akan tetap aman."
"Bisa gunakan rapalan sihir untuk menyembuhkan Roze?" Louise memastikan terlebih dahulu.
Violet mengangguk, perlahan menidurkan tubuh Roze. "Iya, aku bisa. Akan kulakukan."
Saat Violet merapalkan sihir penyembuhannya sementara Louise berjaga dengan mengamati sekitar dirinya menyadari sesuatu. Area terbuka yang sangat luas seperti ini... kenapa begitu sepi dan sunyi.
"Janggal sekali, Violet... sebaiknya kita segera pindah. Tolong bawa Roze juga." Louise tampak begitu waspada.
"Baik." Violet membatalkan perapalan sihir penyembuhannya dan bergegas menggendong Roze.
Mereka melangkah perlahan menuju arah hutan kecil di belakang rumah besar itu. Setiap langkah terasa berat, baik oleh beban fisik maupun mental. Louise tak berhenti mengamati sekeliling, kewaspadaannya meningkat.
Tiba-tiba, suara desingan halus terdengar dari kejauhan.
"Berhenti." Louise mengangkat tangan, memberi isyarat pada Violet untuk diam. Mereka berjongkok di balik reruntuhan dinding.
Louise memicingkan mata, melihat bayangan bergerak di antara pepohonan. Sosok itu terlalu cepat untuk dikenali, tapi satu hal yang pasti—hanya sendirian.
"Kau sudah ketahuan. Keluarlah, Caelfall," suara rendah dan penuh ejekan terdengar dari arah di antara pepohonan.
Seorang pria bertubuh jangkung muncul perlahan dari kegelapan. Pakaian penjaga yang dikenakannya kotor, penuh noda darah kering dan lumpur, tetapi simbol kekuasaan di dadanya masih terlihat jelas. Rambut hitamnya acak-acakan, sebagian menutupi wajahnya yang tajam dan penuh bekas luka. Mata pria itu menyipit, mengamati Louise dengan tatapan penuh kebencian.
"Sepertinya tikus-tikus kecil mulai berani berkeliaran," desisnya, sudut bibirnya terangkat membentuk seringai sinis.
Louise tidak bergeming, meski jemarinya mengeratkan genggaman pada gagang pedangnya. "Kami hanya lewat. Tidak ada urusan denganmu."
Pria itu mendengus, menancapkan tombak kecil yang digenggamnya ke tanah. Suara gesekan logam dengan bebatuan terdengar nyaring, seperti peringatan. Hembusan angin membawa aroma logam yang tajam, membuat Violet bergetar di tempatnya.
"Lewat? Di sini?" Pria itu meludah ke tanah, matanya menatap Louise seolah dia makhluk hina. "Kaum rendahan sepertimu seharusnya tahu tempat. Tapi kalian memang selalu rakus, tak tahu diri."
Louise tidak menjawab. Napasnya tetap teratur, tetapi matanya penuh kewaspadaan. Dia tahu, pria ini bukan hanya penjaga biasa.
Pria itu melangkah lebih dekat, hingga hanya beberapa meter di depan Louise. "Kau tahu," katanya, suaranya rendah dan licik, "aku hanya pergi sebentar untuk buang air, dan sekarang menemukan tikus-tikus busuk ini berkeliaran." Dia tertawa pendek, dingin. "Tapi tidak masalah. Aku tahu cara mengurusmu."
Louise tetap diam, tetapi pikirannya bekerja cepat, mencari celah.
Pria itu mengangkat tangan kanannya, memperlihatkan tanda berbentuk lingkaran yang bersinar samar di telapaknya. Sebuah mantra.
"Gini aja, bocah." Senyumnya melebar, penuh kebanggaan. "DENGAN MANTRA PERINTAH... KEMARILAH!"
Louise kebingungan dengan posisi tetap bertahan, menggertakkan giginya. Tetapi sesuatu yang lain terjadi.
Di belakangnya, suara berat keluar dari mulut Roze. Terdengar desahan kesakitan, membuat Violet berhenti merapal. Matanya membelalak melihat Roze—yang seharusnya lumpuh—perlahan bangkit dan berdiri.
