Ren berjalan dengan langkah cepat, raut wajahnya tegang, matanya terlihat sibuk mencari-cari sesuatu di kejauhan, seolah ada ancaman yang hanya dia yang bisa merasakannya. Napasnya sedikit tersengal, kepalanya penuh dengan pikiran yang tak berhenti berputar. Tubuhnya terasa seakan lebih berat, seolah bayangan masa depan yang dia ketahui terus membebani bahunya.
Tiba-tiba, sebuah tangan menariknya dari samping, menghentikan langkahnya yang terburu-buru. Louise berdiri di sana, dengan senyum kecil yang penuh pengertian. "Ren, tenang sedikit. Kau membuat kami khawatir."
Violet, yang sudah berdiri di dekat mereka, mengangguk setuju. "Apa yang sebenarnya kau cari? Sesuatu tidak beres?"
"Aku harus melakukannya sendiri..." gumam Ren, suaranya tertahan oleh desahan napas. Violet mendengar dengan jelas.
"Apa yang ingin kau lakukan sendiri... aku tak mengerti, Ren." Louise tetap mempertahankan jarak untuk Ren tidak pergi.
"Sependapat, akhir-akhir ini kamu tampak bertingkah aneh." Violet berada disamping Louise dengan tatapan khawatir atas semua yang terjadi belakangan ini.
Ren diam, menatap wajah mereka berdua—Violet yang penuh perhatian dan Louise yang, meski tampak ceria, menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. Rasanya seolah-olah semua alasan yang ia simpan rapat-rapat mulai terurai. Ia ingin melindungi mereka, melindungi Roze, tapi bagaimana bisa jika mereka terus mengikutinya?
"Ren, kau tidak bisa melakukannya sendirian," suara Violet memotong lamunannya. "Kami tahu kau peduli pada Roze, tapi ini bukan hanya tanggung jawabmu."
"Aku hanya..." Ren menggigit bibirnya, mencoba menahan kata-kata yang siap meledak. "Ini lebih besar dari apa yang kalian bayangkan. Abyss... bukan tempat untuk kalian."
Louise melipat tangan di dadanya, memandang Ren dengan tatapan tegas. "Dan kau pikir kau bisa melakukannya sendiri? Menjadi pahlawan sendirian? Bagaimana kalau kau tersesat? Atau lebih buruk lagi?"
Ren hendak menjawab, tapi sebelum ia bisa mengatakan apa pun, terdengar langkah kaki lain. Kegelapan di sekitar mereka tiba-tiba terasa lebih menekan, dan
Sebelum Ren sempat memikirkan lebih jauh, suara langkah lain terdengar di depan mereka, dari arah hutan. Suara derap kaki kuda mendekat dengan cepat, menggetarkan tanah di bawahnya. Ren langsung menoleh, matanya membulat penuh kewaspadaan. Dari balik pepohonan, muncul siluet beberapa orang yang menunggangi kuda mendekat.
"Apa-apaan ini?" bisik Louise, suaranya penuh ketakutan. Violet merapatkan tubuhnya, tangannya meraih pegangan pedang, siap menghadapi apapun yang terjadi.
Dari balik kegelapan, muncul sekelompok pria berarmor, berseragam bangsawan dengan lambang kerajaan yang jelas terpampang di dada mereka. Kelompok bangsawan itu berhenti tepat di hadapan mereka, kuda-kuda mereka meringkik pelan dalam keheningan yang mencekam.
Salah satu dari mereka, seorang pria jangkung dengan wajah penuh kebencian, melangkah maju. Dia memandang Ren dengan tatapan tajam yang menusuk.
"Caelfall," suara pria itu datar tapi penuh penekanan, "kau telah melangkah terlalu jauh."
Ren tidak mengenal pria itu, tapi intuisi tajamnya mengatakan bahwa ini bukan pertemuan kebetulan. Matanya memicing, tangannya secara refleks menahan gagang pedangnya. "Apa yang kau inginkan?"
Sebelum pria itu sempat menjawab, seorang figur lain muncul dari balik kelompok bangsawan—Amour. Wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi ekspresi sinis. Dia melangkah ke depan dengan anggun, diiringi derai tawa kecil yang sudah terlalu akrab di telinga Ren.
"Seharusnya aku sudah tahu," kata Amour dengan nada mengejek. "Kau tak pernah bisa berhenti membuat masalah, bukan?"
Ren mengepalkan tangan. Ada sesuatu dalam nada suara Amour yang selalu membuat darahnya mendidih. Dia tahu, Amour tak pernah datang dengan niat baik.
"Masalah? Apa maksudmu?" tanya Ren dengan tajam.
