Chereads / GLEIPNIR: Nihil / Chapter 15 - 14 - Sepasang Kaki

Chapter 15 - 14 - Sepasang Kaki

Ren perlahan membuka matanya. Udara di sekelilingnya terasa berbeda—lebih segar, lebih akrab. Ia menyadari dirinya sedang bersandar di sebuah kursi kayu yang usang. Kepalanya masih berdenyut lemah, tapi pandangan matanya mulai jelas. Di sebelahnya, dia melihat seorang gadis kecil berbaring di atas kasur yang dipenuhi selimut tipis. Wajahnya tenang, damai, seolah dunia di luar sana tidak pernah menjadi ancaman.

"Roze..." bisik Ren, nyaris tak terdengar. Tangan kecil adiknya itu tampak dingin, tapi lembut saat ia menggenggamnya. Seketika, air mata yang sudah lama tertahan mengalir pelan dari sudut matanya. Rasa penyesalan, kebahagiaan, dan kelegaan bercampur menjadi satu. Ia kembali. Mereka kembali.

Tujuannya jelas: dia telah kembali untuk melindungi semua orang yang ia cintai.

Suara derit pintu yang terbuka membuat Ren tersentak. "Ren?" Sebuah suara lembut memanggil namanya. Itu Violet, berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh kebingungan. "Kenapa kau sudah bangun sepagi ini?"

Ren menyeka air matanya cepat, mencoba menguasai diri. "Violet? Apa yang kau lakukan di sini?"

Violet tersenyum tipis dan melangkah masuk. "Kau tahu, kau benar-benar kakak yang sangat khawatir. Aku mendengar bagaimana kau menjaga Roze sepanjang malam." Ia menatap Ren dengan lembut, melihat betapa lelah dan emosionalnya dia saat itu. "Aku hanya ingin memastikan kalian berdua baik-baik saja."

Ren terdiam. Rasa syukur dan kesedihan membaur di dalam dirinya. Ia tidak bisa berkata-kata.

Violet mendekat, menepuk pundaknya pelan. "Tenang saja, aku tidak akan bilang pada Louise kalau kau menangis," bisiknya sambil tersenyum kecil, seolah memberikan sedikit candaan di tengah suasana yang berat.

Pandangannya jatuh pada pedang yang tergeletak di sampingnya. "...Amour, aku pasti akan membalaskan semua ini." Bisik Ren dalam hatinya.

Saat Ren akan melangkah keluar, pintu tiba-tiba terbuka. Louise berdiri di sana, wajahnya tampak lega juga penuh rasa ingin tahu.

"Ren, kenapa buru-buru sekali?" tanya Louise, nada suaranya ringan tapi penuh perhatian.

Ren mencoba untuk tidak terlihat terburu-buru. "Aku hanya... ada sesuatu yang harus dilakukan," jawabnya singkat, menghindari tatapannya.

Louise melangkah mendekat, lipatan di dahinya semakin terlihat. "Sesuatu yang harus dilakukan? Kau baru saja bangun, dan sudah ingin pergi? Kau tidak biasanya seperti ini."

Ren menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tidak ingin terseret dalam percakapan ini, tapi Louise terus berbicara, tak memberi ruang baginya untuk kabur. "Kau tahu, aku masih tidak mengerti mengapa kau selalu menutup diri. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."

Ren menggenggam gagang pedangnya lebih erat. "Aku baik-baik saja, Louise. Jangan khawatir." Ia berusaha memotong pembicaraan.

Tiba-tiba, suara lantang dari luar ruangan memecah suasana. "Ren! Roze... dia sedang bangun!" seru Violet dari kejauhan.

Mendengar itu, Ren tidak berpikir dua kali. Dia segera berlari kembali ke kamar Roze, meninggalkan Louise yang berdiri terpaku. Saat Ren memasuki ruangan, hatinya berdebar kencang. Di sana, di atas tempat tidur, Roze mulai bergerak perlahan, matanya yang masih lemah berusaha membuka.