"Tidak... ini tidak mungkin," gumam Violet, suaranya pecah oleh ketakutan.
Louise mendengar suara itu dan membalikkan tubuhnya sedikit. Pandangannya membeku saat melihat Roze berdiri tegak, kedua kakinya yang seharusnya tidak mampu bergerak kini melangkah maju dengan mantap. Wajah Roze kosong, matanya kosong. Seolah bukan dirinya yang mengendalikan tubuh itu. "Hnnghh..."
"Roze! Berhenti!" Louise berusaha meraih temannya, tetapi jaraknya terlalu jauh. Roze terus berjalan, melewati Louise dengan langkah lamban, menuju pria penjaga.
"Tidak mungkin..." Louise berbisik, suaranya berat oleh kecemasan. "Violet, apa kau melihat ini?"
Violet hanya mengangguk, tubuhnya gemetar hebat. Matanya tidak bisa lepas dari pemandangan mengerikan di depannya.
Louise menggenggam pedangnya lebih erat, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Sialan... kali ini Harta Mulia lagi," gumamnya.
Pria itu tertawa pelan, puas melihat keterkejutan di wajah mereka. "Tentu saja, bocah. Ini hasil dari 'barangku' yang direnggut." Matanya menyipit, penuh kekejaman. "Dan sekarang, dia milikku. Selamanya."
Louise terdiam merasakan amarah dan kebencian membakar dadanya. "Barang." Kata itu bergema di benaknya, menancap seperti duri yang menusuk harga dirinya dan segala yang dia perjuangkan. Roze bukan barang. Dia temanku.
Pria itu tertawa lebih keras, semakin puas melihat reaksi Louise. Tangannya bergerak, meraba leher Roze dengan kasar, seolah mempermainkan boneka. "Lihat, loh. Barang. Ini yang kumaksud." Dia mencubit dagu Roze, memiringkan kepala gadis itu tanpa perlawanan sedikit pun.
Louise mengepalkan tangan, kukunya hampir menembus kulit telapak. Wajahnya tetap tenang, tapi di balik itu, pikirannya bergolak hebat. Ini penghinaan. Ini pelecehan. Dia tahu Roze masih di sana, terperangkap dalam tubuhnya sendiri.
"Lepaskan dia." Suara Louise rendah, hampir seperti desisan.
Penjaga itu hanya tertawa lagi, kali ini lebih mengejek. "Dan apa yang akan kau lakukan, bocah? Membawa barangku pergi? Kau bahkan tak sanggup melawan Mantra Perintah." Dia mengayunkan tombaknya dengan santai, membuat lingkaran kecil di udara. "Tapi baiklah. Cobalah."
Louise tidak menunggu lebih lama. Amarahnya memuncak, tetapi fokusnya tetap tajam. Dalam sekejap, dia melesat ke depan, pedangnya memantulkan kilatan cahaya mendung.
Penjaga itu terkesiap, mengira Louise akan menyerangnya langsung. Tombaknya berayun cepat, bersiap memotong Louise di tengah jalan.
Tapi Louise lebih cepat. Dia menukik ke bawah, tubuhnya merunduk dengan lincah, menghindari ujung tombak yang melesat di atas kepalanya. Dalam satu gerakan halus, tangannya menangkap tubuh Roze, menariknya dengan paksa dari genggaman pria itu.
"APA—?!" Penjaga itu terbelalak, kehilangan keseimbangan sesaat.
Louise tidak memberinya kesempatan untuk pulih. Dengan kekuatan penuh, dia melompat mundur, membawa Roze bersamanya. Tubuh Roze lemas di pelukannya, tetapi Louise menggenggam erat, memastikan temannya aman.
Violet, yang masih bersembunyi, melihat kejadian itu dengan mata lebar. "Louise, cepat ke sini!" panggilnya dengan suara bergetar.
Louise bergerak tanpa berpikir dua kali, mendekati Violet sambil tetap menjaga jarak dari penjaga. Pria itu tampak bingung dan marah, tapi Louise tahu itu tidak akan bertahan lama.
