Hari itu, Ren teringat bahwa Ralph pernah mengajaknya untuk mengunjungi suatu tempat. Senja turun perlahan, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan yang terasa asing di mata Ren. Langkahnya bersisian dengan Ralph, menyusuri jalan setapak yang mengarah pada sebuah bangunan megah yang baru saja terlihat di cakrawala. Bangunan itu berdiri kokoh dengan pilar-pilar tinggi yang memancarkan aura angkuh, seolah ingin menantang siapa pun yang berani mendekat.
Ralph menatap bangunan itu sejenak, menyapu pandangan ke arah tembok-tembok yang menjulang tinggi. Wajahnya tampak dingin, tetapi ada kilatan kegelisahan di matanya. "Kau tahu bangunan itu, Ren?" tanyanya dengan suara yang pelan namun tajam, seakan enggan mengucapkannya.
Ren mengerutkan kening, mengikuti arah pandang Ralph. "Tidak... Apa itu?" Suaranya terdengar skeptis, mencoba menangkap maksud tersembunyi di balik pertanyaan Ralph.
"Itu," Ralph menarik napas panjang, "adalah Great Colosseum." Nada suaranya mengandung ironi yang sulit diabaikan. "Bangunan besar yang hampir selesai, dirancang untuk satu tujuan: mengadili mereka yang dianggap bersalah di mata para bangsawan."
Ren terdiam, pandangannya tetap pada Great Colosseum yang kian mendekat. Ia merasakan getaran samar di dalam dirinya, sebuah firasat buruk yang sulit diusir. "Mereka yang bersalah akan diadili? Maksudmu... seperti ruang pengadilan terbuka?"
"Tepatnya bukan pengadilan, Ren. Tidak ada hakim yang memutuskan dengan adil di sana." Ralph menatap Ren dalam-dalam. "Para bangsawan telah merancangnya sebagai permainan licik mereka. Di sana, mereka yang dituduh bersalah dipaksa bertarung sampai salah satu gugur. Hanya dengan kemenangan, kau bisa membersihkan nama. Jika tidak..." Ralph tak menyelesaikan kalimatnya, pandangannya cukup untuk membuat Ren mengerti.
Ren menggenggam erat pinggir mantelnya, amarah perlahan berkecamuk di dalam dadanya. "Jadi, mereka yang dituduh tak punya pilihan selain bertarung, membiarkan hidupnya dipermainkan begitu saja?"
Ralph mengangguk, menatap jauh ke arah Great Colosseum. "Semua ini hanyalah permainan kekuasaan, Ren. Hukum dan keadilan telah dibengkokkan sesuai kehendak mereka. Mereka bisa menjebak siapa saja yang dianggap mengancam, siapa pun yang melawan arus."
"Termasuk aku?" Ren bertanya, suaranya rendah.
Ralph menatap Ren dengan mata yang berkilat. "Kau mungkin bukan target sekarang, tetapi pengaruhmu semakin besar. Mereka tidak akan tinggal diam." Ralph mendekat, berbicara nyaris berbisik. "Hati-hati, Ren. Di mata bangsawan, semua orang hanyalah bidak dalam permainan catur mereka."
Hati Ren berkobar penuh amarah, tetapi ia tetap menahan diri. Matanya masih terpaku pada Great Colosseum yang menjulang megah, sebuah bangunan yang menyimpan aura menakutkan di balik kemegahannya. Di sana, di antara pilar-pilar dingin itu, adalah arena yang akan mengadili mereka yang tak bersalah, hanya untuk melanggengkan kekuasaan bangsawan.
"Jika suatu hari aku dipaksa bertarung di sana..." Ren bergumam, lebih kepada dirinya sendiri. "Aku akan pastikan bahwa mereka yang menjebakku akan merasakan balasannya."
Ralph menepuk pundak Ren, mencoba memberinya ketenangan yang dingin. "Ingatlah kata-katamu, Ren. Di sana, kau akan membutuhkan semua tekad dan keberanianmu."
"Kedengarannya seperti para bangsawan menganggap tempat itu layaknya sirkus. Tempat dimana bangsawan merasa terhibur."
Ralph hanya mengangguk terdiam.
Ren kembali memikirkan semua kemungkinan yang akan terjadi, tapi dalam hatinya, amarahnya sudah mengakar kuat. Baginya, Great Colosseum bukan sekadar arena, melainkan simbol dari kezaliman yang ia benci. Dan di bawah langit senja yang menyaksikan kebenciannya, Ren berjanji pada dirinya sendiri, jika hari itu tiba, ia akan bertarung bukan hanya untuk hidupnya, tapi untuk menghancurkan permainan mereka yang penuh tipu daya.
