Chereads / GLEIPNIR: Nihilisme / Chapter 19 - 19 - Buronan

Chapter 19 - 19 - Buronan

Setelah kemenangannya, Ren berdiri di tengah arena Colosseum yang gemuruh dengan sorak-sorai penonton, suara gemericik pedang dan darah yang berbaur menjadi satu. Amour, yang sejak awal terlihat penuh percaya diri, kini hanya bisa terdiam di sudut, wajahnya merah padam dan ekspresi wajahnya seperti kehilangan arah. Di hadapannya, Crishaletta yang baru saja dipukul mundur, terjatuh dengan napas tersengal-sengal, tidak dapat lagi melanjutkan perlawanan.

Ren menatap sekeliling, matanya menelusuri wajah-wajah penuh kebencian dan rasa takut. Beberapa bangsawan yang ada di tribun mewah tampak tidak terlalu terkesan dengan hasil pertarungan tersebut. Akan tetapi ada satu sosok yang menarik perhatian Ren. Seorang bangsawan yang duduk dengan sikap sangat berbeda dari yang lain, jauh terpisah dan tampak murung. Wajahnya yang angkuh dan penuh kebanggaan kini ternoda dengan kekalahan yang tak terduga. Mata Ren terfokus padanya—orang itu adalah Soixante Neuf.

Dari sorot matanya, Ren bisa merasakan ketidakpuasan yang mendalam, bukan hanya karena kekalahan Crishaletta, tapi karena sesuatu yang jauh lebih besar. "Bangsawan itu lagi!"

Bangsawan tersebut bangkit, tubuhnya tegap, mengenakan pakaian berkelas layaknya seorang bangsawan, dan di hadapannya terdapat para pembantu yang tampaknya siap menanggapi setiap kata yang akan keluar dari mulutnya. Semua mata kini tertuju padanya, termasuk Ren yang merasa ada ketegangan lain yang sedang muncul.

"All Hail Southbrid!" suara bangsawan itu menggema di seluruh arena. Suaranya begitu kuat, sehingga bahkan para bangsawan yang hadir merasa terpanggil untuk mengangkat kepala, memperhatikan apa yang akan dia katakan. Ren merasa ada sesuatu yang aneh, seolah-olah peristiwa ini lebih besar dari sekadar duel antara dirinya dan Amour.

Amarah Ren seeketika terpicu, darahnya mendidih.

"Southbrid? Apa-apaan maksudnya? Wilayah adalah Caelfall."

Bangsawan itu mengarahkan pandangannya kepada semua orang di sekitar, suara langkah kakinya yang menggema di lantai terasa seperti isyarat bahwa semua yang ada di sini harus mendengarkan apa yang akan dia sampaikan.

"Bangsawan yang terhormat, diriku.. Soixante Neuf, perwakilan dari wilayah Southbrid." Ia mengucapkan nama wilayahnya dengan nada yang sangat percaya diri, seakan-akan itu adalah nama yang seharusnya dihormati tanpa pertanyaan. "Kita semua tahu bahwa kejadian ini bukan sekadar soal kemenangan atau kekalahan. Ini lebih besar dari itu. Kita telah menyaksikan sebuah peristiwa yang melibatkan bukan hanya darah bangsawan, tetapi juga darah yang lebih rendah. Apakah kita akan membiarkan ini berlanjut?"

Ren bisa merasakan hawa tak menyenangkan saat Neuf berbicara.

"Crishaletta mungkin telah kalah, tetapi bukan dia yang patut disalahkan." Neuf melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, hampir seperti sedang merayu audiensnya. "Kita semua tahu bahwa kami para bangsawan harus mempertahankan kehormatan kami. Ini adalah penghinaan bagi kami semua—bukan hanya bagi Amour, tetapi juga bagi kedudukan kami yang telah bertahun-tahun dihormati dan dipertahankan. Seharusnya, seorang yang berasal dari darah Caelfall tidak boleh mempermalukan kami seperti ini."

Semua bangsawan mulai terdiam. Mereka mendengarkan dengan seksama, menimbang-nimbang kata-kata Neuf yang terdengar begitu penuh makna. Ada sesuatu yang licik dalam cara dia membingkai pernyataannya. Sebuah provokasi yang halus, namun sangat efektif.

"Bagaimana kita bisa menerima hal ini?" lanjut Neuf dengan sorot mata yang tajam, memandang ke arah bangsawan-bangsawan lainnya. "Jika kita diam, kita akan menunjukkan bahwa kita tidak bisa mempertahankan martabat kita sebagai penguasa di tanah ini. Kita akan menjadi lemah di mata mereka. Saya mohon untuk tidak ada yang terjebak dalam simpati terhadap Ren yang berasal dari Caelfall. Jangan biarkan darah mereka menjadi kotoran di tanah ini. Kita harus menyatukan suara kita, untuk menghukum mereka yang merendahkan kehormatan kita."

Ren mulai merasa terjebak dalam permainan kata-kata yang begitu licik. Di balik kata-kata halus Neuf, dia bisa merasakan bahwa bangsawan-bangsawan lainnya mulai terpengaruh. Neuf bukan hanya berbicara tentang dirinya dan kemenangan yang dianggap hina—dia berbicara tentang masa depan kekuasaan mereka.