"Se...sesak," Roze bergeming.
"Violet, bantu aku menjaga Roze," Louise berkata cepat, menurunkan Roze dengan hati-hati. Matanya tetap tertuju pada penjaga, yang kini mulai merapal mantra baru.
"Kita tidak punya banyak waktu." Louise mengencangkan genggaman pada pedangnya, napasnya masih teratur meski tubuhnya tegang. "Siapkan dirimu. Aku akan mengulur wakt-"
"Iya deh iya, kasih ulur. Atur saja," Penjaga tersebut memotong perkataan Louise dan menyeringai. "Kau masih tidak mengerti, yah?"
Sekali lagi, Penjaga itu mengangkat kedua tangannya dan tersenyum sinis. "KEMARILAH!"
"AHGGKK...!! TIDAK!" Roze merintih kesakitan seakan-akan jiwanya terbakar untuk menuruti segala perintah tuannya, tubuhnya perlahan bergerak sendiri menentang kehendaknya.
"Hei! Kau kenapa!!?" Louise tak percaya apa yang barusan dilihatnya.
"Kumohon... hentikan," Roze semakin merintih kesakitan sambil memegang lehernya dengan perlahan berjalan mendekati Penjaga itu lagi.
"Ayo katakan dengan baik atau..." Penjaga tersebut meraba dagu Roze dan mendongakkannya ke atas agar menatapnya sambil perlahan mengangkat tangannya lagi.
"Maafkan aku..." Roze meminta maaf dengan suara yang lembut.
"mhhmm... Bagus. Gadis pintar." Penjaga tersebut cekikikan.
"Tunggu... Apa!?..." Louise terdiam mematung, tidak hanya sekali tapi dua kali Penjaga tersebut bisa seenaknya memberikan perintah kepada Roze.
"WHAHAHAHAHAHA!!" Penjaga tersebut tertawa puas melihat keputusasaan di mata Louise.
Louise menggigit bibirnya, menahan gemuruh di dadanya. Apa yang harus kulakukan? Tangan yang menggenggam pedangnya bergetar hebat, antara amarah dan ketakutan. Di satu sisi, Roze, temannya—lebih dari sekadar teman. Di sisi lain, Violet, yang kini membungkuk di sudut, napasnya tersengal penuh rasa takut.
"Kenapa harus begini? Kenapa aku tak bisa menemukan jalan keluar?" Louise bertanya pada dirinya sendiri, matanya membayangi keputusasaan. Harta Mulia—lagi-lagi kekuatan itu memenjarakan orang-orang yang ia pedulikan.
"Cukup dengan ragu-ragunya," Penjaga itu menyela lamunannya, menyeringai puas melihat Louise terombang-ambing. "Dengarkan aku baik-baik."
Dia memiringkan kepala Roze, memaksanya menatap Louise. Mata Roze berkaca-kaca, penuh kesakitan dan ketidakberdayaan.
"Sekarang, Roze... lakukan eksekusi temanmu yang ada di hadapanmu." Suaranya datar, seolah memberi perintah biasa. Tangan Penjaga itu kembali bersinar dengan mantra, menggema di udara seperti racun yang menyebar.
Louise terhuyung selangkah ke belakang, kepalanya penuh dengan suara yang menjerit-jerit. Eksekusi? Tidak. Tidak mungkin. Dia melihat Roze mulai bergerak, tubuhnya tertarik ke arah Louise, langkah-langkahnya tersendat tetapi tidak bisa dihentikan.
"Roze! Berhenti! Kumohon!" suara Louise pecah. Tapi Roze terus melangkah.
Louise mengangkat pedangnya, tangannya gemetar hebat. Haruskah aku… membunuhnya? Atau menyerah saja? Tapi jika aku lari, aku sama saja membiarkannya mati perlahan. Air mata menggenang di sudut matanya, tetapi tidak ia biarkan jatuh. Tidak. Jangan menangis sekarang. Jangan.