"Roze..." Ren berbisik, air matanya hampir tumpah lagi. Tujuan utamanya kembali ke masa lalu seolah terwujud dalam momen itu. Ia tidak akan gagal lagi.

Louise menyusul di belakang Ren. "Kita harus merayakan ini," ujar Louise penuh semangat. 

Violet mengangguk setuju, tapi semua tampak bingung, tidak tahu bagaimana cara merayakannya.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Violet lanjut.

Ren terdiam sejenak, mengingat kembali dan memikirkan sesuatu. Lalu, dia berkata, "Bagaimana kalau kita mengukir kata 'Murphy' pada sebuah ukiran kayu? Sebagai simbol bahwa kita masih bersama."

Louise tersenyum lebar mendengar usul itu. "Aishh aku hampir saja mengatakan ide tersebut, keduluan deh!"

"Ide bagus, Ren!" sahut Violet.

Louise menepuk tangan dengan semangat, "Ayo kita cari kayu terbaik! Kita ukir simbol keluarga kita bersama-sama!" serunya dengan senyum lebar.

Ren tersenyum kecil, meskipun hatinya masih berdebar. Dia menoleh ke Roze, siap mengajaknya ikut. "Lihatlah Roze, betapa cerianya Louise saat ini karena kesembuhanmu, Nah ayo ikut juga? Ini untuk kita semua."

Saat Ren memegang tangan adiknya, Roze menunduk sedikit dan tersenyum tipis. "Kak Rein... aku... tidak bisa," katanya pelan, matanya berkaca-kaca.

Ren terdiam, jantungnya serasa berhenti sejenak. "Apa maksudmu?" tanya Ren dengan nada khawatir.

Violet yang berdiri di dekatnya terlihat gelisah, sementara Louise perlahan menghentikan senyumnya, mulai merasakan sesuatu yang tidak beres. Roze menarik napas dalam, lalu menatap kakaknya dengan senyum yang berusaha ia pertahankan. "Aku... tidak bisa berjalan lagi, Kak Rein. Kedua kakiku lumpuh."

Dunia di sekitar Ren tiba-tiba terasa hening. Kata-kata Roze berputar di kepalanya, seperti suara yang menggema dalam kehampaan. "Apa?" bisiknya, suaranya hampir hilang. Matanya menatap kaki adiknya yang tak lagi bergerak, dan kenyataan mulai menghantamnya dengan keras.

Ren mundur setengah langkah, dadanya sesak. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin Roze, adiknya yang selalu ia ingin lindungi, sekarang tak bisa berjalan? Tangannya gemetar, hatinya hancur.

Melihat ekspresi Ren yang hancur, Roze tersenyum dengan lembut. "Kak Rein... tidak apa-apa. Aku bisa membantu dengan mengukir nanti. Kak Rein tidak perlu khawatir."

"Tidak... ini tidak benar..." Ren bergumam, suaranya serak. Dia merasa gagal sebagai seorang kakak, tubuhnya seperti kehilangan kekuatan.

Violet mendekat, menepuk pundak Ren dengan lembut. "Ren... kau masih bisa melindunginya, meski sekarang berbeda. Roze kuat, dan dia akan baik-baik saja."

Louise juga melangkah mendekat, memberikan senyum canggung. "Y-ya, Ren. Maksudku... meski mungkin aku tak pandai dalam hal-hal seperti ini, kau tahu... kita... kita di sini bersama. Ada Violet juga... jadi, tetaplah kuat untuk dirimu... dan Roze?"

Ren sedikit bingung dan mencoba memahami maksud Louise.

Louise menyadari kebingungannya Ren dan mencoba menjelaskan lebih lanjut. "Hmm, Ren, meski hidup ini kadang... yah, susah dipahami, aku pikir... eh, kita bisa belajar bersama... atau setidaknya mencoba? Maksudku, kau tidak sendirian. Kami semua... ya, di sini. Jadi, ayo... kita lakukan... apa pun itu... masalahnya."

