"Amour…" Ren berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang, meskipun pikirannya mulai berpacu. "Apa yang kamu inginkan?"
Amour melangkah mendekat dengan anggun, setiap gerakannya menyiratkan sesuatu yang mendesak. "Aku hanya ingin memberimu sedikit nasihat," katanya dengan suara lembut yang berbalut bahaya tersembunyi, "tentang orang-orang yang kamu cintai."
Ren, yang sudah merasa cemas sejak peringatan Ralph tadi, semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Dengan cepat, dia meraih kerah Amour, menariknya mendekat hingga wajah mereka hampir bersentuhan. "Apa maksudmu?" bisiknya tajam, suaranya bergetar oleh campuran amarah dan ketakutan yang tiba-tiba muncul.
Alih-alih terkejut, Amour hanya tersenyum tipis, seolah-olah sudah mengharapkan reaksi ini. Dengan gerakan tangan perlahan dan penuh makna, dia menunjuk ke arah yang sangat familiar bagi Ren.
"Tidakkah kamu khawatir tentang Roze?" tanya Amour dengan nada licik. "Aku mendengar dia berada di pondok tua... tempat yang bisa menjadi sangat berbahaya bagi seseorang yang sendirian, terutama di waktu seperti ini."
Darah Ren seakan berhenti mengalir. Tanpa berpikir panjang, dia melepaskan cengkeramannya dan berlari secepat yang bisa dilakukan menuju pondok tua tempat kakeknya tinggal, tempat di mana Roze berada.
Hatinya berdetak kencang dengan setiap langkah, pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan buruk tentang apa yang mungkin terjadi pada adiknya. Dalam kepanikan yang melanda, Ren tak menyadari bahwa Amour tetap berdiri di tempat, menatap kepergiannya dengan senyuman yang semakin melebar. Di bawah sinar remang-remang, Amour tampak seperti bayangan mengancam yang perlahan-lahan menyelimuti Ren dan orang-orang yang ia cintai.
Setiap langkah Ren terasa semakin berat saat ia mendekati pondok tua itu, dan ketika akhirnya tiba, ia menemukan pintu pondok yang terbuka sedikit, membuat hatinya tenggelam dalam kecemasan yang semakin mendalam.
Dengan tangan yang gemetar, Ren mendorong pintu itu hingga terbuka lebar. Di dalam, ia menemukan Roze tergeletak di lantai, tubuhnya tak bergerak, sementara kakeknya… tak ada di mana pun. Seakan-akan pondok itu telah menelan sosok tua itu ke dalam kegelapan abadi.
Ren berdiri di ambang pintu, napasnya terhenti, seolah waktu tiba-tiba membeku. Dalam keheningan yang mencekam, perasaannya hancur, dihantam oleh kenyataan pahit yang kini harus ia hadapi. Matanya kemudian tertuju pada sebuah kertas yang tergeletak di lantai, tidak jauh dari tubuh Roze.
Dengan tangan gemetar, Ren memungut kertas itu dan membacanya. Kata-kata yang tertulis di atasnya meresap ke dalam pikirannya, meremukkan sisa ketenangan yang ia miliki. Isi pesan itu membuat amarah membakar, gelap mata seketika menguasai dirinya.
"SIALAN!1!1"
"LAGI-LAGI GAGAL!"
"LAGI DAN LAGI!!"
"SIAL!1!"
"Aku tidak sekuat itu... Tuhan." gumam Ren berulang kali, penuh kemarahan dan frustrasi. "Kenapa jadi seperti ini?"
Tapi meski dihantam oleh emosi yang berkecamuk, Ren berusaha menjaga ketenangannya. Dengan perlahan, ia mengangkat tubuh Roze yang tak sadarkan diri, menggendongnya dengan hati-hati.