Amour mengangkat bahu, pura-pura tak acuh. "Oh, kau tahu... berurusan dengan hal-hal yang bukan urusanmu, menyelidiki tempat-tempat terlarang. Tapi yang paling penting, membuat kekacauan di kerajaan dengan tindakanmu yang sembrono."
"Bangsawan ini...," Louise bergumam pelan, wajahnya tegang. Violet sudah bersiap, matanya fokus ke setiap pergerakan para penjaga di sekitar mereka. "Ini jebakan."
Amour terus mendekat, berhenti hanya beberapa langkah dari Ren. "Tuduhan sudah jelas. Kau, Ren, telah melanggar perbatasan yang ditetapkan kerajaan. Dan kau telah berani menentang perintah kami. Ini cukup untuk menjatuhkan hukuman berat. Sangat disayangkan, Rose akan sedih jika mendapati kakak tercintanya malah terbukti melakukan tindakan kriminal"
Ren menahan napas, berusaha menahan emosi yang memuncak. "Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Amour menampakkan senyum sarkastis. "Maafkan aku, Ren. Tapi semua ini adalah akibat tindakanmu. Menghadapi apa yang kau sembunyikan."
"Berhenti!" Violet berteriak, wajahnya marah. "Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan."
Ren mendongak, wajahnya menunjukkan ketegasan. "Jangan mengancamku. Kau tidak akan bisa menjatuhkan kami tanpa bukti."
Amour melangkah mendekat, senyum sinisnya menggigit. "Jadi, apakah ini yang kau sebut keberanian, Caelfall? Menghadapi kami hanya dengan mengandalkan keberanianmu? Ini akan menjadi cerita yang menyedihkan, apalagi untuk Roze."
Mendengar nama Roze, hati Ren bergetar, penuh kemarahan yang tidak dapat ia sembunyikan. "Jangan sentuh namanya," kata Ren, suaranya bergetar karena emosi yang meluap. Violet dan Louise saling berpandangan, keduanya tahu betul betapa Ren biasanya bisa tenang dalam situasi sulit. Tapi sekarang, api kemarahan menyala di matanya.
"Kuperingatkan padamu, Amour. Jika sekali lagi nama Roze terucap dari mulutmu, aku tidak akan ragu untuk memastikan kau merasakan akibatnya, meskipun itu berarti aku harus terjatuh ke dalam kegelapan."
Amour tertawa sinis saat Ren mendekat, wajahnya dipenuhi kebencian. "Mencoba menghampiriku, Caelfall? Sangat menyedihkan melihatmu kehilangan kendali seperti ini."
Rasa panas meluap dalam diri Ren. Setiap detik yang berlalu membuatnya semakin dekat pada batas kesabarannya. "Kau berani mengucapkan namanya sekali lagi, dan aku akan membuatmu merasakan akibatnya!"
Violet dan Louise saling pandang, mereka tahu Ren yang biasanya tenang kini berada di tepi jurang emosi. Amour menyambut kemarahan Ren dengan senyum menantang, seolah-olah menyulut api yang sudah menyala. "Jangan khawatir, Ren. Aku hanya menyebut fakta. Nama itu akan selalu menghantuimu. Dan kau, yang mengklaim diri sebagai kakaknya, terperosok dalam kebohongan ini."
Ren menggeram, langkahnya semakin cepat. "Cukup! Berhenti bermain kata-kata dan hadapi aku!" Ia masih berusaha mendekati Amour.
Amour dengan arogannya malah menghampiri Ren yang tengah ditahan oleh para bangsawan. "Kau tahu, Roze sungguh bibit unggul. Aku tidak bisa berhenti membayangkan tentangnya, sayang sekali hal buruk justru menimpanya."
Apa yang baru saja kau katakan?
Inikah bangsawan?
Aku sangat yakin...
Semua bangsawan...
Ternyata serendah ini...
Seolah semua batas yang ada runtuh, Ren merasa seolah dirinya tak lagi bisa mengendalikan amarahnya. Dalam sekejap, emosinya meluap. Dengan satu langkah cepat, ia melayangkan pukulan ringan ke pipi Amour. Sang bangsawan itu terhuyung, setengah ketakutan, wajahnya berubah dari senyum sinis menjadi terkejut.
Ren menatap Amour dengan tatapan penuh kebencian, "Sekarang kau telah mengundangku untuk duel bersumpah. Ungkapkan semua kesalahanmu di depan publik, dan kita akan lihat siapa yang benar."
Para bangsawan di sekitar mereka terdiam, terkejut oleh keberanian Ren. Amour, yang sebelumnya terlihat angkuh, kini merasakan terhina, tetapi ada pula api kemarahan yang membara di matanya. "Kuterima," katanya, suaranya tegas meski sedikit bergetar. Dia memperbaiki posisinya, berusaha mengembalikan wibawanya yang telah goyah.