Dengan berat hati, Ren mengangguk pelan. Dia menarik napas dalam, berusaha menenangkan pikirannya. "Baiklah..." katanya dengan suara yang sedikit bergetar. Dia menatap Roze, lalu tersenyum tipis. "Kamu akan membantu mengukir, dan kami yang akan mencarikan kayunya."

Roze tersenyum mendengar perkataan tersebut dari Ren. "Baik, akan kulakukan sebisaku, Kak Rein."

Ren, Louise, dan Violet berjalan keluar dari rumah, meninggalkan suasana yang berat di kamar Roze setelah membawa persiapan peralatan. Langkah-langkah mereka nyaris tanpa suara, tenggelam dalam keheningan. Hanya desiran angin pagi dan suara daun-daun yang berguguran terdengar samar.

Louise, dengan antusias, mencoba mencairkan suasana. "Ayo, kayu apa yang menurutmu cocok, Ren?" tanyanya, sedikit tersenyum, mencoba menutupi kegugupan di balik kata-katanya.

Ren hanya mengangguk pelan tanpa memberikan jawaban. Matanya tetap tertuju ke depan, tak peduli pada obrolan ringan yang ditawarkan Louise.

Violet, yang berjalan di belakang mereka, melirik Louise dengan sedikit khawatir. Ia tahu Louise sedang berusaha keras untuk membantu, tapi ia juga tahu bahwa Ren belum siap untuk bersikap biasa seperti dulu.

"Hei, Ren..." suara Louise kembali terdengar, kini lebih lembut. "Kau ingat waktu kita dulu sering bermain di bukit? Waktu itu, kau selalu tertawa paling keras, bahkan ketika kita jatuh dari pohon dan kau tergores cukup parah, kau masih bisa tersenyum lebar."

Ren terdiam sejenak, matanya sedikit menyipit mendengar kalimat itu. Dia tetap tidak menjawab, menarik napas yang terdengar lebih berat dari biasanya, tetapi dia menahannya dalam diam.

Violet, menyadari hal itu, dengan cepat menegur Louise. "Louise, mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengingatkan hal-hal itu."

Louise tertegun, menyadari apa yang baru saja ia katakan. "Ah, maaf Ren... aku tidak bermaksud menyinggungmu..." katanya pelan, wajahnya tampak menyesal.

Ren akhirnya membuka mulut, suaranya rendah tapi tenang. "Yah, mau gimana lagi kan?" ucapnya, tanpa emosi berlebihan. Seolah menerima kenyataan bahwa dirinya tak bisa lagi menjadi orang yang Louise ingat.

Louise terdiam, tak mampu menemukan kata-kata yang tepat untuk merespon. Ia hanya bisa menatap Ren, merasa bersalah. Tapi Violet melangkah maju, meraih lengan Louise, seolah menyuruhnya untuk berhenti menambah kesedihan Ren.

"Ayo, kita fokus mencari kayu yang bagus," ucap Violet lembut, berusaha mengalihkan perhatian.

Mereka pun terus berjalan, suasana yang semula canggung mulai mereda. Meski begitu, di hati Ren, perasaan kecewa dan kerinduan terhadap dirinya yang dulu terus menghantui. Tapi sekarang, tujuannya jelas: melindungi mereka semua, meski harus mengorbankan siapa dirinya dulu.

Akhirnya sampailah mereka di tengah hutan. Ren berdiri di tengah hutan, matanya kosong menatap kehampaan. Louise sibuk dengan kapaknya, berusaha menebang pohon. 

Violet, menyadari Ren yang melamun, memanggilnya dengan lembut. "Ren..."

Ren tersadar dari lamunannya dan menoleh ke arah Violet dan Louise. 

