Chereads / GLEIPNIR: Nihil / Chapter 27 - 27 - Dalam Kobaran, Kami Berpulang

Chapter 27 - 27 - Dalam Kobaran, Kami Berpulang

Langkah Ren dan Violet terhenti di depan rumah besar itu. Bangunan megah yang dulu berdiri kokoh kini tampak rapuh, dinding-dindingnya penuh retakan, atapnya yang runtuh membiarkan cahaya bulan menyelinap masuk. Kesunyian menguasai tempat itu, hanya dipecahkan oleh suara angin yang menyelusup di antara celah-celah bangunan.

Ren menatap pintu besar yang tergantung miring, mengayun perlahan seolah enggan menutup tragedi yang terjadi di dalamnya. "Kau yakin dia ada di sini?" tanyanya dengan nada datar.

Violet mengangguk pelan, wajahnya tegang. "Di aula utama. Dia ada di sana… bersama Roze."

Tanpa sepatah kata lagi, Ren melangkah masuk, diikuti Violet yang tampak ragu. Aroma kematian dan kehancuran segera menyergap mereka, menyesakkan dada. Lantai kayu berderit di bawah berat langkah mereka, suara yang seolah memprotes kehadiran mereka di tempat itu.

Aula Utama

Di sana, cahaya bulan membanjiri ruangan yang luas. Tumpukan tubuh tak bernyawa memenuhi lantai, menciptakan pemandangan yang mengerikan. Di tengah kegelapan, hanya keheningan yang berbicara.

Ren melangkah perlahan, pandangannya menyapu ruangan. Violet mengikuti di belakangnya, tubuhnya gemetar. Tatapannya tertuju pada satu titik, sosok yang terbaring di antara tumpukan tubuh.

Ren mendekati tubuh itu, matanya terpaku pada sosok yang tergeletak diam dengan mata terbuka kosong menatap langit-langit. Tubuh tak bernyawa itu milik seseorang yang begitu berarti baginya—keluarga yang ia cintai lebih dari apapun.

"Roze…" bisiknya lirih, suara yang hampir hilang ditelan keheningan. Lututnya tertekuk, tubuhnya jatuh perlahan ke lantai. Ia menunduk, tangisnya tak mampu ia tahan. Isakan kecil terdengar, seolah setiap helaan napasnya mengandung luka yang tak terobati.

Ren menangis dalam kesunyian, tangis yang ia simpan untuk dirinya sendiri, wajah yang tak akan pernah ia tunjukkan kepada siapapun. Di tengah puing-puing kehancuran, ia merasakan beratnya kehilangan yang tidak bisa lagi ia hindari.

Sementara Violet, di dekatnya terbaring tubuh lemas tergeletak tengkurap, bahunya naik turun, terdengar isakan samar di tengah keheningan mencekam. Violet berhenti, menatap tubuh itu dengan pandangan nanar.

Violet mempercepat langkahnya, melewati tumpukan tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan seperti boneka rusak. Napasnya tersengal, bukan hanya karena kelelahan, tapi juga rasa ngeri yang terus merayapi.

"Louise…" bisik Violet, suaranya hampir tak terdengar.

Dia berlutut, tangan gemetar mencoba membalik tubuh itu. Tapi tiba-tiba, siku seseorang melayang, nyaris mengenai wajahnya. Refleks, Violet mundur, sesaat sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, Ren sudah lebih dulu melangkah maju. Tangannya dengan sigap menahan lengan Louise yang terangkat panik.

"Tenang," ujar Ren, suaranya yang rendah tidak menutupi perasaannya yang terliput oleh kebencian, seperti ancaman sekaligus janji. "Ini aku."

Louise gemetar hebat, tubuhnya mengejang seperti binatang kecil yang terpojok. Matanya yang liar menangkap bayangan Violet, dan isaknya pecah menjadi jeritan kecil sebelum akhirnya ia terkulai, menghambur ke arah Violet.

"Semua akan baik-baik saja," bisik Violet sambil memeluk tubuh itu erat. Tangannya mengusap punggung Louise dengan lembut, seolah ingin menyapu bersih semua rasa takut dan luka yang menempel. "Kita sudah di sini… Kau aman."

Louise tidak menjawab, wajahnya pucat seperti lilin, matanya tertutup seolah sedang tidur. Tapi napasnya—meski lemah—masih ada. Di dekatnya, tubuh Roze tergeletak tak bernyawa. 

Ren berlutut di samping Louise, matanya memindai sekeliling. Di sana, di antara darah dan debu, ia melihat sebuah pita hitam, lusuh dan kotor, tergeletak di dekat tangan Louise yang lemah.

Perlahan, Ren mengambil pita itu. Tangannya gemetar saat menyentuh kain yang sudah ternoda oleh tragedi. Pita itu terasa berat di tangannya, seolah membawa semua dosa dan rahasia yang tersembunyi di tempat ini.

Dia menatap pita itu sejenak sebelum menyimpannya di saku. "Dia masih hidup," ucapnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Ren memandang Violet lalu ke arah Louise, matanya dingin dengan bayangan penyesalan yang membayang di sana. Tanpa berkata apa-apa, dia meraih sesuatu dari sakunya—sebatang kayu kecil, usang dan penuh ukiran.

