Ren berdiri di atas bukit, pedangnya berkilau di bawah sinar matahari yang redup. Setiap ayunan menghempaskan angin, membuat rumput di sekitarnya bergoyang. Latihan itu bukan sekadar latihan baginya... ini adalah pelarian dari rasa bersalah yang tak terucapkan, sebuah pengingat atas tanggung jawab yang ia pikul sebagai seorang saudara yang tertua.
Di tengah latihannya, Ralph muncul, pedang di tangan, seperti sudah terbiasa mendapati Ren dalam kondisi seperti ini.
"Kau kelihatan butuh teman berlatih," kata Ralph sambil tersenyum tipis. Dia mendekati Ren, menyiapkan posisi bertarungnya.
Ren hanya mengangguk, lalu serangan pertama dimulai. Suara dentingan pedang bergema di udara yang sepi, dua teman ini terlibat dalam duel yang seakan lebih untuk melampiaskan emosi daripada sekadar latihan.
Setelah beberapa tebasan, Ren berbicara di antara tarikan napasnya. "Bagaimana kabar Reiyuu?" tanyanya sambil memotong serangan Ralph.
Ralph, dengan cepat menangkis, wajahnya sedikit berubah. "Dia cerewet sekali pagi ini. Masih terus berusaha mencari jalan hidupnya... Seperti biasa."
Ren diam, fokus pada serangannya berikutnya, terlihat sedikit tenggelam dalam pikirannya. Denting pedang berhenti sebentar ketika Ralph balas bertanya, "Bagaimana Roze?"
Ren menatap Ralph sejenak, matanya tampak berat. "Ah iya... pada malam itu setelah menemui kalian. Aku menemukan Roze terbaring lemas... Yah, sekarang sudah sadar. Tapi… semua ini salahku." Tebasannya lebih tajam kali ini, seolah setiap kata yang keluar memberatkan dirinya lebih dalam. "Aku harus lebih kuat. Aku harus pastikan tak ada lagi yang terluka."
Ralph menahan serangan Ren, mengunci pedangnya dengan kekuatan. "Kau terlalu keras pada dirimu, Ren. Kita tak bisa selalu melindungi mereka dari segalanya."
Ren dan Ralph terus beradu pedang. Dentingan logam memenuhi udara, seakan mencerminkan beban yang mereka pikul. Ren menyerang dengan tajam, matanya fokus pada tiap gerakan Ralph.
"Kau kelihatan makin kuat," komentar Ralph sambil menangkis serangan Ren. "Tapi... apa kau masih terjebak dalam rasa bersalah itu?"
Ren tidak langsung menjawab. Ia menatap langit sejenak, lalu mengayunkan pedangnya lagi. "Entahlah." jawabnya, suaranya terdengar datar di tengah ketegangan duel mereka.
Ralph menangkis dan mengambil langkah mundur, memutar pedangnya untuk menyerang balik. "...Ren? Kamu tidak apa-apa kan? Seperti bukan dirimu saja."
Ren diam, tangannya tetap menggerakkan pedang dengan cekatan. Setelah beberapa saat, Ralph yang akhirnya bertanya kembali, "Katakan sesuatu... Ren."
Ren tidak menanggapi, matanya tampak jauh, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tebasannya berikutnya datang lebih cepat, membuat Ralph sedikit tersentak, meskipun dia dengan mudah menangkis serangan itu.
Tebasan berikutnya lebih kuat, hampir memaksa Ralph mundur. "Aku harus menjadi lebih kuat," lanjut Ren, suara tekadnya memenuhi udara. "Supaya ini tidak terulang lagi."
Ralph menahan pedangnya, lalu menghentikan pertarungan sejenak. "...Ren, kau tak bisa terus menyalahkan dirimu. Kita semua punya batas."
Ren tak menjawab, hanya menyerang lagi, lebih cepat dari sebelumnya. Ralph sebisa mungkin menangkis agar setidaknya memberikan perasaan lega pada Ren yang tanpa ia sadari meluapkan emosinya pada setiap ayunan pedangnya.
"Kau tak bisa selalu melindungi semua orang, Ren," Ralph mengulang, kali ini dengan lebih banyak penekanan.