"Saya mengusulkan, mari kita buat Ren menjadi contoh bagi yang lain." Neuf menambahkan, matanya kini menatap Ren dengan tajam, penuh tantangan. "Mereka yang menganggap diri mereka lebih rendah dari kita, yang meremehkan kedudukan kita, harus diberikan hukuman yang setimpal. Jika seseorang ingin menentang kita, dia harus dihancurkan, bukan hanya dalam pertempuran, tetapi dalam segala hal. Hukum harus ditegakkan, dan jika seseorang mencemarkan kehormatan bangsawan, mereka harus dibayar dengan harga yang setimpal. Saya berjanji, siapa pun yang dapat menangkap Ren hidup-hidup, akan mendapatkan hadiah yang akan diwariskan turun-temurun."

Suasana berubah menjadi semakin tegang. Beberapa bangsawan mulai mengangguk, sementara yang lain tampak lebih ragu. Akan tetapi, ketegangan di ruangan itu jelas terasa, dan Ren tahu bahwa kata-kata Neuf ini akan membuatnya menjadi buronan yang diburu tanpa ampun.

"Oh sialan. Tidak ada pilihan lain," pikir Ren dengan penuh tekad. Dia segera meraih pedang kesayangannya yang masih tergeletak di tanah, merasakannya seolah itu adalah pengingat dari takdir yang telah memilihnya untuk menjadi lebih dari sekadar sekutu atau musuh—tapi sebagai simbol perlawanan terhadap sistem yang penuh kebusukan. "Terkutuklah kalian semua."

Tanpa berkata sepatah kata pun, Ren berbalik dan berlari menuju pintu keluar arena.

Gerakannya cepat, penuh tekad. Dia tahu, tidak ada waktu lagi untuk mempertimbangkan setiap langkah dengan hati-hati. Jika dia ingin bertahan hidup, dia harus meninggalkan Great Colosseum dengan cepat.

Ren melesat melalui lorong-lorong sempit yang mengarah ke distrik administratif. Setiap langkahnya dipenuhi kebingungannya, adrenalin yang mengalir deras membuat otaknya berpacu dengan cepat. Teriakan-teriakan dan suara langkah kaki bangsawan yang mengejarnya mengisi udara, tapi ia tidak bisa berhenti. Tidak ada pilihan lain. Setiap detik terasa seperti keabadian, dengan nyawanya dipertaruhkan dalam setiap putaran langkah.

"Bangsawan bajingan itu... harusnya aku bisa menghindari mereka," pikir Ren, napasnya semakin berat. Ia bisa mendengar derap kaki para penjaga yang semakin mendekat, menambah kegelisahannya. "Kenapa aku harus berhadapan dengan kebodohan seperti ini? Mereka bahkan tidak tahu apa yang mereka perangi."

Pintu-pintu kayu besar yang mengarah ke distrik administratif semakin terlihat dekat, "Oh hebat, gerbang itu tertutup."

 Ren melirik ke kanan, berharap menemukan celah untuk keluar. Tetapi semuanya sudah terkunci. Ia melanjutkan langkahnya dengan putus asa, matanya memindai setiap kemungkinan dengan cepat.

"Ini tidak mungkin terjadi. Aku tidak bisa terjebak di sini," Ren menggeram dalam hati. Pandangannya tajam, matanya mulai merasakan gelombang frustrasi yang mengalir. Semua usaha selama ini, semua pertempuran yang telah ia lalui, seakan sia-sia begitu saja karena permainan licik Soixante Neuf.

Sekilas ia melihat sebuah lorong kecil di ujung yang tampak sepi. Tanpa berpikir panjang, Ren berbelok menuju sana, berharap bisa menemukan jalan keluar lain. 

Saat ia berlari lebih jauh ke lorong itu, langkahnya terhenti. Dua penjaga muncul di depan, berdiri tegak dengan senyum sinis di wajah mereka.

"Haha, jadi kau pikir bisa lari begitu saja, Caelfall?" suara salah satu penjaga itu terdengar begitu dingin, seolah-olah mereka sudah menantikan momen ini sejak awal.

Frustrasi dan adrenalin semakin menyatu dalam diri Ren. "Tidak ada jalan keluar... Mereka benar-benar memerangkapku," pikirnya, tangan memegang erat gagang pedang

Tetap saja, dia menyadari bahwa takkan bisa melawan mereka semua. Matanya berpindah dari penjaga itu ke langit-langit, berpikir keras dalam sepersekian detik yang terasa lebih lama.

"Harus ada cara. Aku tidak bisa menyerah sekarang. Tidak ada lagi pilihan selain keluar dari sini hidup-hidup. Aku bukan hanya melawan mereka... aku melawan takdir yang mereka ciptakan!"

Dengan tubuh yang terengah-engah, Ren menggertakkan gigi, matanya terbakar dengan tekad. Hanya ada satu pilihan: kabur atau mati di sini.

"Coba tangkap aku dulu, bangsawan!" Ren berteriak, mencoba mengecoh mereka. Gerakan tiba-tiba menyelimuti tubuhnya, saat ia berputar dan melompat ke sisi tembok yang lebih tinggi, memanfaatkan sedikit celah untuk berlari lebih cepat menuju jalan keluar yang tak terlihat.

"Aku tidak akan jatuh dalam jebakan ini," batinnya. Ren melompati tembok tersebut.

Saat Ren baru saja mendarat setelah melompat, tubuhnya yang masih penuh ketegangan tak bisa menghindari sebuah tabrakan. Gadis itu terjatuh, dan Ren dengan cepat meraih tangannya, hampir terburu-buru menariknya kembali berdiri.