"Ren. Kapak Louise tersangkut di batangnya. Bantulah Louise, dia tampak kesusahan." Violet menepuk pundak Ren dengan sedikit menggoyangkannya.

Kapak yang digunakan Louise terlihat tertancap di batang pohon, kesulitan untuk bergerak. Dengan perasaan yang mulai mereda, Ren melangkah maju dan meraih kapak yang tersangkut. Ia menariknya dengan mudah, mengeluarkan kapak dari batang pohon.

Ia memeriksa pohon tersebut memastikan bahwa itu yang dimaksud, Ren bertanya, "Ini pohon yang kalian ingin tebang?" 

Violet mengangguk. "Iya, ini pohon yang kami pilih."

Ren mulai menebang pohon, dengan pikirannya melayang kembali ke bayangan Amour, seolah bertarung dengan musuh lamanya. Tanpa sadar, ia mulai terbawa oleh imajinasinya, mengabaikan realitas di sekelilingnya.

Louise terus meneriaki Ren, mencoba memperingatkannya. "Ren! Berhenti! Pohonnya akan jatuh ke arahmu!"

Tapi suara Louise tampak samar di telinga Ren, yang terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tiba-tiba, Ren merasakan getaran kuat di tanah, dan ia melihat pohon yang sedang ditebang mulai terguling ke arahnya. Dalam sekejap, Ren melompat ke samping, menghindari pohon yang tumbang dengan cepat.

"Ren!" Louise berjalan mendekat, ekspresi khawatir tergambar jelas di wajahnya. "Apa yang kamu pikirkan tadi? Hampir saja kamu tertimpa pohon."

Ren tidak langsung menjawab. Ia memandangi tangan kirinya yang masih menggenggam kapak, kemudian menatap pohon yang sudah terpotong di depannya. "Aku... terlalu larut dalam pikiran."

Violet mendekat, wajahnya serius. "Kalau terus begini, kamu bisa benar-benar terluka. Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?"

Ren menghela napas dengan pandangannya yang masih ke bawah, berusaha meraih posisinya kembali dengan perlahan kedua tangannya menopang badannya. "Amour. Dendamku selama ini."

Mendengar hal tersebut Violet melipat tangan di dada. "Ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal semacam itu. Kita di sini untuk mencari kayu, bukan untuk bertarung lagi."

Louise menggigit bibirnya. "Kita bisa bicara tentang Amour nanti. Yang penting sekarang, kita harus membawa kayu ini kembali. Roze pasti sedang menunggu."

Ren mengangguk pelan, tapi ekspresinya tetap datar. "Baiklah," jawabnya singkat.

Mereka bertiga mulai mengikat kayu yang sudah dipotong, bekerja dalam diam, hanya terdengar suara gesekan ranting dan bunyi kapak yang sesekali masih digunakan untuk merapikan batang. Meski Louise dan Violet sesekali mencoba membuka percakapan ringan, Ren tetap tidak terlalu merespon. Pikirannya terus kembali pada duel yang telah ia saksikan di kesadaran sebelumnya.

Setelah beberapa saat, mereka berhasil mengikat kayu dengan rapi, siap untuk dibawa kembali ke rumah. Ren mengangkat tumpukan itu ke pundaknya dengan mudah, meskipun kayu tersebut cukup berat. Louise dan Violet mengambil beberapa potongan yang lebih kecil.

"Kita kembali sekarang?" tanya Violet, memastikan semuanya siap.

Ren mengangguk. "Ya, lebih baik kita segera kembali."

Perjalanan kembali ke rumah keluarga Murphy terasa sunyi. Ren berjalan paling depan, dengan Louise dan Violet mengikuti di belakangnya. Meski begitu, pikiran Ren terus dipenuhi dengan bayangan masa lalu dan kekhawatirannya tentang masa depan. Meskipun dia sudah berada di masa lalu berkat Merlin, dia tidak bisa melepaskan perasaan bahwa semuanya akan berubah lagi. Bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi jika dia tidak berhati-hati.