Langkahnya lambat dan berat, pikirannya kacau, seakan-akan seluruh dunia telah runtuh di sekitarnya. Ren tidak tahu ke mana harus pergi, tidak ada tujuan yang jelas, hanya ada kekacauan dan keputusasaan yang menyelimutinya. Meski demikian, kakinya terus melangkah, membawa tubuh Roze yang lemah di pelukannya, sementara di dalam hatinya, pergulatan antara kebingungan, keputusasaan, dan amarah terus berkecamuk.
"Hei... Roze... kumohon bangunlah," ia berbisik, suaranya bergetar.
"Katakan bahwa semuanya baik-baik saja," tambahnya, memohon pada sosok yang tak bergerak.
"Cukup itu saja permintaan dari seorang kakak," ia mengulang, penuh harap. "Hei... kumohon?"
Wajahnya kosong, tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, hanya kehampaan yang mendominasi pikirannya yang kusut.
Saat ia mendekati bangunan besar yang menyerupai gereja tua, yaitu panti asuhan keluarga Murphy, Ren merasakan perasaan campur aduk. Louise, yang membuka pintu, terkejut melihat Ren dalam kondisi tersebut.
"Ren!" seru Louise, matanya melebar melihat keadaan Ren dan Roze. Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan berteriak, "Violet! Cepat kemari!"
Violet, yang berada di ruang sebelah, segera merespons panggilan Louise. "Ada apa, Louise?" tanyanya, suaranya masih dipenuhi rasa penasaran. Ketika melihat keadaan Ren dan Roze, ekspresi Violet berubah menjadi cemas.
"Simpan pertanyaannya buat nanti," kata Louise dengan nada panik. "Ren sedang ada masalah!"
Tanpa banyak bicara keduanya berlari ke luar, meskipun hujan deras menyapu, tampak dengan sigap membantu.
Violet menatap Ren dengan penuh keheranan. "Apa yang terjadi denganmu? Apa kamu sudah gila, berada di luar tengah malam saat hujan deras seperti ini?"
Ren hanya membalas dengan nada datar, "Oh… iya, hujan. Aku sampai tak menyadarinya."
Tiga hari telah berlalu sejak Roze jatuh tak sadarkan diri. Ren tampak begitu murung, meratapi keadaan dengan rasa putus asa yang mendalam sembari melatih teknik berpedangnnya. Violet, yang memiliki sedikit pengetahuan tentang sihir dasar penyembuhan, secara rutin merawat Roze. Louise, dengan penuh dedikasi, terus berdoa dan berharap keajaiban akan datang.
Suatu pagi, Violet, setelah melakukan rutinitas penyembuhan, merasa ada sesuatu yang berbeda. Dia melihat dengan penuh harapan saat Roze perlahan membuka matanya. Dengan segera, Violet memanggil Louise.
"Louise!" panggil Violet, suaranya bergetar penuh emosi. "Roze membuka matanya!"
Louise, yang segera menyadari berita baik itu, bergegas menuju tempat Ren yang masih berlatih.
"...Ren!" serunya dengan nada panik, tetapi Ren terus berlatih dengan fokus, seolah-olah tidak mendengar.
Violet mengikuti Louise, menambah kegugupan di antara mereka. "Cepatlah panggilkan Ren!" serunya, cemas.
Louise menatap Violet dengan mata terbuka lebar, terkejut. "Tunggu sebentar. Aneh sekali, aku tahu Ren sangat tekun dalam latihan berpedangnya, tapi bukankah ini berlebihan?"
"Huum. Benar... Loh, tunggu. Apa maksudmu dengan berlatih berpedang?" Violet bertanya, semakin bingung.
"Lah, memangnya kenapa sampai terkejut begitu, Violet?" tanya Louise dengan heran, memandang Violet yang tampak kebingungan.
"...Yang pertama, selain aliran murni tombak dan turunannya aliran berkuda, bukankah seharusnya dilarang?" Louise menjelaskan sambil menatap ke arah luar. "Dan biasanya pagi-pagi begini aku selalu melihat Ren mendorong bongkahan batu yang begitu besar—sekitar 20 kali lipat dari tubuhnya. Baru kali ini dia..."