"Bangsawan... aku sudah muak dengan kata itu."
Keheningan dalam pikirannya terpecahkan ketika para bangsawan mulai sahut-menyahut.
....TERUSLAH MELAMUN KAU CAELFALL!!
.....YA! YA! BERLUTUTLAH!!
.....HIBUR KAMI CAELFALL!!
...HINALAH KALIAN SEMUA, CAELFALL!!
Dari tepi arena yang dikelilingi ribuan mata penuh penilaian, Great Colosseum berdiri megah, memancarkan aura yang tak terbantahkan. Sorakan dan teriakan mengalun menciptakan suasana bak badai. Mereka tidak peduli pada keadilan, hanya mencari hiburan dari pertumpahan darah. Ren tahu, ini adalah lebih dari sekadar pertarungan. Ini adalah pertarungan untuk hidupnya, untuk melawan ketidakadilan yang ditunjukkan oleh para bangsawan.
Waktu terus berlalu, Ren menanti kehadiran Amour dihadapannya. Akan tetapi seorang gadis mendekat perlahan memasuki dari sisi yang berlawanan pada arena.
"Si brengsek itu, Amour. Tidak berani turun langsung ke bawah."
Di tengah arena, dua sosok terpisah oleh jarak, akan tetapi terikat oleh nasib yang sama.
"Ren, si idiot," Gadis tersebut menyuarakan suaranya. "Kau tahu tidak, pertarungan ini bukan hanya untukmu. Ada banyak yang terlibat di sini."
"Yang terlibat? Mereka hanya melihatmu sebagai boneka yang menari di atas tali," balas Ren.
Sebelum petaka ini dimulai, Ren menatap sekeliling dengan tatapan tajam. "Di mana Amour?" tanyanya, suaranya penuh kebencian yang terpendam. "Kenapa aku harus melawanmu."
Gadis tersebut menyeringai, menjawab dengan tenang, "Amour? Untuk apa sampai dirinya terjun langsung untuk menghabisimu? Diriku. Crishaletta saja sebagai utusannya sudah cukup."
Ren merasa kebenciannya semakin menjadi-jadi. "Mengelak bahkan sampai menghindariku? Biar kutebak sekarang dirinya sedang ketakutan bersembunyi dibalik para bangsawan."
Crishaletta membantah. "Salah. Dia tertawa puas. Sambil menyaksikan duel ini."
Ren kembali menyanggah Crishaletta. "Amour, tidak berani menghadapi konsekuensi dari perbuatannya sendiri. Begitukah? Utusannya Amour atau lebih tepatnya kacungnya Amour?"
"Sesuai deskripsinya. Ocehan dan omong kosong Caelfall pada umumnya." Crishaletta menyeringai.
Tatapan Ren berubah drastis. "Yah terserah sih, mau itu dirimu atau Amour. Pasti. Akan kusikat habis." Seketika, aura percaya diri Crishaletta sedikit tergetar, menimbulkan keraguan di dalam hatinya.
"Sebegitu yakinkah dirimu?" dia bertanya, menantang.
"Persingkat saja waktunya, setelah dirimu... selanjutnya Amour," Ren menegaskan, semangat membara di balik kata-katanya.
Crisha menyipitkan mata, menilai posisi Ren. Dia tahu, ada yang lebih dari sekadar pertarungan di sini—ada kebencian, dan ada keinginan untuk membuktikan sesuatu.
Lonceng dibunyikan. Dalam sekejap, pertarungan dimulai. Ren meluncur maju, berusaha melawan kesulitan mengendalikan tongkat kayu yang kini terasa berat di tangannya. Ayunan pertamanya, penuh keputusasaan, tetapi Crisha dengan gesit menghindar, mengayunkan tongkatnya dengan anggun.
"Aku tak menyangka tongkat kayu akan seberat ini saat diayunkan." Keringat menetes dari dahinya, tetapi rasa benci yang terus meluap di dalam dirinya menenggelamkan rasa takut.
Di hadapannya, Crishaletta memancarkan keanggunan. Gerakan tubuhnya seperti air mengalir—halus. Dengan senjata di tangan, dia berdiri seperti peramal yang sudah membaca takdir. Senyum di wajahnya adalah senyuman seseorang yang menganggap remeh lawan.
Crisha menatap Ren dengan tajam. "Kau tidak akan menang hanya dengan kekuatan, Ren. Pertarungan ini adalah tentang strategi."
Satu serangan, dua serangan—Ren berjuang untuk menemukan ritme di tengah kegagalan. Dalam momen ketidakpastian, ia merasakan tongkat kayunya akan patah.
Ren yang awalnya menggunakan tongkat kayu merasa kesusahan karena tidak mahir menggunakannya sementara Crisha sangat unggul, Ren dengan sengaja mematahkan tongkat tersebut lalu menggenggamnya layaknya sebuah pedang.
