Langit terpesona seakan dirayu hadirnya malam. Sekarat jingga dilahap malam. Tanpa sedih dilepasnya langit hingga berubah kelam.
"Aduh—!" gadis itu mengeluh, sebelum akhirnya memandang ke atas, dan mata mereka bertemu. Wajah yang dikenal oleh Ren langsung membuatnya terdiam. Itu adalah Ralph.
Ralph terdiam sesaat, seakan tak percaya bahwa Ren adalah orang yang baru saja menabraknya. Wajahnya sedikit terkejut, tapi dalam hitungan detik, ekspresi itu berubah menjadi lebih tenang.
"Ralph," Ren mengucapkan nama itu pelan, seakan-akan ragu untuk melanjutkan. Matanya memeriksa kondisi gadis itu, berusaha menahan segala kecemasan yang hampir mendorongnya untuk berbicara lebih banyak. "Kau baik-baik saja?"
Ralph mengangguk perlahan, meski ada sedikit ketegangan di wajahnya. "Aku... aku baik-baik saja," jawabnya.
Ren menarik tangan yang masih memegangnya, ingin melepaskannya segera, tetapi matanya jatuh pada ban lengan biru yang melingkar di lengan Ralph. Sebuah simbol yang tak bisa ia abaikan.
"Ban lengan..." Ren terdiam sejenak, kata-kata itu terhenti di bibirnya. Ia merasa sedikit canggung, matanya tidak bisa lepas dari simbol itu.
Ralph yang menyadari arah pandangan Ren hanya bisa tersenyum tipis, meski ada kesan kesal yang samar. "Jangan khawatirkan itu, Ren," katanya, suaranya lembut, "Ini hanya... formalitas. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan."
Ren merasa canggung, berusaha menahan emosinya yang sudah meluap. "Aku sudah tidak mempermasalahkan ban lenganmu, Ralph," jawabnya, suaranya sedikit keras dengan ada sedikit kelembutan di dalamnya.
Ia berusaha menunjukkan bahwa itu bukan masalah besar, meski hatinya bergejolak. Sementara, Ralph mengerutkan kening, kebingungan. "Sudah tidak? Maksudmu apa, Ren?"
Ren menarik napas dalam, lalu menjawab dengan nada lebih rendah, hampir seperti bisikan. "Iya, aku sudah tidak mempermasalahkannya. Maaf kalau... sebelumnya aku marah karena hal itu."
Ralph semakin bingung, tidak ingat adanya pertengkaran atau momen apa pun yang bisa menjelaskan permintaan maaf Ren. Matanya mencari jawaban di wajah Ren. "Sebelumnya? Aku tidak mengerti, Memangnya kapan kamu marah... Ren?"
Ren terdiam sejenak, menyadari betapa kacaunya kata-katanya di telinga Ralph. Dalam hatinya, bayangan waktu itu kembali muncul—saat dirinya kehilangan kontrol, memarahi Ralph sampai membuat gadis itu menangis.
Ren kembali mengingat saat dimana Ralph menunduk, air mata perlahan mengalir dari matanya yang lembut. "Aku tetaplah aku... tidak peduli bangsawan atau bukan. Kenapa kau tak bisa melihat itu?" suaranya bergetar oleh kesedihan.
"Oh…," gumam Ren, menundukkan kepalanya, berusaha menyusun kata-kata yang bisa menjelaskan tanpa membuat Ralph semakin bingung. "Lupakan saja. Ini… hanya sesuatu yang pernah terjadi, tapi bukan di sini. Maksudku, bukan di... waktu ini." Ia tersenyum tipis, mencoba untuk tetap tenang meski rasa bersalah masih menggerogoti hatinya. "Yang penting, aku hanya ingin kau tahu, aku tidak akan mempermasalahkan ban lenganmu lagi, Ralph."
Ralph menatapnya dalam kebingungan yang perlahan bercampur rasa iba. Ia merasa ada sesuatu yang besar dan menyakitkan di balik kata-kata Ren, meskipun ia tak sepenuhnya memahami. "Ren… aku tidak tahu apa yang kamu maksud, tapi kalau itu membuatmu tenang, terima kasih. Aku senang kau bisa berkata seperti itu."
Ren mengangguk pelan, hatinya sedikit lega meskipun rahasia waktu itu masih menggantung dalam benaknya. "Ya…"
Ren melangkah perlahan, berusaha menciptakan jarak sambil terus mengamati sekeliling, memastikan tidak ada pengejar yang tersisa.
Suara lembut Ralph tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Ternyata benar," katanya, nada suaranya pelan. "Kericuhan itu... semua disebabkan oleh dirimu, kan?"
Ren menarik napas dalam, lalu mengangguk pelan. "Ya... aku tidak bisa menyangkalnya. Aku tahu ini terlihat buruk, tapi..."
Ralph menghela napas panjang, menatapnya dengan mata yang penuh dengan kekhawatiran dan kebingungan. "Aku tidak tahu apa yang kau hadapi, Ren. Tapi, kalau memang begitu, kenapa kau tidak bicara padaku? Kenapa harus bersembunyi?"