"Baru kali ini dia berlatih pedang, begitukah maksudmu, Louise? Hmm... memang benar sih, aku pun heran." Violet mengernyitkan dahi, mencoba memahami situasi.
"Mungkin dia bosan?" saran Louise dengan nada ragu.
"Entahlah..." Violet menggelengkan kepala, masih belum yakin.
"Haruskah kita sapa dia sekarang?" Louise bertanya, ragu-ragu.
"Tunggu... dia sedang memasang kuda-kuda berpedangnya," jawab Violet sambil menunjuk ke arah Ren yang tengah berlatih dengan serius di halaman.
"Iyakah? Mana mana mana," tanya Louise, penasaran.
"Lihatlah sendiri, Louise bodoh!" Violet menuding ke arah Ren dengan penuh penekanan.
Ren berdiri tegak di tengah halaman, kuda-kuda berpedangnya sempurna. Kakinya terpisah sedikit lebih lebar dari bahu, memberi kestabilan yang kokoh. Lututnya sedikit tertekuk, tubuhnya sedikit membungkuk ke depan untuk menyeimbangkan berat badannya. Lengan kirinya terangkat, menahan pegangan pedang yang besar, sementara tangan kanannya memegang gagang pedang dengan kuat.
Saat Ren melayangkan pedang, kecepatan dan kekuatan serangannya seakan menciptakan aliran angin. Hentakan pedang yang keras membuat bongkahan batu yang besar di hadapannya terpotong bersih.
Ketika latihan selesai, Ren berdiri di tengah-tengah debu yang berterbangan, napasnya sedikit terengah. Dengan mata yang menatap tajam, ia meletakkan pedangnya dan menoleh, melihat Louise dan Violet yang berdiri di sisi halaman dengan ekspresi terkejut.
"...Violet, sepertinya aku takut jika tanpa sengaja ketebas oleh Ren. Jadi kamu saja yang hampiri Re-"
"Berhentilah mengoceh, sana panggilkan Ren!" Violet memotong dengan tegas.
Louise merespons dengan cepat, berjalan menuju Ren sambil mengabaikan kepanikan yang dialaminya. Sementara itu, Violet berdiri di tempat, memandang dengan penuh kekaguman. Ketika Louise mendekati Ren, dia mengangkat tangannya untuk menyapa.
Louise, yang masih tertegun, akhirnya bergerak cepat. Ia melangkah ke arah Ren sambil memanggil, "Ren, Violet ingin berbicara denganmu!"
Ren, masih dengan keringat yang bercucuran mendengar panggilan itu, memperhatikan Louise yang mendekat dengan ekspresi serius.
Dengan hati-hati, Louise memanggil, "Ren, ada sesuatu yang penting yang perlu kamu ketahui."
Ren berhenti, terengah-engah, keringat bercucuran dari dahinya. Ia menatap Louise dan Violet dengan mata yang penuh kelelahan.
"Jadi begini."
Violet yang menyusul dari belakang menepuk punggung Louise. "Sudahlah cepat katakan saja!"
Louise menahan rasa sakit dari tepukan yang cukup keras itu, "Ren. Berita baik, kalau Roze telah sadar."
"Roze... dia membuka matanya," Violet melanjutkan.
Ren, yang masih dibalut oleh kegelapan rasa putus asa, segera berlari ke ruang tempat Roze dirawat. Ketika ia memasuki ruangan, ia melihat Roze dengan mata terbuka, tatapannya masih lemah namun penuh harapan.
Ren mendekat dengan hati berdebar. "Roze... kau bangun," katanya, suaranya bergetar oleh campuran kebahagiaan dan ketegangan. Ia memeriksa keadaan Roze dengan cermat, merasakan dorongan kuat untuk memastikan bahwa adiknya berada dalam keadaan yang lebih baik.
Dalam momen yang penuh harapan ini, Ren berdoa dalam hati agar pemulihan Roze terus berlanjut, menyisakan sedikit cahaya di tengah kegelapan yang selama ini meliputi dirinya.