*BAAMMMM*
Sebelum Ren sempat menjawab, terdengar suara ledakan dari arah desa Caelfall. Keduanya berhenti sejenak, menatap satu sama lain dengan penuh waspada.
"Apa itu tadi?" Ralph bertanya, suaranya penuh kekhawatiran.
Ren sedikit melamun saat menyadari dari kejauhan asap yang timbul di desa mereka.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ralph? Desa kita dalam bahaya." Ren menatap Ralph dengan ekspresi serius.
"Kita harus bertindak cepat." Ralph mengangguk, wajahnya penuh dengan kekhawatiran.
Tanpa berpikir panjang, Ren mulai berlari menuju Caelfall. Ralph mengikuti di belakangnya.
Ketika mereka tiba di Caelfall, pemandangan yang mengerikan terbentang di depan mata mereka. Asap tebal membumbung dari berbagai sudut desa, suara jeritan dan tangisan terdengar di mana-mana. Beberapa bangunan terbakar, warga desa berlarian mencari perlindungam, orang-orang berlarian dengan wajah panik.
"Oh Tuhan..." Ralph tak kuasa melihat betapa kacaunya tanah kelahirannya porak-poranda sampai-sampai bersembunyi di belakang Ren.
"Tenang Ralph, tetap di belakangku..." Ren terus berjalan menyusuri tiap-tiap sudut pandangannya.
Tapi ada satu hal yang membuat darah Ren mendidih, distrik administratif yang dihuni para bangsawan tetap aman, semuanya tampak utuh, tak tersentuh bencana yang terjadi di sekitarnya, tanpa satu pun tanda kerusakan.
Ren berdiri di tengah kekacauan itu, perasaan yang lebih gelap mulai muncul di benaknya. Ada sesuatu yang tidak benar, dan dia tahu, ini baru permulaan.
"Kenapa distrik itu aman?" Ralph bertanya dengan nada bingung dan cemas.
Ren hanya menggertakkan giginya, perasaannya campur aduk antara kemarahan dan kebingungan. "Ada yang tidak beres," gumamnya, sambil menatap ke arah tempat kejadian dengan mata yang memendam kebencian.
"...Ren?" Ralph menyadari perbedaan suasana hati Ren yang berubah signifikan.
Ren berhenti, perlahan berbalik menghadap Ralph. "Kau tahu sesuatu tentang ini, Ralph?"
Ralph menatapnya, kaku. "Ren... kau salah paham."
Ren melangkah lebih dekat, matanya berkilat tajam. "Jawab pertanyaanku. Kau bukan bagian dari mereka, kan? Bukan seperti para bangsawan itu?"
Ralph tampak gugup, langkahnya mundur sedikit. "Tentu saja tidak... aku... aku selalu bersamamu, bukan?"
"Tapi kenapa distrik mereka tetap aman?" suara Ren mulai meninggi. "Sementara kita? Desa ini? Hancur."
Ralph merasakan jantungnya berdetak cepat, menyadari arah percakapan ini. "Ren, ini bukan saatnya untuk bicara tentang hal itu."
"Apa maksudmu?" Ren menggertakkan giginya, emosi mulai membakar dirinya. "Jangan mengelak, Ralph. Aku hanya ingin kepastian."
Ralph menunduk, menghindari tatapan Ren. "Aku... statusku tidak ada hubungannya dengan ini."
"Jawab aku!" Ren mendekat lebih cepat, tangannya mengepal. "Apakah kau seperti mereka?"
Ralph tetap diam, berusaha menahan lidahnya. Ren, yang semakin tersulut, tiba-tiba mengeluarkan pedang kayunya dan mengacungkannya ke arah Ralph. "Jangan bohong padaku!"
Ralph, refleks, menarik pedang aslinya, mencoba menahan tekanan Ren. Tetapi genggamannya goyah, dan pedangnya jatuh ke tanah dengan suara gemerincing. Dia menatap Ren dengan cemas.
"Aku tetap aku, Ren!" Ralph akhirnya berseru, suara lembutnya pecah oleh emosi. "Apa status bangsawanku begitu penting? Apakah itu yang kau lihat ketika memandangku?"