Sesampainya di rumah, Roze sudah menunggu mereka dengan senyuman kecil di wajahnya. Dia sedang sibuk dengan sebuah rajutan di tangannya, benang dan jarum terampil ia gerakkan. Saat melihat mereka datang, Roze meletakkan barang yang sedang dirajutnya dan tersenyum lebar.

"Akhirnya kalian kembali," kata Roze dengan lembut. Suaranya menyiratkan kegembiraan yang tulus, meskipun ia masih duduk di tempat tidur, dengan kaki yang tidak bisa bergerak. "Apa kalian berhasil menemukan kayu yang bagus?"

Louise, yang baru saja meletakkan kayu yang dipotong di lantai, tersenyum lebar. "Roze, Ya, kami menemukan beberapa potongan yang sangat baik. Coba lihat yang satu ini."

"Ah ini dia." Louise menyodorkan sebuah potongan kayu untuk dilihat oleh Roze. 

Violet, yang melihat Roze masih sibuk dengan rajutannya, menarik lengan Louise dengan lembut. "Nanti saja, Roze tengah merajut, biarkan dia menyelesaikannya."

Louise menoleh ke Violet dengan sedikit bingung. "Tapi aku hanya ingin menunjukkan betapa bagusnya kayu ini. Bukankah ini penting juga?"

Violet menatap Louise dengan sabar. "Aku tahu, tapi Roze tampaknya sangat fokus pada rajutannya. Kita bisa menunjukkan kayunya nanti. Sekarang, biarkan dia menyelesaikan pekerjaannya."

Louise mengerutkan dahi, masih ragu. "Tapi..."

Setelah itu, Violet berpaling kepada Louise. "Ayo, kita istirahat sejenak. Ke pohon rindang di luar yang biasa kita datangi. Ini waktu yang tepat untuk bersantai."

Louise mengangguk setuju, tetapi saat mereka hendak pergi, Violet juga mengajak Ren. "Oh Pohon 'Murphy'? Ayo aja! Ren, mau ikut kami? Udara di luar terasa segar."

Ren menatap Roze, lalu berkata, "Aku akan tetap di sini sebentar untuk menemani Roze."

Violet mengerti, lalu dengan ringan menarik Louise keluar dari ruangan. Louise, yang tergeret oleh Violet, berbalik dan berkata dengan nada setengah tertawa, "Datanglah kapan saja, Ren. Kami akan menunggumu. Aduh, aduh, aduh, hentikan itu, Violet!"

Violet hanya tertawa kecil sambil terus menarik Louise keluar dari ruangan. Louise, yang terseret keluar, tampak berusaha membalas gerakan Violet, dan mereka berdua akhirnya menghilang di balik pintu, meninggalkan Ren dan Roze sendirian di dalam ruangan.

Ren menoleh ke Roze, yang masih duduk dengan rajutannya dan sedikit heran menyadari terdapat pita berwarna hitam di leher Roze akan tetapi memilih untuk menghiraukannya. "Bagaimana, Roze? Masih ada yang bisa kubantu?"

Roze mengangkat wajahnya dan tersenyum lembut. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Kak Rein. Aku cukup nyaman di sini. Tapi kalau Kak Rein penasaran, aku bisa menunjukkan sedikit tentang merajut."

Ren merasa tertarik. "Sungguh? Boleh saja, aku ingin tahu. Aku belum pernah mencoba merajut sebelumnya."

Roze menggenggam jarum dan benang dengan cekatan. "Baiklah, ini adalah dasar dari merajut. Pertama, kita mulai dengan membuat rantai benang. Lalu, kita gunakan jarum untuk membuat pola. Aku akan menunjukkan caranya."

