Di area bukit hutan terdalam, Ren menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh dalam dadanya. Pikirannya melayang pada masa dirinya dulu masih dipenuhi oleh impian-impian dan harapan, kini dirinya hanya termenung berdiri di depan pondok.
Matanya terbelalak ke sekitar, memastikan bahwa telah lepas dari kejaran para bangsawan, perlahan meraih kesadarannya lagi pada kondisi yang dialaminya saat ini. Derit pintu pondok yang telah usang terdengar ketika Ren mendorongnya.
Di sana, tersimpan pedang yang sudah lama tak ia gunakan, tergantung di dinding dengan gagang yang sudah usang.
"Diriku sudah terlalu lemah...," desak dalam benaknya.
Dengan tangan yang gemetar, ia meraih pedang itu. Pikirannya kembali melayang pada kenangan Roze, senyum lembutnya, suara tawa yang kini terasa begitu jauh ketika dirinya bisa bergerak dengan leluasa, menyeruak di benaknya. Air mata hampir tumpah, namun ia menahannya, mencoba terlihat tegar meskipun tak ada seorang pun yang menyaksikan.
"...terlalu gagal." pikir Ren. "Semua orang yang ku sayangi selalu terluka karena diriku."
Setelah mengambil perlengkapan seadanya dari gubuk, Ren berlari menuju kuil kuno di hutan terdalam, tempat yang dulu dianggapnya tak lebih dari dongeng.
Langit mulai gelap saat Ren mencapai kuil yang tersembunyi di balik pepohonan raksasa. Kuil itu nampak megah sekaligus terlupakan, dengan ukiran-ukiran kuno yang tergores oleh waktu. Ren mendekati altar, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan kehadiran sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Suara daun-daun yang berbisik diterpa angin malam seakan berbaur dengan bisikan-bisikan batinnya.
Ren berdiri di sana, terpaku, tidak tahu harus berkata apa. Ia bukan orang yang percaya pada Tuhan atau dewa-dewa. Bahkan dalam masa-masa sulit, ia selalu mengandalkan dirinya sendiri. Tapi kali ini... kali ini berbeda.
"Apa aku benar-benar pantas meminta bantuan di sini? Setelah semua dosa dan kegagalan yang kuperbuat?" pikir Ren.
"Apa yang sebenarnya aku cari? Kekuatan untuk balas dendam, atau sekadar pelarian dari rasa bersalah ini?"
Sebelum Ren perlahan mendekat ke altar, dengan hati-hati, ia menyentuh ujung obor itu ke api kecil yang menyala dari tumpukan kayu di sudut kuil. Perlahan, api menyambar ujung obor dan api kecil itu menyala, memberikan cahaya temaram untuk menyinari kuil yang gelap. Sesaat, api yang hangat itu menciptakan bayangan panjang di dinding, seakan mengingatkan Ren akan masa lalu yang sulit ia lepaskan.
Ia berlutut di depan altar, menundukkan kepalanya. Seluruh tubuhnya terasa berat seolah terbebani oleh dosa-dosa yang tak terampuni.
"Aku tak tahu... apakah Kau ada di sana atau tidak," katanya lirih, suaranya hampir tenggelam dalam gemuruh angin. "Aku tidak pantas memohon apa pun. Aku ini pengecut yang gagal melindungi mereka yang ku sayangi. Tapi, demi Roze... demi Ralph... demi keluarga Murphy... kumohon, berikan aku kekuatan untuk melindungi mereka."
Suasana di kuil mendadak hening, seakan dunia ikut menahan napas. Ren merasa sangat kecil di hadapan sesuatu yang tak terlihat. Air mata mulai mengalir di pipinya, dan ia tak lagi peduli pada harga dirinya. Ia terisak, menggenggam pedang yang ia bawa, seolah itu adalah satu-satunya hal yang bisa memberinya keberanian.
"Aku bersumpah... jika Kau memberiku kesempatan ini, aku akan menebus semua kesalahan yang telah kulakukan. Hanya satu kali ini saja... kumohon."
Setelah berdoa, Ren merasakan desiran angin dingin yang aneh melewati tubuhnya, seolah-olah ada sesuatu yang mendengarkan. Tapi tidak ada jawaban, tidak ada tanda-tanda dari Tuhan. Ren tertawa pahit, merasa bodoh telah berharap pada sesuatu yang tidak pernah ia percayai.
Bahkan setelah beberapa saat berlutut di depan altar, Ren hanya terdiam, memandangi lantai batu kuil yang retak dan dipenuhi lumut. Hatinya masih bergejolak antara harapan yang hampa dan keputusasaan yang menyesakkan.
"Apakah aku ini hanya orang bodoh yang berharap pada sesuatu yang tidak pernah ada?" pikirnya. Ia teringat kembali pada masa kecilnya, saat kakeknya pernah bercerita tentang kuil ini—tempat yang konon katanya dapat memberikan jawaban bagi mereka yang benar-benar tulus berdoa. Tapi apa yang ia rasakan sekarang hanyalah kehampaan. Tidak ada jawaban. Tidak ada tanda. Hanya dinginnya malam yang semakin menusuk kulit.