Ren terhenti, napasnya masih berat, tapi amarah di wajahnya mulai pudar. Dia tetap berdiri dengan pedang kayu di tangannya, tapi tak lagi mengarahkannya.
"Status bangsawan itu tidak ada artinya bagiku. Pikirkan keluargamu dulu! Roze, Louise... mereka butuh dirimu." Ralph melanjutkan, suaranya bergetar tapi tegas. "Aku tidak peduli bangsawan atau bukan, aku adalah aku."
Ren terdiam sejenak, napasnya berat. Matanya tetap tajam, tapi tangannya mulai mereda. Di depannya, Ralph menunduk, air mata perlahan mengalir dari matanya yang lembut. "Aku tetaplah aku... tidak peduli bangsawan atau bukan. Kenapa kau tak bisa melihat itu?" suaranya bergetar oleh kesedihan.
Melihat air mata Ralph, kemarahan Ren mulai mencair. Perlahan, dia menurunkan pedangnya.
"Ralph… aku…" Ren terdiam, suaranya tertahan. Melihat Ralph menangis, dia merasa bersalah. Sejenak, dunia di sekeliling mereka terasa hening, hanya ada dua hati yang berusaha mengerti satu sama lain di tengah kekacauan.
"Aku hanya ingin melindungi mereka…," bisik Ren, akhirnya.
Ralph tak bisa menahan tangisnya lagi perlahan semakin menunduk. "..Dan aku hanya ingin membantumu, Ren… bukan karena siapa aku."
Ren menatap Ralph, napasnya mulai tenang. Matanya yang tadinya penuh amarah kini perlahan-lahan dipenuhi rasa bersalah. Seperti badai yang mereda, ia menyadari betapa salahnya tindakannya. Emosi yang tadi meluap berubah menjadi rasa hampa. "Aku benar-benar pecundang," gumam Ren pada dirinya sendiri.
Dia mengalihkan pandangannya, menatap pedang Ralph yang tergeletak di tanah. Perlahan, ia berjalan ke arah pedang itu, mengulurkan tangannya, dan mengambilnya. Dia kembali mendekati Ralph yang masih terisak, menatapnya penuh kesedihan. "Ini... pedangmu," ujar Ren, suaranya lebih lembut, lebih manusiawi.
Ralph hanya menggeleng, masih belum bisa menatap langsung ke arah Ren. "Aku tidak membutuhkannya," katanya lirih.
Ren, meskipun tak lagi diliputi amarah, tetap menggenggam pedang itu erat. Ia mendekat, kali ini tanpa ketegangan, dan dengan hati-hati, meletakkan tangan Ralph di atas pedang. "Peganglah, Ralph," desaknya, suaranya penuh rasa bersalah. "Aku yang salah, tapi jangan biarkan aku terus salah dengan meninggalkanmu."
Ralph mengangkat kepalanya perlahan, matanya yang basah masih dipenuhi keraguan. "...Kenapa kau membentakku, Ren? Aku hanya ingin membantumu... salahkah aku?"
Tapi Ren, dengan tangan yang masih menggenggam pedang itu bersama Ralph, terus menuntunnya. "Kita akan hadapi ini bersama... Aku butuh dirimu."
Dengan lembut, Ren mengangkat tangannya dan mengelus kepala Ralph. Rasa bersalah yang tadinya menggerogotinya mulai berangsur menghilang, digantikan oleh perasaan tanggung jawab yang lebih dalam.
Setelah beberapa detik hening, Ralph akhirnya meremas gagang pedangnya. Air mata masih mengalir, tapi kini bercampur dengan rasa lega. "Ren...," bisiknya, kali ini tanpa beban. Ren mengangguk pelan, melepaskan genggaman tangannya, membiarkan Ralph memegang pedang itu sendiri.
Tiba-tiba, ledakan kedua menggetarkan tanah di bawah kaki mereka. Suara itu jauh, tapi jelas. Ren merasakan dadanya berdegup kencang. Sesuatu yang mengerikan sedang terjadi. Pikiran buruk mulai merayap dalam benaknya.
"Semoga saja ini bukan apa yang kupikirkan…" gumam Ren, dengan tatapan tajam mengarah ke asap hitam yang mulai terlihat di kejauhan.