Sambil berbicara, Roze menggerakkan jarum dengan lembut, membuat pola dasar. Ren mencoba mengikuti langkah-langkah Roze, meski gerakannya terasa kikuk. Roze, dengan senyum yang lembut, memberikan petunjuk tambahan. "Bagus, Kak Rein. Coba pastikan untuk tidak menarik benangnya terlalu kencang. Itu bisa membuat rajutan menjadi tidak rata."

Ren mencoba lagi, kali ini lebih hati-hati. "Sepertinya ini lebih sulit daripada yang kukira," ujarnya sambil sedikit kesusahan.

Roze tertawa kecil, matanya bersinar cerah. "Itu normal. Merajut butuh latihan. Aku juga memulai dari nol dulu."

Setelah beberapa saat, Roze berhenti sejenak dari rajutannya dan memandang Ren dengan penuh perhatian. "Kak Rein," katanya dengan nada penuh harapan, "bagaimana kalau setelah ini Kak Rein ikut bermain di luar?"

Ren, yang baru saja selesai dengan rajutannya, mengangkat alis dan melirik Roze dengan sedikit keraguan. "Bermain di luar? Rasanya masih banyak yang perlu dilakukan di sini."

Roze menggelengkan kepala dengan tegas. "Aduh, Kak Rein. Kadang-kadang, Kak Rein perlu juga melepaskan penat. Violet dan Louise juga sudah bekerja keras. Mereka semua akan senang jika Kak Rein ikut bersama kami. Lagipula, jarang sekali ada waktu istirahat."

Ren menghela napas. "Hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja. Ada banyak hal yang harus diurus."

Roze tersenyum lembut. "Kak Rein, kadang kita juga butuh waktu untuk diri sendiri. Violet dan Louise ingin dekat dengan Kak Rein. Mereka sudah berusaha keras untuk membuat semuanya terasa seperti keluarga. Jika terus-menerus sibuk, malah melewatkan kesempatan untuk menikmati kebersamaan ini."

Ren menatap Roze dengan ekspresi campur aduk. Betapa keras kepala adiknya ini, tetapi juga merasakan betapa tulusnya perhatian Roze. "Roze, memang tidak pernah berhenti mengurus orang lain, bahkan ketika harus menghadapi banyak kesulitan."

Roze tertawa kecil. "Itulah salah satu cara aku merasa berguna. Aku ingin melihat Kak Rein bahagia dan merasa diterima di sini. Violet dan Louise sudah banyak berkorban. Cobalah sesekali bersenang-senang dengan mereka. Mereka semua berusaha keras untuk membuat semuanya menjadi lebih baik."

Ren mengangguk perlahan, akhirnya mulai mengerti. "Baiklah, Roze. Aku akan pergi sebentar, tapi aku janji akan segera kembali jika ada apa-apa."

Roze tersenyum, matanya berbinar. "Terima kasih, Kak Rein. Nikmatilah waktumu di luar. Kita semua ingin Kak Rein bahagia dan tidak terus-menerus mengurusi semuanya di sini."

Ren mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. "Oke, aku akan pergi. Tapi kalau ada apa-apa, panggil saja aku."

"Pasti," kata Roze sambil mengangguk. "Jangan khawatirkan aku. Aku bisa mengurus ini. Selamat bersenang-senang!"

Ren tersenyum dan beranjak dari tempat duduknya. Sebelum keluar, ia memberikan satu tatapan penuh kasih ke arah Roze. "Kau benar-benar keras kepala, Roze."

Roze tertawa kecil. "Itu karena aku peduli. Sekarang pergilah."

Ren akhirnya keluar dari ruangan, meninggalkan Roze dengan senyuman di wajahnya. Meskipun ia harus menghadapi keterbatasan fisik, Roze tetap berusaha untuk terlihat tegar dan bahagia. Ia tahu betapa pentingnya bagi Ren untuk merasakan kebahagiaan dan kedekatan dengan keluarga barunya.