"Apakah hanya di saat-saat seperti ini aku memohon bantuan? Apakah aku sama saja dengan manusia lain yang hanya ingat Tuhan saat di ambang kehancuran?"
Ren menggelengkan kepalanya, merasa benci pada dirinya sendiri. Ia tahu bahwa ini hanyalah usahanya untuk mencari pembenaran, untuk melepaskan diri dari rasa bersalah yang terus menghantuinya.
Ia tertawa kecil, getir dan penuh ejekan untuk dirinya sendiri. "Aku bahkan lebih rendah daripada seorang pengecut. Bahkan berdoa pun aku tak tahu caranya."
Ren berdiri perlahan, tubuhnya terasa lelah, baik fisik maupun batin.
"Seharusnya aku tahu... Tidak ada yang bisa menolongku selain diriku sendiri." ucapnya pada dirinya sendiri, suaranya terdengar serak dan penuh keputusasaan. Ia tertawa pelan, tawa yang pahit dan penuh penyesalan, seolah mengejek dirinya sendiri karena telah membuang waktu untuk berdoa.
Namun, sebelum benar-benar berbalik, ia terdiam, menatap altar dengan pandangan yang kosong. "Roze, Ralph, keluarga besar "Murphy"... Aku akan tetap melindungi kalian, meski aku harus berjuang sendirian."
Ren kembali jatuh berlutut, tangannya masih menggenggam pedang dengan kuat. Ia merasakan kedinginan batu kuil yang meresap hingga ke tulang, tetapi rasa dingin itu tak sebanding dengan kekosongan di hatinya.
_"Apa artinya berjuang jika akhirnya aku tetap sendirian? Jika aku terus gagal melindungi orang-orang yang aku cintai?"_
Air mata yang tadinya tertahan akhirnya pecah, jatuh tanpa henti ke lantai kuil yang retak. Dalam kesunyian itu, hanya terdengar suara isak tangis Ren, dan gemuruh angin di luar seakan menyanyikan lagu duka untuknya.
Ia mencoba mengingat wajah Roze yang tersenyum. Ia ingin berpegang pada kenangan itu.
"Ren..."
Suara itu datang begitu lembut, namun tajam, memecah keheningan yang telah menyelubungi kuil. Ren terkejut, pandangannya tertuju pada sudut kuil yang gelap. Ia tak dapat melihat dengan jelas, hanya bayangan gelap yang tampak bergerak, mendekat. Ren meraih gagang pedang dengan cepat, siaga.
"Siapa itu?" gumamnya, matanya tajam menatap ke arah suara itu.
Tepuk tangan pelan terdengar dari bayang-bayang di sudut kuil. Ren menoleh dengan cepat, matanya tajam mencari sumber suara. Dari kegelapan, muncul sesosok bangsawan bertubuh tegap dengan senyum sinis di wajahnya.
"Wah, wah, wah... pertunjukan yang cukup mengharukan, Ren," ujarnya, bertepuk tangan pelan dengan nada ejekan. "Aku tidak menyangka kau akan datang ke sini, memohon kepada sesuatu yang kau sendiri tidak percayai. Cukup dramatis, bukan?"
Ren menggeram mengenali suara yang tak asing baginya, pedangnya sudah terangkat, siap menyerang. "Amour..." lirihnya, dengan suara yang penuh kebencian. "Apa yang kau inginkan?"
Amour hanya tersenyum lebih lebar, wajahnya penuh dengan sindiran. "Ah, aku hanya ingin sedikit berbicara. Kenapa harus selalu kekerasan, Ren? Bukankah kita bisa berdiskusi dengan tenang?"
Ren tidak menjawab. Sebaliknya, ia semakin menegakkan tubuhnya, langkahnya sedikit maju, pedang yang masih terangkat menandakan kesiapan untuk menyerang kapan saja. "Diskusi?" Ren tertawa pahit, "Kau ingin berbicara? Kau hanya ingin mempermainkanku lagi, seperti biasanya."
Amour menatapnya dengan tatapan dingin, namun senyumnya tetap ada, meskipun sedikit lebih tipis. "Oh, jangan terlalu gegabah, Ren. Aku hanya ingin mengerti apa yang ada di kepalamu. Apa kau benar-benar ingin berkelahi?"
Ren menahan amarahnya, menggertakkan giginya. Mencoba menahan diri agar tidak langsung melesat menyerangnya. Tapi setiap kata yang keluar dari mulut Amour seakan semakin memanaskan darahnya.
"Aku sudah cukup mendengar kata-katamu, Amour. Kalau kau memang pria sejati, kenapa tidak langsung menghadapiku sendiri? Jangan hanya mengutus orang-orangmu seperti Crishaletta," sindir Ren, matanya tak pernah lepas dari wajah Amour yang penuh sindiran.
Amour terdiam sejenak. Senyum tipis di wajahnya mengembang sedikit lebih lebar. "Ah, jadi kamu masih ingat dia?" Amour menjawab dengan nada meremehkan. "Crishaletta memang pilihan yang tepat. Tapi apakah kau yakin bisa mengalahkannya, Ren?"