Ren terdiam, memandang Ralph dalam-dalam. Di satu sisi, ada rasa ingin melindunginya, membiarkan dia tetap berada dalam dunia yang aman dan jauh dari bahaya. Di sisi lainnnya, ada bagian lain yang rindu akan pemahaman dan dukungan, seseorang yang bisa berbagi beban yang selama ini dipikulnya sendirian.
"Aku… aku hanya tidak ingin menyeretmu dalam kekacauan ini, Ralph. Ada terlalu banyak hal yang tidak bisa kau pahami, dan… aku sendiri tak yakin apakah bisa menjelaskan semuanya." Ia tersenyum getir.
Ralph mendekat, matanya mencari mata Ren, berusaha menembus lapisan misteri yang menutupinya. "Ren… aku tidak tahu seberapa rumit semuanya. Tapi jika itu membuatmu terjebak di tempat seperti ini, bertarung sendirian, mungkin… kau tidak harus selalu menghadapinya sendiri."
Ren merasakan kehangatan dari kata-kata Ralph, namun masih ada ketakutan yang mendalam, takut kalau keterlibatan Ralph akan membawa bahaya lebih besar. "Kau tidak mengerti, Ralph. Ini lebih dari sekedar masala-"
Ralph hanya mengangguk pelan. "Mungkin aku tidak akan pernah benar-benar mengerti, tapi itu tidak mengubah apa yang kurasakan, Ren. Jadi, kapan pun kau siap, aku akan tetap di sini."
Ren menghela napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang harus ia katakan. "Ralph... aku mohon, jangan terlibat lagi dalam semua ini," ujarnya dengan nada serius, matanya menatap Ralph dalam-dalam, penuh rasa bersalah.
Ralph terkejut, dadanya terasa sesak mendengar permintaan itu. Meski ia ingin menolak, hatinya tahu bahwa Ren hanya ingin melindunginya. Sejenak, keheningan menyelimuti mereka, hingga akhirnya Ralph tersenyum kecil, menahan rasa sedih yang kini merayapi wajahnya.
"Baiklah, aku mengerti." Ralph menundukkan kepala sejenak, mencoba menyembunyikan air mata yang hampir jatuh. "Tapi sebelum kau pergi… berjanji padaku, Ren. Kembalilah hidup-hidup. Aku tak peduli berapa banyak bahaya yang harus kau hadapi di luar sana, tapi... kembalilah dalam keadaan selamat."
Ren terdiam, terkejut oleh permintaan itu. Namun melihat ketulusan di mata Ralph, ia mengangguk pelan. "Aku janji. Aku akan kembali… dalam keadaan hidup." Suaranya bergetar.
Setelah mendengar jawaban itu, Ralph melepas jubah luarnya, menyerahkannya kepada Ren dengan gerakan lembut. Kini ia hanya mengenakan kemeja panjang berwarna putih yang membalut tubuhnya dengan sederhana. "Ini... bawalah. Mungkin bisa sedikit melindungimu dari dingin atau sekadar menyamarkan dirimu."
Ren menatap jubah itu sejenak sebelum mengambilnya. Rasa hangat dari jubah Ralph seolah menyelimuti hatinya yang selama ini beku. "Terima kasih, Ralph," gumamnya lirih.
"Iyap, tidak ada masala-"
Tanpa sepatah kata, Ren mendekat perlahan dan menarik Ralph ke dalam dekapannya. Dadanya yang berdebar kencang kini bertemu dengan napas Ralph yang terkejut. Perlahan, ia merasakan tubuh Ralph melemas di dalam dekapannya, seolah kehangatan mereka saling menyusup ke dalam hati masing-masing.
Ralph pun terdiam sejenak, tak pernah membayangkan Ren akan melakukan ini. "Ren...," gumam Ralph dengan suara hampir berbisik, tangannya terangkat pelan, membalas pelukan itu dengan lembut. "Hati-hati di luar sana."
Ren menghela napas dalam-dalam, matanya terpejam, menikmati momen itu dengan sepenuh hati meskipun tahu ia harus pergi. Akhirnya, ia melepaskan Ralph perlahan, dengan tangannya masih menggenggam bahunya sejenak, mata mereka bertemu dalam kebisuan yang penuh makna.
"Aku akan kembali, Ralph," ucapnya.
Ralph mengangguk, senyum kecil menghiasi wajahnya meskipun ada air mata yang terselip di sudut matanya. "Aku tahu, Ren. Aku akan menunggu."
Meski tanpa kata, mengungkap banyak—hal tentang ketakutan, harapan, dan keinginan untuk kembali hidup-hidup, apapun yang menantinya di luar sana. Keduanya tahu bahwa saat ini adalah titik dimana mereka menentang takdir yang seolah tak berpihak.
Mereka akhirnya berpisah, meskipun keduanya sadar bahwa momen itu mungkin akan terus terpatri dalam ingatan. Ren melangkah pergi dengan tekad yang kini lebih kuat, membawa kehangatan yang baru ia temukan kembali—dan janji yang ia buat untuk pulang hidup-hidup.