"Aku bisa melihat celahmu!"
Di luar dugaan, Crisha merespons dengan gerakan yang lincah, memanfaatkan keunggulannya dalam kecepatan. "Jangan berpikir hanya karena kamu memegang senjata yang lebih pendek berarti kamu memiliki keuntungan," ujarnya, suaranya dingin.
Duel berlanjut, keduanya berusaha menemukan kelemahan satu sama lain. Ren merasa setiap gerakan Crisha adalah gambaran dari kepercayaan dirinya, sedangkan ia berjuang melawan ketidakpastian. Ia teringat dengan jelas ajaran kakeknya tentang tiga aliran berpedang: menebas, menepis, dan menusuk. Dalam kepanikan, ia mencoba mengingat teknik-teknik tersebut.
Gerakan Crisha lincah, seperti angin yang menari. Setiap serangan yang dilancarkannya terasa menghantam jantung Ren, memaksanya untuk tetap waspada. "Kau benar-benar tidak tahu kapan harus menyerah, ya?" ucap Crisha, senyum sinis menghiasi wajahnya.
"Aku tidak mengenal kata menyerah," balas Ren, suaranya mantap meskipun perasaannya bergejolak.
Setiap upaya Ren untuk menyerang direspons dengan sempurna oleh Crisha, seolah dia tahu setiap langkah yang ingin diambilnya. "Segini saja huh, Ren!" Crisha berteriak, menepis serangan dengan mudah.
"Gadis ini, selalu menangkis tebasanku dengan sempurna... Perfect Parry, bahkan disaat yang genting sekalipun... tunggu, disaat yang genting?"
Mengetahui bahwa ia harus mengubah taktik, Ren menjauh dari jarak jangkauan serangannya Crisha lalu memperkuat kuda-kudanya, fokus menatap ke mata Crisha seakan-akan menggertak. Harta Mulia berupa liontin milik Crisha sempat menyala.
Ren menarik napas dalam-dalam, mengenang nasihat kakeknya, bahwa setiap manusia memiliki potensi terpendam yang bisa bangkit disaat-saat yang tak terduga.
"Setiap orang memiliki sisi yang tak terungkap, sebuah kekuatan yang menunggu untuk dibangkitkan. Ketika kau menghadapi tantangan, ingatlah, itu bukan hanya tentang kemampuanmu saat ini, tetapi tentang bagaimana kau dapat mengubah dirimu menjadi lebih dari yang kau duga. Potensi bukanlah sesuatu yang kau lihat di permukaan; itu adalah bagian dari dirimu yang siap untuk dibangkitkan ketika saatnya tiba. Jangan ragu untuk menggali lebih dalam, karena di dalam dirimu terdapat kekuatan yang bisa mengubah takdirmu." - Kakek
Ren merasa telinganya berdenging oleh suara-suara yang tidak dimengertinya. "By thy oath, thou art bound to me, as I am to thee..."
Hembusan terakhir membuat Ren mengehentakkan kakinya dan melesat ke depan, keinginan untuk membuktikan diri mengalahkan rasa takut yang menggerogotinya. Ren seakan-akan menghapus jarak antara dirinya dengan Crisha.
Crisha menyadari gerakan tersebut dan berusaha memprediksi arah tebasan dari Ren. Akan tetapi, saat ia menanggapi, Ren menghentikan larinya tepat di hadapan Crisha. Keduanya terjebak dalam ketegangan, saling menilai gerakan satu sama lain.
Crisha merasakan ancaman di depannya. Dengan cepat, ia berusaha menangkis serangan Ren, tetapi saat ia mengangkat pedangnya, itu sudah terlambat. Tangan Ren yang menggenggam senjata sudah berada di atas kepala, siap mengayunkan.
Dengan hentakan kaki yang kuat dan hembusan napas yang dalam, Ren mengayunkan pedangnya dari atas ke bawah secara vertikal, menargetkan Crisha. Meskipun Crisha berusaha menghindar, liontinnya yang berharga terhantam oleh tebasan tersebut, retak dan putus.
Crishaletta, yang tampak kelelahan, tersungkur di tanah, menggenggam sisa-sisa liontinnya yang terjatuh. "Bagaimana mungkin? ...Siapakah dirimu, sebenarnya?"
Di matanya, ada ekspresi campur aduk—kekalahan, tetapi juga penghormatan terhadap semangat Ren yang tak kenal lelah. Di tengah sorakan ribuan penonton, pertarungan ini bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang keinginan untuk bertahan dan membuktikan bahwa bahkan dalam keputusasaan, ada harapan untuk bangkit.