Ren mendengus, suara tawanya rendah dan penuh ejekan. "Jangan mencoba memanipulasi pikiranku, Amour. Aku ingat dengan jelas apa yang terjadi di Great Colosseum. Kau bahkan tidak berani turun tangan langsung. Semua itu hanya permainanmu, bukan?"
"Jadi kau mengingatnya?" Amour berkata, suaranya berubah menjadi lebih serius, namun masih penuh dengan nada sarkastis. "Kau benar-benar bisa mengalahkan Crishaletta? Menarik sekali." Senyum sinis itu kembali terukir di wajahnya.
Ren mengernyit, matanya tetap tak lepas dari Amour. "Jika kau benar-benar berani, kenapa tidak mengutusnya lagi? Aku akan mengalahkannya sekali lagi. Hanya saja kali ini, aku tak akan memberi ampun."
Amour sedikit tertawa, lalu melangkah perlahan mendekati Ren. "Ah, Ren, kau masih saja terjebak dengan dendammu. Kau pikir kau akan mendapatkan apa dengan berkelahi terus-menerus? Tidak ada yang bisa kau ubah dengan kebencian itu."
Ren semakin kesal, hatinya penuh dengan kebencian dan kemarahan yang tak bisa ia tahan lebih lama. Tiba-tiba, Amour bertepuk tangan pelan, suaranya bergema di seluruh kuil yang gelap. Ren terkejut, matanya terbuka lebar.
"Kau benar-benar tidak berubah, Ren," ujar Amour sambil tersenyum sinis, "Tapi, aku sudah bisa melihat segalanya dengan jelas. Kau terjebak dalam kebencianmu, dan itu yang membuatmu tak bisa bergerak maju."
Ren tidak menjawab, tubuhnya semakin tegang. "Aku akan menghancurkanmu, Amour," katanya dengan suara serak, mengingat segala kebohongan dan pengkhianatan yang telah dilakukan Amour. "Tidak akan... tidak akan berhenti sampai aku menang."
Amour menatapnya dengan mata yang lebih tajam, seolah-olah melihat lebih dalam ke dalam jiwa Ren. "Kau masih begitu penuh dengan kemarahan. Mungkin itu yang membuatmu kuat, atau justru membuatmu rapuh."
Ren merasa darahnya benar-benar mendidih, ingin sekali menyerang Amour sekarang juga. Namun, Amour dengan tenang melangkah mundur, seolah tidak takut sedikit pun. "Kau tahu, Ren," Amour melanjutkan, suaranya kini lebih rendah namun penuh ancaman, "Pertumpahan darah bukanlah sesuatu yang seharusnya terjadi di sini. Tidak di kuil ini. Ingat, aku tahu cara menenangkan situasi. Tapi siapa tahu, jika kau terus bersikap keras kepala, aku bisa saja mengubah permainan."
Ren menatapnya dengan amarah yang tak terkendali, tapi Amour hanya tertawa, sinis. "Aku pergi dulu, Ren. Tapi ingat—jika kau tahu apa yang terbaik, jangan membuatku kembali. Aku bisa saja kembali kapan saja, dan kali ini... mungkin tanpa peringatan."
Amour berbalik dan berjalan menjauh, langkahnya mantap dan penuh keyakinan. Namun sebelum benar-benar pergi, ia berhenti sejenak, melirik Ren dari atas bahunya dengan tatapan penuh makna.
"Ah, ada satu hal lagi," katanya tanpa menoleh, suaranya terdengar jauh lebih dalam, penuh misteri. "Aku hanya ingin tahu satu hal darimu, Ren. Di mana kakekmu sekarang? Kau tahu, aku tidak suka mencari sesuatu yang sudah ada di depan mata. Tapi siapa tahu, jika kau memberiku jawaban yang tepat, semuanya bisa berjalan lebih lancar untukmu."
Ren terdiam, amarahnya kini bercampur dengan rasa cemas. Kakeknya... Amour jelas tahu lebih banyak dari yang seharusnya. Tapi Ren tidak akan mudah memberi tahu apa pun.
Namun, Amour tidak menunggu jawaban. Ia melangkah lebih jauh, suaranya semakin jauh terdengar, setiap kata terakhirnya tetap mengusik benak Ren.
"Jangan coba bermain dengan waktu, Ren," kata Amour, suara semakin menghilang. "Waktu bisa dengan mudah menjadi musuhmu, jika kau terus menunda. Aku bisa saja kembali, dan kali ini, aku tidak akan memberi kesempatan. Ingat, aku tahu cara mengubah permainan."
Dengan senyuman terakhir yang penuh sindiran, Amour menghilang dalam kegelapan, meninggalkan Ren yang berdiri terpaku, terhimpit oleh ancaman dan merasa berat di dadanya. Satu pertanyaan berputar-putar dalam pikirannya: Mengapa Amour tiba-tiba mencari tahu tentang kakeknya?