Setelah Roze sadar, suasana di panti asuhan keluarga Murphy penuh dengan harapan dan kegembiraan. Louise mengusulkan merayakan pemulihan Roze dengan membuat sebuah ukiran khusus pada sepotong kayu bertuliskan "Murphy," sebagai simbol keberhasilan dan rasa syukur.
"Bagaimana kalau kita rayakan momen kepulihan Roze ini dengan mengukirkan ukiran khusus pada sepotong kayu... kurasa bertuliskan 'Murphy' cukup bagus, bukan?"
"Setuju, kita bisa coba itu," Violet menjawab, tampak setuju dengan ide Louise.
"...."
"Ren, kau tampak buru-buru sekali. Tertarik ikut?" Louise menatap ke arah Ren yang hendak pergi meninggalkan ruangan.
Ren, yang sudah siap meninggalkan ruangan, berhenti sejenak saat mendengar ajakan itu. "Aku tidak bisa ikut," katanya singkat. "Ada hal lain yang harus kulakukan."
Louise menatap Ren dengan cemas. "Ren, Roze baru saja sadar. Kenapa tidak bergabung dengan kami? Ini momen yang penting."
Ren menghela napas. "Ini justru karena Roze bisa separah ini karena kecerobohanku. Aku harus berlatih agar kecerobohan seperti ini tidak terulang."
Louise mendekat, merasa frustrasi. "Ren, tidak ada gunanya menyalahkan dirimu sendiri. Ini adalah bagian dari kehidupan. Kau harus memberi diri sedikit ruang untuk merayakan kemajuan, bukan hanya fokus pada latihan."
"Dan aku harus memastikan itu tidak terulang. Berlatih adalah cara terbaikku untuk mengatasi rasa bersalah ini," Ren membalas dengan ketegasan.
Louise mulai merasa jengkel. "Kau pikir semua ini adalah kesalahanmu semata? Seluruh dunia tidak akan berhenti hanya karena kau merasa bersalah. Kadang-kadang, kita harus berhenti sejenak dan menghargai apa yang kita miliki."
Ren menatap Louise dengan tajam. "Aku tidak akan menghargai apa pun dengan cara mengabaikan masalah dan berpura-pura semuanya baik-baik saja."
Louise merespons dengan nada yang lebih keras. "Kau tidak pernah tahu kapan harus berhenti dan mengambil napas. Kau selalu memaksakan dirimu, Ren! Itu bukan hanya tentang berlatih berpedang, tapi tentang menghadapi kenyataan juga."
Violet, melihat ketegangan yang meningkat, segera bergerak untuk melerai. "Cukup! Louise, Ren, hentikan. Ini bukan waktu untuk bertengkar."
Louise menurunkan suaranya, tampak menyesal. "Maaf, Ren. Aku hanya... aku hanya khawatir. Kadang-kadang, aku merasa kau terlalu keras pada dirimu sendiri."
Ren mengangguk, mengakui kekhawatiran Louise meski tetap pada keputusannya. "Aku mengerti, Louise. Tapi aku perlu melakukan ini."
Violet meletakkan tangannya di bahu Louise. "Mari kita biarkan Ren melakukan apa yang dia rasa perlu. Kita bisa menyelesaikan ukiran nanti. Yang terpenting sekarang adalah memastikan semuanya baik-baik saja."
Louise mengangguk, tampak sedikit lebih tenang. "Baiklah. Maafkan aku, Ren. Semoga latihanmu berjalan dengan baik."
Ren memberi senyum kecil, lalu meninggalkan panti asuhan menuju bukit untuk melanjutkan latihannya.
Ren meninggalkan panti asuhan dan menuju bukit tempat biasanya ia berlatih berpedang. Setiap ayunan pedangnya adalah cara untuk melepaskan ketegangan dan rasa frustasinya. Di tengah latihan intensifnya, Ralph tiba-tiba muncul, juga membawa pedangnya. "Aku lihat kau butuh teman berlatih," ujar Ralph sambil tersenyum.