Ren memandangi ukiran nama di potongan kayu yang ia genggam erat. Murphy—nama yang tertulis di sana terasa seperti duri tajam yang menusuk nuraninya. Ia menghela napas panjang, kemudian menoleh ke arah Violet yang masih memeluk Louise. Isak tangis kecil dari Louise terdengar seperti deru terakhir dari sebuah kehancuran besar.

"Ren, kita harus bawa dia keluar," desak Violet, air mata mengalir di pipinya. "Dia tidak bisa tinggal di sini."

"Violet," panggil Ren dengan nada tenang, tapi tegas. "Bawa dia keluar. Aku akan menyusul."

Violet mengangkat wajah, keraguan terlukis jelas di matanya. "Apa yang akan kau lakukan?"

Ren tidak langsung menjawab. Ia menatap Violet, lalu Louise, dengan pandangan yang mengandung ketegasan dan rasa bersalah yang terpendam. "Ada sesuatu yang harus kulakukan. Sesuatu yang… harus diakhiri."

Violet mengerti, meski ia tidak sepenuhnya setuju. Tapi ini bukan waktu untuk berdebat. Ia mengangguk pelan, membantu Louise berdiri meski tubuh laki-laki itu hampir tak sanggup menopang beratnya sendiri.

"Ayo, Louise," ujar Violet lembut. "Kita pergi dari sini."

Louise tidak berkata apa-apa, hanya mematuhi dengan langkah tertatih. Ren memperhatikan mereka berjalan menjauh sebelum ia kembali memalingkan pandangan ke arah pohon besar yang berdiri kokoh di luar aula.

Saat mereka melangkah keluar dari aula, Ren berhenti sejenak, memandang kembali ke tubuh Roze yang terbaring di antara puing-puing kehancuran. Sesuatu dalam dirinya terasa hancur, tak ada waktu untuk larut dalam emosi. Mereka harus pergi.

"Roze…" bisik Ren, sebelum berbalik dan melangkah keluar, memalingkan pandangan ke arah pohon besar. Di luar, dunia masih berkecamuk dengan perang dan kehancuran. Tapi untuk saat ini, mereka hanya bisa melangkah maju, mencoba menyusun kembali kepingan harapan yang tersisa.

Ren memungut seluruh tag kayu dengan ukiran "Murphy" yang tersisa lalu menyebarkan semuanya di sekitar pohon besar nan rindang tempat mereka bermain dulunya

Dia melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa seperti membawa beban ribuan dosa yang tak terucapkan. Di tangannya kini ada sebotol cairan minyak yang barusan ia ambil dari salah satu meja di aula. Ia membuka tutupnya, mencipratkannya ke akar-akar pohon, lalu ke batangnya. Api dari lentera kecil yang tergantung di sudut aula menjadi pemantik terakhir.

Saat api mulai merambat, memeluk kulit kayu dengan ganas, Ren berdiri di sana, tak bergerak. Di benaknya, wajah-wajah keluarga Murphy yang tak mampu ia selamatkan bermunculan satu per satu, hingga semuanya lenyap tertelan oleh nyala api yang semakin membesar.

Perlahan, Ren mengangkat tangannya, telapak terbuka ke arah pohon rindang yang menjulang di depannya. Dalam bayangannya, seolah-olah api muncul dan menari di jari-jarinya.

"Telah berpulang jiwa-jiwa yang malang. Api abadi akan senantiasa menuntun engkau yang tersesat pada jalan yang bukan semestinya," ucapnya pelan, nadanya berat, penuh penyesalan. Ia menarik napas panjang, memejamkan mata sesaat, lalu meneruskan, "Desir Api Penyucian, Agni Prakasa!"

Kata-kata itu bergema dalam dirinya, seperti mantra yang membebaskan beban di dadanya. Saat api mulai melahap dan menjilat-jilat pohon itu, Ren mengepalkan tangannya dengan kuat.

Dentuman kobaran api terdengar, mengguncang tanah di bawah kaki mereka. Pohon besar yang sudah berumur 100 tahun itu, telah berdiri sebagai saksi sejarah keluarga Murphy selama seratus tahun, kini menyerah pada takdirnya. Ia menjadi penjaga terakhir, menghantarkan jiwa-jiwa yang pergi lebih dulu dalam pelukan panas yang membara menuju keabadian.

Di belakangnya, Violet muncul dengan langkah gontai. Louise bersandar lemah di bahunya, wajahnya pucat tanpa daya. Violet memandang kobaran api yang semakin membesar, dan tanpa bisa ditahan, air matanya mengalir deras. Ia menutup mata rapat-rapat, tubuhnya berguncang oleh isak yang selama ini ia tahan.

"Mereka pergi, Ren… Mereka semua pergi," bisiknya dengan suara terputus-putus. Duka yang mengoyak hatinya begitu jelas terdengar, memenuhi malam yang penuh dengan kehilangan.

Ren tidak menoleh, hanya berdiri diam, memandang api yang mulai melumat pohon hingga runtuh sepenuhnya. Di matanya, nyala itu bukan hanya penghancuran, tapi juga pembebasan. "Aku tak bisa melindungi kalian," bisiknya, suara yang nyaris hilang di tengah gemuruh bara dan angin.

Api mulai padam, menyisakan bara dan asap yang membumbung ke langit malam.