"Maaf... Lou." Bisikan lemah keluar dari bibir Roze. Matanya, meski kosong, bergetar. Roze menggigit bibirnya, menahan diri dengan segenap tenaga terakhir. Tubuhnya gemetar, seolah berperang melawan rantai tak kasat mata. "Terlalu sakit... kumohon, hentikan penderitaanku."
Louise terpaku, mendengar kata-kata itu membuatnya runtuh. "Roze... kau... bertahanlah!"
Penjaga itu melotot, frustrasi. "Oh? Kau mau melawan, ya?" Dia mengangkat tangannya lagi, siap memperkuat mantranya.
Louise menggeram, rasa takutnya menghilang seketika. Tidak ada lagi waktu untuk ragu.
Louise ingin menghunuskan pedangnya...
Tak sempat memikirkan cara untuk membebaskannya...
Tidak ada cara lain. Tidak ada waktu.
"DENGAN MANTRA PERINTAH! KU PERINTAHKAN ENGKAU UNTUK MEMBUNUH TEMAN YANG ADA DI HADAPANMU!"
Suara penjaga itu menggema, tajam seperti pisau yang menusuk ke dalam dada Louise. Seolah dunia membeku sejenak sebelum Roze menggerakkan tubuhnya.
Roze seketika menyerang Louise, sambil menangis dan meminta belas kasihan. Sementara Louise hanya menahan Roze dengan pedang yang masih dalam sarungnya. Tak ada cara lain selain membunuhnya itulah yang ada dipikiran Louise sambil terus menjaga jarak.
Bagaimanapun juga, mantra perintah tidak akan bisa ditentang. Mau tak mau Louise terpaksa melakukannya...
Langkah Roze terseret, kakinya terseret di tanah yang berdebu. Tangannya terulur, seolah mencoba menghentikan dirinya sendiri, tetapi tubuhnya terus bergerak, menghunuskan pedang kecil di tangannya ke arah Louise. Tangisan Roze semakin keras, membelah udara yang mencekam.
Louise mundur selangkah, mengangkat pedangnya dengan sarung yang masih terpasang. "Roze! Berhenti! Aku tidak akan melawanmu!" teriaknya, mencoba menahan tangis yang mendesak keluar.
Roze menggeleng, air mata mengalir deras di wajahnya. "Aku tidak bisa… aku tidak punya pilihan, Lou!" Tubuhnya bergetar hebat setiap kali mendekatkan diri pada Louise. "Kumohon... lakukan saja... Bebaskan aku dari... rasa sakit ini."
Louise menutup matanya sejenak, menggigit bibir hingga berdarah. Tidak mungkin. Tidak mungkin aku melakukannya. Tapi... dia… Roze…
Ketika Louise membuka matanya kembali, tatapannya kosong, penuh tekad bercampur luka. Perlahan, ia mengangkat pedangnya. Tangannya bergetar hebat, tetapi kali ini bukan karena takut, melainkan menyadari bahwa Roze... menusukkan dirinya pada bilah pedang, dengan tatapan kosong Louise menjerit ketakutan dan bergeming.
Roze tersenyum lemah di balik tangisnya. "Terima kasih…" bisiknya, pasrah.
Louise memejamkan mata sesaat, menghirup napas panjang. Tangannya terangkat, melepas genggaman pedangnya bersamaan dengan ambruknya tubuhnya Roze, tubuhnya lunglai. Mantra itu terputus sejenak, membuat penjaga melotot marah.
Louise terhuyung, air mata jatuh tanpa suara.
"Ku-kumohon... apapun yang terjadi... urghh... Kalian te-tetaplah ke—luarga."
"AAAAAAAAAAAARRGGHHH!!!" Louise menjerit sejadi-jadinya dan tentu saja Violet melihatnya dengan jelas. Louise jatuh berlutut dengan berusaha mempertahankan kewarasannya dan mencoba untuk tetap tenang. Disusul dengan Violet memeluk Louise yang terkulai lemah, tubuh gadis itu dingin, gemetar, napas tersengal.